Kota Semarang dinilai cukup berhasil menekan kasus Demam Berdarah. Namun para ahli mengatakan perubahan iklim menghadirkan ancaman baru dan berpotensi memicu peningkatan kasus.

AREA sekitar rumah baru saja tuntas dibersihkan Yuliati. Terakhir, sebuah wadah kecil, tepat di bawah kran dispenser yang ada di ruang tengah disambarnya. Segera, setelah membuang air yang di dalamnya, Yuliati membersihkannya dengan kain bersih sebelum akhirnya memasangnya kembali di tempatnya semula.  

Bagi sebagian orang, air dalam wadah kecil itu terlihat sepele. Tapi, hal itu justru membuat perempuan berusia 42 tahun ini lebih mawas. Sebab, sangat mungkin air yang terkumpul dari tetesan saat mengambil air minum itu justru menjadi rumah bagi nyamuk untuk berkembang biak.  

“Karena yang sepele begini sering tidak mendapat perhatian. Padahal, bisa jadi itu menjadi sarang jentik,” kata perempuan yang tinggal di Kelurahan Kedungmundu, Kota Semarang. “Dulu pernah banyak kasus DBD, jadi jangan sampai terulang. Apalagi sekarang musim hujan,” terang Yuliati saat ditemui di teras rumahnya, 27 Oktober 2021 lalu. 

Yuliati memang layak waspada. Kota Semarang pernah menjadi salah satu episentrum kasus DBD di Indonesia. Pada 2010 lalu, angkanya bahkan sempat menembus 5000 kasus. Belakangan, berkat sejumlah program, angka penyakit yang disebabkan oleh nyamuk aedes aegypti itu berhasil ditekan.  

“Tiap Jumat pagi warga melakukan bersih-bersih lingkungan. Semua yang berpotensi menjadi tempat nyamuk bertelur dibersihkan. Seperti selokan, bawah pohon, semua dibersihkan. Termasuk dispenser, karena biasanya di bawah itu ada sisa air yang luput dari perhatian,” kata perempuan berambut pendek itu.  

Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Semarang, Abdul Hakam mengatakan, pemantauan jentik menjadi salah satu program unggulan Kota Semarang dalam menekan kasus DBD di wilayahnya. Sebuah aplikasi bahkan telah dibuat untuk mendukung sistem pelaporan secara terpusat di tingkat kota. 

“Kami punya aplikasi Tunggal Dara untuk memudahkan sistem pelaporan jentik secara terpusat,” kata Abdul Hakam, 23 Desember 2021 silam. Keunggulan sistem ini, masyarakat dapat melaporkan temuan jentik nyamuk dengan cepat guna segera ditindaklanjuti dalam tempo tak sampai dari 24 jam.  

Hakam bilang, Tunggal Dara merupakan akronim dari Bersatu Tanggulangi Demam Berdarah. Sistem yang digagas sejak 2015 itu merupakan bagian dari program Asian Cities Climate Change Resilience Network) dan mendapat dukungan dari Mercy Corps Indonesia.

Melalui system ini, masyarakat dan para kader dapat melaporkan langsung hasil pemantauan jentik yang dilakukannya secara cepat.  

Menurut Hakam, keberadaan sistem ini cukup efektif. Dari 1.508 RW yang ada di Kota Semarang, 1.403 di antaranya, atau 93 persen aktif melakukan pelaporan. “Dari sisi pelaporan cukup efektif untuk mempercepat informasi agar segera bisa ditindaklanjuti oleh Puskesmas,” terang Hakam. Selain itu, dari sisi kejadian, kasus DBD juga cenderung menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. 

Kendati demikian, ancaman merebaknya kasus DBD seperti yang terjadi satu dasawarsa silam bukan berarti selesai.

Anies, pakar kedokteran lingkungan, Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, mengatakan, perubahan iklim yang terjadi saat ini, akan membawa ancaman di sektor kesehatan.  

