Kondisi air Sungai Batanghari yang keruh dan berlumpur membuat ribuan masyarakat lokal tidak dapat menggunakan air sungai. Air minum yang tercemar lumpur juga menyebabkan gangguan kesehatan terutama pada balita.

Sore itu, Jamal, atau biasa akrab disapa Pak Do (50) kembali membeli air isi ulang dari sebuah depot di Desa Rukam, Kecamatan Taman Rajo, Kabupaten Muarojambi, Jambi. Desa ini berada tepat di bibir Sungai Batanghari. Ironisnya, air bersih tidak bisa Pak Do dapatkan secara gratis.

Pak Do harus mengeluarkan uang sebesar Rp5.000 untuk satu galon atau lima liter air isi ulang dua hari sekali. Air isi ulang kemudian digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, Seperti air minum dan memasak di dapur.

“Setiap warga di desa ini membeli air isi ulang,” katanya, di pekan terakhir bulan Juli.

Kondisi seperti ini telah mereka lakukan sejak 10 tahun terakhir. Seiring air sungai yang semakin keruh dan tidak dapat lagi dikonsumsi oleh warga Jambi yang mengandalkan Sungai Batanghari sebagai salah satu sumber air bersih. Warga menyalahkan air sungai yang keruh disebabkan oleh hilangnya hutan di kawasan hulu sungai.

Sayangnya tidak semua warga memiliki kemampuan untuk membeli air bersih, sehingga kondisi ini menyebabkan meningkatnya kasus gangguan kesehatan bagi penduduk di penjuru provinsi.

Dengan panjang sekitar 870 kilometer, Sungai Batanghari dan beberapa anak sungainya menjadi sumber utama air bersih bagi penduduk di Jambi.

peta DAS Batanghari

Pak Do mencatat dalam ingatannya bahwa 10 tahun yang lalu, ia cukup pergi ke tengah sungai untuk mengambil air bersih pada malam hari. Air kemudian diendapkan agar dapat digunakan pada esok paginya.

Praktek ini lazim dilakukan oleh masyarakat lokal, biasa disebut Suku Melayu, yang berdiam di tepi Sungai Batanghari. Mereka menggunakan perahu kecil menuju bagian tengah sungai, yang kedalamannya berkisar antara enam hingga tujuh meter. Mereka kemudian menampung air dengan menggunakan ember.

Tetapi praktek tersebut mulai ditinggalkan sejak air sungai menjadi semakin keruh. Sungai yang dahulu jernih berubah warnanya menjadi cokelat tua yang berasal dari lumpur yang terbawa dari hulu.

Berkurangnya kualitas air sungai ini juga berdampak kepada kualitas air bersih untuk daerah lain di Jambi. Pengendapan lumpur di Sungai Batanghari menyebabkan penurunan debit sungai pada musim kemarau.

Hal ini berakibat kepada penurunan kemampuan air bersih untuk menggelontorkan kotoran dalam jaringan air bersih, berdasarkan Perusahaan Umum Daerah Air Minum Tirta Mayang Kota Jambi. Air yang kemudian mengalir ke rumah penduduk sekilas terlihat bersih, tetapi tidak sehat karena masih mengandung kotoran dan bakteri.

“Ada yang bicara penyebabnya karena rusaknya hutan. Tetapi, kami kurang mengerti,” kata Husni (45), warga Kelurahan Penyengat Olak, Kecamatan Telanaipura. Kota Jambi. Kelurahan ini terletak 200 kilometer dari Desa Rukam.

Di kawasan hulu Sungai Batanghari di Jambi, ada setidaknya tiga taman nasional (TN): TN Kerinci Seblat (TNKS), TN Bukit Duabelas (TNBD) dan TN Bukit Tigapuluh. Luas total dari tiga taman nasional tersebut mencapai hampir 16.000 hektar.

Taman nasional tersebut menjadi daerah konservasi yang harus dilindungi di bawah Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+), skema perlindungan hutan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang dicetuskan dalam konferensi iklim PBB di Bali tahun 2007.

Namun tutupan hutan di masing-masing taman nasional hanya sekitar 60 persen saja, berdasarkan analisis dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, lembaga swadaya masyarakat lokal di bidang lingkungan. KKI Warsi memperkirakan tutupan hutan di Jambi turun sekitar 2,8 juta hektar pada tahun 1990 menjadi 882.272 hektar di tahun 2020.

“Pembalakan yang dilanjutkan dengan land clearing [pembukaan lahan] adalah penyebab kerusakan hutan di Provinsi Jambi. Bencana kebakaran hutan dan lahan yang memperparah kondisi kerusakan hutan,” kata Adi Junedi, Direktur KKI Warsi.

Pembukaan lahan di kawasan taman nasional menyebabkan tanah kehilangan pelindung dari erosi. Ketika air hujan turun, material tanah akan terbawa air hujan turun ke sungai, menjadi lumpur yang mengendap dan menyebabkan pendangkalan di dasar Sungai Batanghari.

Kondisi ini memaksa penduduk untuk mengandalkan sumber lain untuk mendapatkan air bersih. Menurut “Provinsi Jambi Dalam Angka 2022” terbitan Badan Pusat Statisitik (BPS), air dalam kemasan menjadi sumber air minum terbanyak kedua untuk rumah tangga di Jambi dengan 27,47 persen. Air permukaan menjadi salah satu sumber yang paling sedikit dimanfaatkan oleh rumah tangga di Jambi yaitu 3.43 persen.

Mengeluarkan uang untuk membeli air bersih dapat menambah beban ekonomi kepada masyarakat miskin Jambi yang tinggal di bantaran Sungai Batanghari. BPS memperkirakan ada sekitar 294,000 jiwa penduduk miskin di provinsi ini di tahun 2021 – naik dari sekitar 277,000 di tahun sebelumnya.

Air daur ulang yang banyak digunakan oleh penduduk juga tidak serta merta dapat langsung dikonsumsi oleh penduduk. Sejak awal kemunculannya di tahun 2000-an, otoritas setempat mengingatkan warga untuk merebus air isi ulang itu terlebih dahulu. Mereka khawatir air isi ulang yang dikonsumsi langsung akan menyebabkan gangguan kesehatan karena mengandung bakteri seperti e-coli.

Apabila dibiarkan, krisis air bersih ini akan berdampak pada kesehatan balita dari penanganan alat makan menggunakan air yang tidak sehat.

“Pencucian botol susu yang buruk dapat menyebabkan bayi mengalami diare [:buang air besar encer tiga kali atau lebih dalam sehari] dari tumbuhnya bakteri e-coli pada botol susu,” kata Muhammad Syukri, dosen program studi kesehatan Universitas Jambi.

Gangguan kesehatan akibat krisis air bersih ini sudah mulai terlihat di antara penduduk semua umur. Dinas Kesehatan Provinsi Jambi pada tahun 2020 mencatat sebanyak 95.802 kasus diare, 52.862 diantaranya adalah balita. Sementara menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, pada tahun 2018 adalah 13.692 kasus.

“Harus ada kesadaran menyeluruh dari masyarakat dan pemerintah untuk mengatasi krisis air bersih ini,” lanjut Syukri.

Liputan ini pertama kali terbit di Amirariau.com pada tanggal 16 Agustus 2022 dan didukung oleh Climate Tracker dan Internews’ Earth Journalism Network melalui program beasiswa media Climate and Water Nexus.

About the writer

Zulfa Amira

Zulfa Amira currently sits as the general manager of the AmiraRiau.com, a local media in Riau Province. However, she's still writing for the website and also working freelance for Kanaldesa Lokadata.id. During...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.