Posted inWawancara / Lingkungan Hidup

Eliza Marthen Kissya: Kearifan lokal dianggap ketinggalan zaman

Eliza Marthen membangun kesadaran masyarakat tentang lingkungan, konservasi penyu, dan burung Maleo yang terancam punah. Ia bahkan ikut memprotes keberadaan tambang yang merusak alam di Haruku.

Sekarang hari sudah malam
Singgah dulu di sana
Mari memanfaatkan sumber alam
Secara arif dan bijaksana

Pantun ini karya Eliza Marthen Kissya, Kepala Kewang, atau pemegang otoritas hukum adat, di Negeri Haruku, Maluku Tengah. Ia melestarikan adat-istiadat dan menjaga nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Maluku di tengah ancaman krisis iklim dan eksploitasi.

Selain mendidik masyarakat agar taat aturan adat, Eliza juga membangun kesadaran mereka tentang lingkungan, konservasi penyu, dan burung maleo (Macrocephalon maleo) yang terancam punah. Ia bahkan ikut memprotes keberadaan tambang yang merusak alam di Haruku.

Eliza memperoleh berbagai penghargaan atas dedikasinya terhadap lingkungan, salah satunya Kalpataru, penghargaan yang diberikan pemerintah Indonesia kepada perorangan atau kelompok atas jasa mereka melestarikan lingkungan hidup.

Di usianya yang semakin senja, pria yang akrab disapa Opa Eli ini berharap lahirnya para kewang muda yang meneruskan warisan adat untuk menjaga tanah leluhur. The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) wawancarai penerima Coastal Award 2010 ini pada Rabu, 20 April 2022.

Mengapa Anda terpanggil untuk menjaga adat dan alam Maluku?

Ini warisan orang tua, saya belajar dari alam dan leluhur. Bapak saya seorang pegawai negeri, tapi harus rela tinggal di kampung. Saya juga hanya ikut sekolah rakyat sampai akhirnya menjadi Kepala Kewang. Sejak kecil, saya ikut membantu kegiatan kewang adat di Negeri Haruku. Banyak hal yang dipelajari, misalnya kapan ikan bisa dipanen atau kapan akan hujan. Semua itu dari ilmu nanaku, ilmu yang diajarkan leluhur.

Bagaimana kondisi alam kampung Haruku saat ini?

Maluku memiliki keanekaragaman hayati, seperti ikan, penyu, dan burung Maleo yang langka. Namun, hadirnya tambang mengancam kelestarian alam di Maluku. Walaupun kami tinggal di pulau kecil, tapi alam menyediakan semua kebutuhan untuk hidup, bukan tambang.

Seperti yang terjadi tahun 1994-1997, kehadiran tambang emas menghilangkan kearifan lokal masyarakat. Kami malah dituduh menghambat pembangunan. Padahal masyarakat banyak ditipu karena izin yang dikeluarkan camat dan pemerintah. Kami menolak pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan. Pembukaan lahan tambang mencemari sungai dan laut yang menjadi tumpuan hidup kami.

Mengapa Anda menciptakan pantun, lagu, dan karya seni lainnya bertemakan lingkungan?

Hidup dengan alam harus berkesinambungan. Seringkali kami melawan perusahaan besar dan pemerintah untuk melestarikan lingkungan. Dan kami harus mencari cara halus untuk melawan. Bukan dengan tombak, tapi dengan pantun, puisi, dan lagu sebagai alat perjuangan.

Contohnya seperti ini:

Naik-naik ke Gunung Nona
Naik pedati bersama kusir
Kala tambang jadi primadona
Masyarakat Haruku jangan diusir

Bagaimana pantun bisa membuat perubahan?

Cara ini cukup berhasil karena dinilai menarik. Melalui pantun, saya mengajar para kewang kecil, muda, dan tua untuk peduli lingkungan. Misalnya, bagaimana menyemai bakau dan mengelola sampah. Saya malah sering diundang ke berbagai kegiatan sekolah dan kewang lainnya. Saat ini, banyak kearifan lokal yang sudah hilang karena dianggap ketinggalan zaman. Berpantun harus terus dilestarikan.

Bagaimana peran kearifan lokal untuk melestarikan lingkungan di Maluku?

Kami membangun kesadaran tentang pentingnya lingkungan melalui kewang kecil dan kewang muda. Misalnya dengan menyebarkan spanduk yang berisi pantun dan menegakkan sasi atau aturan adat untuk tidak mengambil sumber daya alam berlebihan. Seperti pohon sagu di pinggir sungai tidak boleh ditebang karena pohon itu dapat melindungi sungai dan sumber air.

Banyak bencana alam terjadi karena kita tidak merawat bumi dengan baik. Bumi bukan milik kita. Bumi ini adalah titipan untuk anak cucu kita yang harus dijaga.

Bagaimana mengajak anak-anak muda untuk terlibat langsung menjaga kearifan lokal dan lingkungan di Maluku?

Kumpulkan dan berdiskusi dengan mereka. Kita harus mau bekerja keras, tidak hanya dengan bicara tapi dengan bukti. Anak muda akan tergerak untuk ikut bekerja karena melihat contoh yang baik.

Anda mendapatkan berbagai penghargaan karena dedikasi menjaga lingkungan. Bagimana tanggapan Anda setelah masuk lagi dalam nominasi Kalpataru 2022?

Saya tidak pernah berpikir untuk meraih penghargaan. Pemerintah pusat dan daerah ternyata melihat yang saya lakukan dan perjuangkan untuk lingkungan. Walaupun tidak pernah mengikuti sekolah formal, saya juga dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi lingkungan dan orang lain.

Sampai kapan perjuangan Anda untuk kampung Haruku?

Sampai saya tidak mampu lagi. Sekarang usia saya sudah 70 tahun. Tuhan Maha Kuasa yang terus memberikan saya kekuatan dan kesehatan.

Alam ini harus dijaga. Saya mengajar kewang kecil yang selanjutnya bertugas menjaga alam melalui pantun. Saat ini, proses regenerasi terus berjalan. Saya senang dengan munculnya kewang-kewang baru yang akan melanjutkan perjuangan ini.

About the writer

Abdus Somad

Abdus Somad, born in Karangasem, Bali, 27 years ago. He plunged into journalism by joining Axis Student Press at Ahmad Dahlan University, Yogyakarta. After graduating from college in 2018, he worked as...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.