“Karena itu, sangat penting untuk membangun kesadaran bahwa perubahan iklim tidak hanya sebatas soal hujan dan cuaca. Tetapi, termasuk juga yang patut diwaspadai adalah sektor kesehatan, sekalipun dampaknya tidak langsung. Ini yang harus dibangun,” terang Anies. 

Di Semarang, penyakit ini pertama kali muncul di tahun 1969, sebagaimana penjelasan Peraturan Daerah (Perda) 5/2010 tentang Pengendalian Penyakit DBD. Temuan kasus dalam jumlah besar hingga berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB) terjadi pada tahun 1973 dan 2010.

Di tahun 2010, penyakit ini melanda seluruh wilayah Semarang hingga dilakukan fogging dengan menggunakan cairan insektisida melalui pesawat udara. Sejak saat itu, Semarang termasuk sebagai salah satu kota endemis DBD di Indonesia.  

Merespons kejadian itu, Pemkot Semarang kemudian mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2010 tentang Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Beleid ini menjadi payung hukum untuk merumuskan kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan bagi para pihak terkait pengendalian DBD. 

Dampak perubahan iklim?

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberikan definisi DBD sebagai penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue. Penularan penyakit ini melalui nyamuk Aedes Aegypti dengan gejala demam 2-7 hari, lemah, nyari pada ulu hati disertai tanda pendarahan pada kulit berupa bintik-biktik merah.   

DBD tergolong sebagai zoonosis, yaitu penyakit infeksi yang penularannya dari hewan ke manusia. Infeksi tersebut dapat disebabkan oleh mikroorganisme penyebab penyakit (pathogen) seperti bakteri, virus atau parasit. Patogen tersebut dapat berpindah dan berkembang dalam tubuh manusia melalui serangkaian mutasi genetik.  

Beberapa penularan zoonosis dapat berupa gigitan hewan, serangga, seperti nyamuk dan kutu, mengonsumsi hewan yang terinfeksi, atau bahkan kontak langsung dengan kulit hewan yang terinfeksi. Mengutip hellosehat.com, perubahan lingkungan hidup akibat aktivitas manusia, penebangan hutan, peternakan, hingga industri semakin meningkatkan risiko timbulnya zoonosis.   

Sugiyono, ahli zoonosis dari Badan Riset Nasional (BRIN) mengatakan, manusia, hewan dan lingkungan memiliki keterkaitan erat atas timbulnya penyakit. Termasuk demam berdarah dengue (DBD). Menurutnya, perilaku masyarakat dengan membiarkan genangan air tempat nyamuk bertelur berkontribusi atas timbulnya penyakit ini. 

Perubahan iklim yang terjadi berpotensi meningkatkan intensitas hujan, dan  akan memperbesar peluang banyaknya genangan. “Dan itu berarti nyamuk-nyamuk berbahaya memiliki potensi untuk meningkatkan populasinya,” terang Sugiyono.

Salah satu cara untuk mengantisipasinya adalah dengan mengontrol perkembangan nyamuk melalui pemantauan jentik.  

Anies menjelaskan, zoonosis merupakan jenis penyakit yang ditularkan oleh hewan atau media lain yang telah terinfeksi. Ia  menyebut, perubahan iklim yang terjadi tidak hanya mempengaruhi perilaku aedes aegypti, vector penyebab DBD. Tetapi, juga pola perkembangbiakannya yang berlangsung lebih cepat.  

Pemerintah pun menyadari adanya ancaman peningkatan kasus DBD sebagai akibat perubahan iklim. Secara khusus, DBD bahkan diprediksi turut menyebabkan kerugian negara hingga Rp31 triliun. Selain DBD (kesehatan), sektor lain yang juga turut terdampak adalah pertanian, air bersih, kelautan dan kawasan pesisir dengan total Rp115 triliun di 2024. 

Sebagai antisipasi, pada April 2021 lalu, Bappenas telah menerbitkan dokumen Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) yang terdiri dari 6 serial buku.  

Merujuk dokumen tersebut, beberapa daerah di Indonesia diprediksi mengalami peningkatan kasus DBD imbas perubahan iklim. Termasuk, Kota Semarang yang oleh Bappenas, dimasukkan sebagai daerah prioritas. 

