Perubahan iklim bukan lagi sekadar cerita, dia sudah dekat dengan kehidupan masyarakat pesisir Lombok. Walaupun tidak paham istilah tersebut, warga sudah merasakan dampaknya.

Tak ada yang paling menyedihkan selain kehilangan ingatan tentang ruang tempat tumbuh, ruang tempat bermain, bersosialisasi, dan membangun rumah tangga. Kampung terpencil dengan segala kekurangan, kehidupan yang miskin, tidak seberat menghadapi kehilangan kenangan. Ketakutan kehilangan ingatan itu yang paling menyedihkan bagi Mastah.

“Dulu kalau ada acara, kita menonton gamelan. Apalagi kalau ada selamatan laut, ramai kampung, banyak orang datang,” kata perempuan yang tidak tahu berapa usianya itu saat saya temui di Pantai Telindung, Desa Anggaraksa, Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, akhir Oktober 2022.

Rambutnya memutih, ada kerutan di mata, pipi, kening. Langkahnya tidak lagi tegak. Usia memakan tubuh perempuan yang sehari-hari mencari batu apung ini. Mastah dulunya warga kampung Telindung, Desa Kerumut (sekarang masuk Desa Anggaraksa).

“Di sana dulu rumah saya, di depan-depan itu rumah tetangga. Ramai kampung ini,’’ kata Mastah menunjuk ke arah timur, ke arah lautan lepas. Kampung itu kini menjadi bagian Selat Alas.

Masyarakat Telindung sudah terbiasa dengan rob, saat air pasang, air laut masuk ke halaman rumah mereka. Biasanya di akhir tahun. Semakin lama, semakin sering terjadi rob. Air semakin mendekat ke perkampungan. Prosesnya perlahan, berpuluh tahun, masyarakat menganggap sebagai fenomena biasa.

Tahun 1990-an air semakin dekat, rumah warga yang paling dekat dengan pesisir sudah sering terendam air. Mastah masih ingat, dalam kondisi seperti itu masyarakat mulai resah. Tapi masyarakat bertahan, aktivitas dilakoni setiap hari.

Warga mulai menyiapkan perpindahan. Tahun 2002 warga mulai pindah ke tengah kebun, dan perlahan kebun mulai terkikis, hingga tahun 2008 pemerintah daerah membangun kompleks perumahan khusus nelayan Telindung. Pada tahun itu semua rumah di kampung nelayan sudah terendam. Sudah berubah menjadi laut.

“Tidak lama setelah pindah suami saya meninggal, perahu saya jual,” cerita Mastah.

Warga Telindung lainnya, Ismail alias Amaq Masri adalah pemilik rumah yang saat ini sudah berada di tebing jurang yang dikikis ombak. Kamar mandi yang terpisah dari rumah sudah tidak bisa digunakan. Rumah yang ditempatinya hanya berjarak 10 meter dari tebing yang langsung berbatasan dengan laut lepas. Dia sudah diminta pindah oleh pemerintah, tapi tidak tahu hendak pindah ke mana.

“Kalau mau pindahkan rumah ini butuh biaya. Bongkar butuh banyak orang, belum angkut dan nanti bangun ulang. Saya tidak punya uang,” katanya.

Ismail pernah menjadi nelayan. Kemudian menjadi buruh migran ke Malaysia. Pulang ke kampung Telindung, semakin sempit tempat mendaratkan perahu. Kini, Ismail tak lagi melaut.

Ikan menjauh

Abrasi yang parah, rob yang rutin sepanjang tahun, air laut yang sudah masuk ke permukiman bukan sekadar membuat warga cemas, bahkan terpaksa pindah. Perubahan di pesisir ini juga mengubah kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Mereka bukan semata kehilangan rumah, tapi juga kehilangan pekerjaan.

“Dulu setiap hari lihat uang, sekarang susah. Saya hanya jaga cucu,” kata Samurah, warga eks-kampung Telindung.

Ketika masih tinggal di pesisir, Samurah bekerja sebagai pengepul ikan. Kehidupan keluarga Samurah sejahtera. Bisa membeli perabot rumah, membangun rumah yang bagus. Kebutuhan belanja anak-anaknya terpenuhi. Tapi semuanya berubah, saat air laut semakin lama semakin dekat ke perkampungan, dan berakhir dengan tenggelamnya kampung Telindung.

Warga kampung Telindung yang direlokasi berubah profesi. Sebagian besar menjadi buruh penggali pasir, sebagian bekerja serabutan. Sebagian kecil masih menjadi nelayan, tapi itu semakin sulit. Jarak dari kampung relokasi ke tempat menambatkan perahu sekitar 1 km. Sebagian besar nelayan menjual perahu mereka. Yang masih memiliki perahu pun tidak setiap hari melaut.

