Hancurnya alam berkaitan dengan hilangnya bahasa daerah dan adat istiadat. Budaya yang tidak dilestarikan akan mempengaruhi cara pandang Orang Rimba terhadap hutan.

Pengakuan atas identitas Masyarakat Adat dilindungi dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun, absennya aturan tentang pengakuan atas sumber daya alam dan agraria milik Masyarakat Adat mengancam keberlangsungan hidup mereka, termasuk Orang Rimba yang hidup di hutan Jambi.

Salah satu gerakan untuk mendorong Orang Rimba mempertahankan lahan dan adat-istiadat mereka diinisiasi oleh Saur Marlina Manurung, atau yang lebih dikenal dengan Butet Manurung. Melalui pendidikan, Butet berharap Orang Rimba mampu memperjuangkan hak mereka atas hutan yang dirampas oleh pihak-pihak yang memanfaatkan kondisi mereka yang buta huruf.

The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) berkesempatan melakukan wawancara dengan Butet Manurung pada Sabtu, 12 Maret 2022. Perempuan pendiri Sokola Institute ini juga terpilih sebagai menjadi salah satu model panutan boneka Barbie dari 12 panutan global. Sosoknya ditampilkan mengenakan kemben berwarna merah yang dipadukan dengan kain tradisional berwarna hitam khas perempuan Indonesia yang merupakan edisi khusus memperingati Hari Perempuan Internasional 2022.

Bagaimana awal mula perjuangan Anda mendampingi masyarakat adat dan Orang Rimba?

Berawal dari penugasan sebagai fasilitator pendidikan pada salah satu lembaga swadaya di Jambi yang berfokus pada bidang konservasi. Kami membuat program untuk menstimulasi kemampuan baca tulis Orang Rimba yang sering ditipu karena buta huruf. Sebenarnya tidak ada agenda jangka panjang untuk menyediakan pendidikan bagi mereka. Apalagi Orang Rimba sendiri menganggap aktivitas baca tulis sebagai hal yang tabu. Mereka bahkan menyebut pena sebagai setan bermata runcing.

Setelah 7 bulan hidup berbaur dengan budaya dan adat-istiadat Orang Rimba, perlahan mereka mulai menerima kehadiran kami. Empat tahun berjalan, saya menyadari bahwa untuk membangun pola pikir Orang Rimba melalui pendidikan dibutuhkan totalitas dan konsistensi. Bersama dengan empat teman lainnya, saya akhirnya memutuskan untuk keluar dari LSM dan memulai gerakan pendidikan bagi Orang Rimba. Selain untuk membantu Orang Rimba bebas buta huruf, kami berharap pendidikan dapat menjadi bekal Orang Rimba untuk melawan kelompok-kelompok yang merusak hutan mereka.

Karena keberadaan adat sangat erat kaitannya dengan upaya perlindungan hutan, kelompok Masyarakat Adat Makekal Hulu yang adatnya paling kuat menjadi kelompok pertama yang kami dampingi. Pada 2003, kami mulai mengembangkan sekolah bagi Orang Rimba dan sampai akhirnya tersebar di 17 lokasi.

Bagaimana penerapan kurikulum atau model pendidikan untuk Orang Rimba?

Pendidikan kami lebih pada advokasi hak, dengan mengedepankan literasi dan advokasi untuk masyarakat adat. Salah satunya dengan melindungi hutan sebagai bagian dari adat. Literasi dasar yang diajarkan menggunakan bahasa lokal. Kalau bertepatan dengan sidang adat, kami ikut kegiatan mereka mulai dari mendongeng sampai berburu ke hutan.

Materi pendidikan kami mengedepankan masalah yang dihadapi Orang Rimba, tentang hubungan dengan alam, pencipta, dan manusia. Program kami harus relevan dengan keseharian mereka, termasuk dalam upaya pengkaderan untuk membantu Orang Rimba mencari solusi atas konflik-konflik lahan dan hutan. Melalui pendidikan, Orang Rimba diharapkan mampu mempertahankan hak-hak mereka.

Menurut Anda, apakah hak-hak Orang Rimba sudah terpenuhi?