Anies menambahkan, tingginya potensi kerugian sektor kesehatan di picu meningkatnya ancaman berbagai penyakit sebagai akibat perubahan iklim tersebut. “Peningkatan suhu menjadikan bakteri dan mikroba mudah berkembang biak. Dampaknya, ancaman penyakit meningkat, termasuk zoonosis,” katanya.  

Ia pun menilai, kajian yang dilakukan Bappenas tersebut merupakan upaya mitigasi agar publik lebih adaptif menyikapi ancaman dampak kesehatan dari perubahan iklim. “Nyamuk memiliki kemampuan beradaptasi yang lebih tinggi terhadap suhu lingkungan daripada hewan yang lain. Karena berkembangnya lebih cepat, populasinya pun menjadi lebih banyak,” terang Anies. 

Karena itu, sangat penting untuk membangun kesadaran bahwa perubahan iklim tidak hanya sebatas soal hujan dan cuaca. Tetapi, termasuk juga yang patut diwaspadai adalah sektor kesehatan, sekalipun dampaknya tidak langsung.

Anies, Pakar Kedokteran Lingkungan, Universitas Diponegoro

Pakar Kesehatan Hewan Tri Satya Putri Naipospos dari Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) mengatakan, perubahan iklim yang terjadi akan membawa konsekuensi pada aspek lingkungan. Menyebabkan temperatur, kelembaban, curah hujan, menjadi tidak stabil. Situasi itu yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku agen patogen.  

Ia mengatakan, perubahan temperatur dan kelembaban akan berdampak pada penyebaran dan ekologi penyakit hewan menular (zoonosis). Selain itu, dari sisi frekuensi dan sebarannya, juga diprediksi meningkat seiring dengan meningkatnya curah hujan tinggi dan juga banjir.  

“Artinya, perubahan iklim terhadap agen pathogen maupun vector akan berdampak terhadap dinamika populasi, siklus pertumbuhan (perkembangbiakan) dan juga penyebaran penyakit,” terang penulis buku Kesehatan Hewan untuk Kesejahteraan Manusia ini.

Dan, nyamuk, kata dia, memiliki kemampuan lebih untuk beradaptasi dengan kondisi cuaca yang tak menentu. 

Perubahan perilaku nyamuk  

Kondisi lingkungan berperan penting untuk menentukan kualitas kesehatan masyarakat. Penelitian yang dilakukan Risqa Novita, ahli biomedis dari Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Kemenkes mengatakan, sekitar 45 persen kesehatan seseorang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. 

“Sedangkan faktor lainnya, seperti perilaku menyumbang 30 persen, pelayanan kesehatan 20 persen, dan keturunan hanya 5 persen,” tulisan Risqa dalam laporan yang dipublikasikan akhir 2020 lalu itu.  

Nah, faktor lingkungan erat kaitannya dengan perubahan iklim. Sebab, peningkatan suhu dan cuaca, seperti kelembaban dan curah hujan mengakibatkan nyamuk lebih cepat berkembang biak. Di beberapa Negara Asia Selatan dan Tenggara, tren penyakit yang ditularkan melalui nyamuk meningkat. 

Risqa menjelaskan, perubahan iklim bukan hanya mempengaruhi siklus hidup nyamuk. Tetapi, juga intensitas hisapan. Selain lebih cepat berkembang biak, nyamuk juga lebih aktif menggigit. Tidak terbatas pada jam-jam tertentu. Itu terjadi karena nyamuk merupakan hewan ectothermic, yakni suhu tubuh tergantung pada suhu lingkungan (temperature ambient).  

Menurut Risqa, nyamuk memiliki kebiasaan menggigit di dalam maupun di luar rumah pada malam hari. Setelah menggigit, nyamuk beristirahat di dalam maupun di luar rumah. “Temperatur udara yang paling kondusif antara 25-30 celcius dan kelembaban udara 60-80 persen,” tulis Risqa dalam laporannya. 