“Kadang-kadang saja bawa perahu,” kata Arifin, salah satu warga yang masih bertahan menjadi nelayan.

“Tapi semakin susah. BBM naik, mau ke lokasi sandar perahu jalan jauh, mencari ikan juga semakin ke tengah. Sulit jadi nelayan sekarang,” sambungnya.

Keluarga muda yang lahir tahun 1990-an pernah merasakan tinggal di pesisir, menikmati masa kecil di pesisir. Tapi saat itu mereka belum terampil menjadi nelayan. Itulah sebabnya ketika mereka terpaksa pindah, mereka tidak lagi rutin bermain di pesisir. Mereka tidak bisa melaut. Pilihan menjadi buruh penggali pasir, buruh serabutan, dan terakhir menjadi buruh migran ke Malaysia.

Keluarga nelayan di pesisir Ampenan, Kota Mataram, juga dihadapkan kondisi yang sama. Mereka yang tidak bisa mengakses pekerjaan di kota, memilih menjadi buruh migran. Laki-laki sebagian besar ke Malaysia, perempuan sebagian besar ke Arab Saudi. Menjadi nelayan adalah pilihan sulit. Cuaca yang tidak menentu, ombak yang dianggap nelayan semakin ganas, membuat mereka berpikir panjang melaut.

“Sekarang ini air laut semakin dekat, ikannya yang jauh,” kata Nurhayati, istri nelayan di pesisir Ampenan yang pernah menjadi buruh migran ke Arab Saudi.

Pada abad ke-19 Pelabuhan Ampenan adalah salah satu pelabuhan terpadat di Nusa Tenggara. Dalam buku “Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915” karangan I Gde Parimarta, pada saat itu Pelabuhan Ampenan adalah salah satu pelabuhan ekspor hasil bumi ke China dan Eropa. Sebagai salah satu pelabuhan niaga yang padat, mampu menarik minat pedagang dari Makassar, Mandar, Arab, China. Mereka bermukim di Ampenan.

Hingga kini sisa-sisa kejayaan itu masih terlihat. Penduduk pesisir Ampenan sangat plural, berasal dari berbagai suku bangsa. Nama-nama kampung pun menyesuaikan asal para pendatang itu.

Pada masa itu, Ampenan adalah kota pesisir yang hidup. Kini sudah berubah 180 derajat. Dermaga yang pernah menjadi tempat berlabuh kapal-kapal barang berukuran besar, kini hanya berupa beberapa tiang yang tersisa. Kampung yang dulu jauh dari dermaga, jauh dari laut, kini sudah berada di bibir pantai.

“Kalau dulu luas sekali pasir pantai ini, bisa main bola dan itu masih jauh. Jauh kita jalah dari rumah ke tempat taruh perahu,” kata Hunaini, salah seorang nelayan senior Pondok Perasi Ampenan.

Perubahan iklim: Bukan sekadar cerita

Para nelayan di desa-desa pesisir yang terdampak perubahan iklim tidak tahu penyebab bencana di kampung mereka. Mereka hanya mengira-ngira, air laut yang semakin banyak yang menyebabkan terjadinya bencana. Saat air laut pasang sudah biasa mereka hadapi, tapi mereka tidak bisa menjelaskan kenapa rob semakin sering terjadi, hingga akhirnya membuat mereka terpaksa pindah.

Soal perubahan iklim di Lombok belum banyak diliput media. Kasus kampung Telindung, Desa Anggaraksa, Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, misalnya. Warga satu kampung direlokasi akibat abrasi dan rob yang parah. Kampung nelayan sudah berubah menjadi lautan.

Telindung hanya beberapa kali masuk pemberitaan karena abrasi yang semakin parah mengikis kebun atau ada orang terseret ombak. Kisah warga yang terpaksa pindah akibat bencana yang dipicu perubahan iklim ini seperti luput.

“Biasanya yang diberitakan itu ketika kelihat langsung dampaknya, misalnya ada banjir,” kata peneliti pesisir, Gendewa Tunas Rancak, yang juga Dekan Fakultas Teknik Universitas NU Nusa Tenggara Barat (NTB).

Data tentang perubahan pesisir Pantai Ampenan, Kota Mataram lebih lengkap jika dibandingkan di tempat-tempat lainnya. Penelitian yang dilakukan Arsyah Hutasuhut (2019) dari Fakutas Perikanan dan Kelautan Universitas Brawijaya mengumpulkan data pesisir Ampenan tahun 1998 – 2008. Dia membagi pesisir Ampenan menjadi 4 stasiun, mulai dari arah selatan ke utara.