Pada 1999 atau setahun pasca-reformasi, saya pertama kali bertemu dengan Orang Rimba. Saat itu, aktivitas penebangan liar terjadi dimana-mana. Akibatnya, banyak Orang Rimba terusir karena kehilangan hutan yang menjadi rumah mereka. Fasilitas yang disediakan pemerintah bagi Orang Rimba, seperti rumah dan lingkungan baru, juga tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Sebagai seorang antropolog, saya melihat kebutuhan Orang Rimba, termasuk pendidikan, harus menjadi bagian dari identitas dan survival mereka. Itu yang belum terakomodasi.

Selain itu, Orang Rimba harus mendapatkan pengakuan atas tanah, hutan adat, dan identitasnya sebagai bagian dari masyarakat adat. Kalau tidak ada pengakuan, hutan mereka bisa dirampas kapan saja.

Bagaimana melibatkan Orang Rimba dalam pembangunan berkelanjutan?

Perspektifnya tidak boleh mainstream. Pemikiran antropologis diperlukan untuk keberlangsungan hidup Orang Rimba, seperti pentingnya menjaga kelestarian bahasa daerah. Ini yang konsisten kami terapkan, menggunakan bahasa ibu mereka dalam proses belajar mengajar. Kalau bahasa ibu hilang, mereka akan sulit memahami konteks karena tidak relevan dengan istilah, ritual pengobatan, kosmologi dewa yang mereka kenal selama ini.

Kami percaya hancurnya alam berkaitan dengan hilangnya bahasa daerah dan adat istiadat. Budaya yang tidak ikut dilestarikan akan mempengaruhi cara pandang Orang Rimba terhadap hutan.

Bicara tentang perempuan. Anda menjadi sosok Barbie yang menginspirasi. Bagaimana Anda bisa terpilih?

Awalnya kaget karena memang saya tidak mengikuti kepopuleran boneka Barbie. Saya dinilai sebagai orang yang berprinsip dan konsisten dalam gerakan pendidikan bagi kaum marginal. Bahkan saat dihubungi, saya merasa tidak sesuai dengan sosok Barbie yang selama ini dikenal. Namun, saya melihat kesempatan menjadi role model Barbie juga bisa menjadi media untuk memotivasi perempuan muda menjadi diri sendiri dan semangat mengejar cita-cita mereka.

Bagaimana mendorong anak muda untuk terlibat langsung dalam melestarikan alam dan budaya?

Alam dan budaya harus menjadi bagian dari identitas kita, sehingga kepedulian untuk melestarikannya juga ikut terbangun. Di tengah dunia yang serba modern, nilai-nilai yang masih dijunjung tinggi masyarakat adat dapat menjadi pengingat betapa pentingnya merawat hutan dan adat-istiadat. Adat adalah pendidikan tertua dan paling relevan karena berasal dari alam.

Sampai kapan Anda akan terus memperjuangkan hak-hak masyarakat adat?

Saya tidak akan berhenti. Bahkan setelah 20 tahun berjuang, masih banyak hal yang ingin saya lakukan bagi masyarakat adat, khususnya Orang Rimba. Mulai dari menulis buku, mengajak lebih banyak orang untuk terlibat langsung dalam gerakan perlindungan hutan dan adat, sampai melakukan penelitian-penelitian ilmiah.

Salah satu tujuan saya melanjutkan pendidikan ke jenjang S3 untuk menggapai mimpi sebagai ahli pendidikan untuk masyarakat adat. Bagaimana kemampuan saya dapat membantu untuk merancang pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat adat dan melestarikan budaya dan adat istiadat yang terus tergerus zaman.

About the writer

Abdus Somad

Abdus Somad, born in Karangasem, Bali, 27 years ago. He plunged into journalism by joining Axis Student Press at Ahmad Dahlan University, Yogyakarta. After graduating from college in 2018, he worked as...

1 comment found. See comment
Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

1 comment

  1. Terimakasih banyak bang atas wawancaranya bersama ibu Butet Manurung. Sangat menginspirasi tulisannya. Semoga berkah dan sukses terus bang.

Leave a comment