Sugiyono menambahkan, musim hujan yang hangat dapat menyebabkan nyamuk bertahan hidup sepanjang tahun. Bahkan, banyak spesies nyamuk yang secara mengejutkan ternyata mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan berbeda. Tidak hanya di daerah tropis, tetapi juga subtropis.  

Ia mengatakan, saat semakin memperluas jangkauan mereka, dalam waktu yang sama, nyamuk-nyamuk juga akan beradaptasi dengan kondisi baru.  

“Dengan semakin berkembangnya populasi nyamuk, potensi penyebaran agen penyakit atau virus yang dibawanya pun semakin besar,” terangnya. Dan, salah satu cara untuk mengantisipasi risiko penularannya adalah menekan populasi nyamuk.  

Jumlah kasus meningkat 

Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan menyebutkan, tren kasus DBD di Indonesia cenderung meningkat dalam tujuh tahun terakhir. Pada 2014, tercatat 100.347 kasus DBD terjadi di Indonesia dan meningkat menjadi 126.674 kasus di 2015. 

Pada 2016, jumlah kasus DBD melonjak tajam hingga 204.171 kasus. Setelah itu, turun drastis menjadi 68.407 dan 65.602 kasus di 2017 dan 2018. Akan tetapi, penurunan itu tidak bertahan lama. Sebab, pada 2019, kembali melonjak hingga menembus 137.000 kasus.  

Pada 2020 lalu, bersamaan dengan pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia, jumlah kasus DBD masih mencapai 98.000 kasus. Sedangkan hingga Agustus tahun 2021, jumlah kasus DBD tercatat sebesar 30.000 kasus. 

Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, Abdul Hakam mengakui bila sebelumnya wilayahnya sempat tercatat sebagai penyumbang kasus DBD terbesar di Jawa Tengah. Namun, berkat sejumlah program, angka kasus tersebut berhasil ditekan. 

“Termasuk tahun 2021 ini. Grafik kasus DBD Kota Semarang sampai dengan Juli 2021 ini masih terkendali. Jika dibandingkan dengan tahun 2020, kasus bulanannya masih lebih rendah,” jelas Hakam.  

Ia mengatakan, bila dibanding periode yang sama tahun lalu, terjadi penurunan hingga 50 persen. Sebagai gambaran, pada Januari-Juli 2020 lalu, jumlah kasus DBD mencapai 274 kasus. Sedangkan tahun ini, sebanyak 137 kasus. “Penurunan angka kasusnya 50 persen bila dibanding tahun lalu,” jelas Hakam. 

Sayangnya, menurunnya kasus DBD itu tidak bertahan lama. Memasuki semester kedua tahun ini, sejumlah kasus DBD mulai bermunculan. Pada November lalu saja, jumlah warga yang terkena DBD mencapai 36 orang. Walhasil, hingga awal Desember ini, total kasus DBD di Kota Semarang tahun ini mencapai 280 orang dengan 6 kematian.  

Kader pemantau jentik dan aplikasi, upaya pengendalian DBD 

Dokumen Rencana Aksi Kegiatan (RAK) 2020-2024 yang disusun Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan mengakui, angka kesakitan dan kematian akibat zoonosis di Indonesia masih cukup tinggi.

Situasi itu ditunjang dengan makin tingginya mobilitas manusia dan hewan -sebagai sumber penularan zoonosis- serta sulitnya pengawasan lalu lintas hewan antar wilayah.  

Selain itu, hubungan manusia dengan lingkungan/satwa liar semakin dekat sebagai konsekuensi makin terbukanya kawasan hutan, hingga perubahan iklim membawa risiko meningkatnya zoonosis. Berangkat dari kondisi inilah, perlu adanya akselerasi pencegahan dan pengendalian sumber zoonosis sejak dari hulunya.  

Kemenkes menyebut, pelibatan multi sektor melalui pendekatan “One Health” menjadi kunci agar upaya penanggulangan zoonosis dapat berjalan efektif. Itu karena penanganan zoonosis memerlukan sebuah kerjasama berbagai bidang. Seperti kesehatan, lingkungan, hingga pertanian.  