Stasiun A merupakan pantai yang berada di muara sungai dan merupakan wilayah persawahan, daerah ini adalah kawasan Meninting – Bintaro. Stasiun B merupakan bagian pantai yang terdiri dari persawahan dan permukiman, kawasan ini sekitar Pondok Perasi.

Stasiun C merupakan pantai yang semua bagiannya permukiman warga yang merupakan kawasan Kota Tua Ampenan. Stasiun D merupakan pantai di muara sungai dan persawahan yang masuk wilayah Tanjung Karang dan sekitarnya.

Penelitain tersebut menunjukkan terjadi abrasi yang cukup parah. Pada lokasi Stasiun A terjadi abrasi 3,06 meter/tahun, pada Stasiun B terjadi abrasi 2,35 meter/tahun, Stasiun C 1,41 meter/tahun, dan Stasiun D 1,28 meter/tahun.

Dari hasil perhitungan numerik juga menunjukkan terjadinya abrasi pada tiap stasiun: 8, 97 m/tahun pada stasiun A; 14, 56 m/tahun pada stasiun B; 25, 27 m/tahun pada stasiun C; dan 10, 69 m/tahun pada stasiun D.

“Proses abrasi di Pantai Ampenan disebabkan oleh beberapa faktor seperti tinggi gelombang, aktivitas manusia, kecepatan arus, keberadaan muara sungai, serta tidak adanya bangunan dan tanaman pelindung pantai,” tulis Arsyah dalam kesimpulan penelitiannya.

Gendewa mengatakan, setiap tahun pesisir Ampenan menjadi langganan rob dan banjir. Saat air laut pasang, dari daratan air sungai meluap, akhirnya menggenangi permukiman.

“Beberapa perubahan yang terjadi di pesisir Mataram ini ada juga karena campur tangan manusia,” katanya.

Gendewa memberikan contoh banyaknya sedimentasi di Tanjung Karang. Dulu sungai yang bermuara di Tanjung Karang masih berkelok, tapi karena program penataan sungai, sungai dibuat lurus. Akibatnya sedimen bertumpuk di muara. Secara tidak langsung akan berpengaruh pada kondisi pesisir Tanjung Karang.

Sebagian besar pesisir pantai Kota Mataram terjadi abrasi. Dari hasil riset yang telah dilakukan Pemerintah Kota Mataram, perubahan garis pantai terjadi sepanjang 2006-2013. Pantai Penghulu Agung berkurang sejauh 36 meter. Pantai Pondok Perasi, rata-rata 21 meter perubahannya. Pantai Loang Baloq berkurang sejauh 32 meter dalam rentang waktu 2006-2017.

“Yang nambah daratannya Kampung Melayu dan Kampung Banjar. Di sini ada intervensi,’’ kata Gendewa.

Pantai Tanjung Karang hilang 18 meter dalam rentang 2006-2013 itu. Pernah bertambah daratannya, tapi kembali tergerus.

“Tahun 2016-2017 turun lagi Tanjung Karang,” kata Gendewa.

Dalam dokumen “Kajian Risiko dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pulau Lombok Provinsi NTB Sektor Pesisir dan Laut”, yang merupakan kolaborasi WWF, GTZ, Pemprov NTB, disebutkan ada kenaikan temperatur muka laut di Pulau Lombok rentang waktu 1980-2008. Bagian utara Pulau Lombok menunjukkan kenaikan temperatur laut rata-rata 1,30C, dan bagian selatan 0,20C.

Terdapat 50 kecamatan di daerah pesisir yang rentan terhadap kenaikan suhu permukaan laut. Kenaikan suhu permukaan air laut juga memicu terjadinya pemutihan terumbu karang. Jangka panjang akan berakibat pada perubahan keanekaragam hayati di daerah satu daerah pesisir dan terjadi migrasi ikan. Ini berakibat nelayan semakin jauh berlayar mencari ikan.

[bersambung ke bagian 2]

Liputan ini merupakan bagian dari “Story Grant Kerusakan Lingkungan Hidup dan Hilangnya Sumber Pangan” yang diadakan The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) dan Ekuatorial. Terbit pertama kali di Mongabay Indonesia, 2 Desember 2022.


About the writer

Fathul Rakhman has been a journalist since 2008 for local media in West Nusa Tenggara. From 2018 until now he contributes for Mongabay Indonesia. He has interest in environmental, educational, cultural...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.