Pentingnya pelibatan multipihak itu pula, sebagai perwujudan konsep One Health yang coba diterapkan Dinas Kesehatan Kota Semarang dalam menanggulangi DBD. Abdul Hakam mengungkapkan, pandemi Covid-19 yang terjadi sejak Maret 2020 lalu sempat memunculkan kekhawatiran akan terbengkalainya upaya pengendalian DBD di Semarang. Akan tetapi, berkat kerjasama dan sinergi para pihak, kekhawatiran itu tidak terjadi.  

Upaya-upaya pengendalian DBD tetap dilakukan meskipun dalam masa pandemi dengan cara modifikasi, seperti misalnya pelaporan melalui sistem integrasi TUNGGAL DARA (Bersatu Tanggulangi Deman Berdarah di Semarang) yang diluncurkan sejak tujuh tahun silam. Program ini dilaksanakan dengan memaksimalkan peranan jumantik (juru pemantau jentik) di masing-masing rumah.  

Teknologi Wolbachia, nyamuk lawan nyamuk

Metode konvensional melalui pemantauan jentik bukanlah satu-satunya cara untuk menekan populasi aedes aegypti. Penerapan teknologi bakteri wolbachia, yang digagas World Mosquito Program (WMP) dan kini dikembangkan di banyak negara juga dinilai cukup berhasil mencegah penularan penyakit mematikan ini.  

Di Indonesia, penerapan uji coba nyamuk ber-wolbachia dipusatkan di Yogyakarta. Riris Andono Ahmad, peneliti pendamping WMP Yogyakarta dan direktur pusat kedokteran tropis FKKMK Universitas Gajah Mada (UGM) menyampaikan, penelitian pengembangan teknologi wolbachia telah dimulai sejak tahun 2011 silam.  

Usai memastikan keamanan wolbachia, penelitian kemudian dilanjutkan dengan pelepasan di area terbatas. “Enam tahun berjalan, tepatnya tahun 2017, uji efikasi wolbachia dengan metode randomised trial di Yogyakarta,” tulis dr. Riris dalam keterangan tertulisnya kepada Mongabay Indonesia, 27 September 2021 lalu. 

Secara teknis, pelaksanaan uji ini dilakukan dengan membagi wilayah Yogyakarta menjadi 24 klaster. Rinciannya, 12 klaster sebagai lokasi penyebaran wolbachia, dan 12 klaster lainnya sebagai pembanding atau klaster kontrol.

“Hasil uji efikasi wolbachia ini cukup menggembirakan, yaitu wolbachia efektif menurunkan 77 persen kasus dengue, dan menurunkan 86 persen kasus dengue yang dirawat di rumah sakit,” papar Riris.  

Penuturan serupa disampaikan Warsito Tantowijoyo, ahli epidemologi yang juga merangkap sebagai team leader WMP Yogyakarta. Ia menjelaskan, wolbachia merupakan bakteri alami yang terdapat pada 60 persen serangga dan hanya hidup di dalam tubuh serangga.  

Dikatakannya, pada tubuh aedes aegypti, wolbachia bekerja dengan menekan, merebut makanan dalam sel yang pada akhirnya menghambat perkembangan virus dengue. Dengan begitu, saat nyamuk menggigit, tidak terjadi transmisi virus ke tubuh manusia.

“Artinya, saat terjadi gigitan, virus yang ada pada nyamuk tidak sampai masuk ke manusia karena sudah di-blok bakteri tadi,” terangnya.

Dengan kata lain, keberadaan wolbachia mampu mengendalikan replikasi virus dengue untuk berkembang biak. 

Dalam praktiknya, rekayasa genetik ini dilakukan dengan menitipkan ember berisi telur nyamuk ber-wolbachia di rumah-rumah warga dan atau juga fasilitas umum. Sehingga, setelah telur nyamuk tersebut berkembang menjadi nyamuk dewasa, akan menghasilan turunan nyamuk ber-wolbachia.  

Proses penggantian telur nyamuk ber-wolbachia dilakukan setiap dua minggu sekali dalam enam bulan. Hasilanya, daerah dengan sebaran nyamuk ber-wolbachia, mampu memproteksi diri dari serangan kasus DBD.  

Hasil penelitian ini sudah dipublikasikan pada jurnal the New England Journal of Medicane (NEJM). Teknologi ini juga sudah direview dalam pertemuan ke-13 WHO Vector Control Advisory Group pada 7-10 Desember 2020 silam.  

Saat ini, WMP Yogyakarta menjalin kerjasama dengan Pemkab Sleman melalui Dinas Kesehatan setempat untuk mulai mengimplementasi teknologi wolbachia. Selanjutnya, pada 2022 mendatang, akan kembali diterapkan di Kabupaten Bantul.

“Perlu ada peran aktif semua pihak agar teknologi ini dapat diimplementasikan di daerah lain untuk mempercepat upaya nasional melawan dengue,” terang Eggi Arguni selaku Diagnostic Team Leader WMP Yogyakarta. 

Pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyambut baik temuan tersebut. Pada 21 November lalu, 8 perwakilan kabupaten/kota di Indonesia juga telah diundang untuk menjajaki kemungkinan diterapkannya metode tersebut. Termasuk di Kota Semarang. 

Achmad An’am Tamrin, stakeholder Engagement and Policy Specialist WMP Yogyakarta mengatakan, sejauh ini, belum ada kendala berarti dari usaha penerapan teknologi Wolbachia di tempat lain. Sosialisasi yang intens kepada masyarakat, menjadikan implementasi Wolbachia dapat diterima dengan baik. 

A’an, sapaannya mengatakan, selain Sleman dan Bantul, beberapa wilayah di Indonesia juga menyatakan minatnya untuk memanfaatkan nyamuk Wolbachia dalam menanggulangi DBD. Seperti Boyolali, Bontang, Batam, NTT, hingga Bali.  

“Makanya, saat ini kami sedang menyusun strategi bagaimana supaya teknologi ini bisa diterapkan ke wilayah-wilayah lain di Indonesia. Paling tidak untuk sosialisasi. Karena kalau implementasi, perlu menunggu banyak proses. Termasuk regulasinya, apakah sudah sinkron atau belum. Atau malah memerlukan regulasi yang baru,” ungkap A’an.  

Guna memastikan hal itu, saat ini, pihaknya masih melakukan koordinasi dengan Kementerian Kesehatan, terutama dari Direktorat Jenderal Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) serta Balitbangkes yang kini berada di bawah BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional).  

Abdul Hakam mengatakan, pemanfaatan wolbachia sebagai instrumen lain dalam menanggulangi DBD sangat mungkin untuk dilakukan. Bergantung perkembangan kasus dan juga situasi di lapangan.

“Kebetulan, 24 November 2021 lalu kami bersama-sama mengikuti ‘kick off’ program tersebut. Dari Kemenkes, ada 8 kota/kabupaten yang terlibat. Nanti akan diambil 4, jadi kami masih menunggu. Kalau terpilih, nanti akan dilakukan pembekalan SDM oleh Kemenkes,” jelas Hakam.

Ia pun berharap keberadaan wolbachia menjadi kebijakan pendamping dalam menangani DBD di Indonesia. 

Pada akhirnya, perubahan iklim tidak hanya berdampak pada sektor lingkungan semata. Tetapi, juga kesehatan karena memicu peningkatan penyakit zoonosis. Dan, yang patut dicatat, DBD hanya salah satu dari ratusan jenis zoonosis yang berpotensi mengalami peningkatan kasus akibat perubahan iklim. Diperlukan usaha yang lebih serius agar ancaman tersebut tidak benar-benar terjadi. (*)  

Versi sebelumnya dari liputan ini terbit di Mongabay Indonesia pada tanggal 2 Februari 2022. Liputan ini didukung oleh Internews’ Earth Journalism Network.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.