Kejayaan sebagai kota pelabuhan tinggal cerita, Ampenan hari ini berjuang melawan abrasi dan rob. Kini warga menunggu waktu untuk direlokasi.

Hujan seperti datang terlalu cepat. Pada bulan Oktober biasanya sedang panas terik. Sejak September hingga Desember menjadi bulan mencari ikan sebanyak-banyaknya bagi nelayan pesisir Ampenan, Kota Mataram. Empat bulan ini sedang banyak ikan. Terutama tongkol (Euthynnus affinis).

Pengahasilan selama empat bulan ini menjadi tabungan kala kondisi cuaca buruk. Biasanya di awal tahun, berlanjut hingga Maret. Pada bulan inilah terjadi paceklik. Para nelayan yang tahu siklus ini, berusaha menabung di kala cuaca bagus.

“Tapi sekarang cuaca tidak bagus, tidak tiap hari saya turun [melaut],”  kata Hunaini, nelayan dari Pondok Perasi.

Biasanya pada musim tongkol dia akan melaut hingga perairan Bangko-Bangko, Sekotong, Lombok Barat. Perairan Selat Lombok itu menjadi lokasi favorit menangkap ikan tongkol. Tongkol berlimpah, dan ratusan nelayan dari berbagai daerah di Lombok datang ke tempat itu. Para nelayan kadang menginap di sana. Hunaini pernah menginap hingga sebulan. Pendapatan itu cukup untuk menutupi kehidupan selama musim paceklik, saat cuaca buruk.

“Sekarang ini cuaca belum bagus, ini ombak besar kesulitan kita ke tengah,” kata Hunaini yang sudah seminggu tidak melaut pada pertengahan Oktober.

Lain lagi bagi Salib, nelayan dari kampung Bekicot, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram. Di usia yang sudah tidak muda, penglihatan berkurang, tenaga berkurang, dia was-was kalau jauh melaut. Dalam lima tahun terakhir ini dia sudah jarang melaut. Perahunya dipinjamkan ke nelayan lain dengan sistem bagi hasil.

“Sudah tidak kuat, saya mau pensiun,” kata Salib. Dua anaknya laki-laki meneruskan profesinya sebagai nelayan tangkap.

Tinggal di kampung nelayan yang kumuh kehidupan warga kampung Bekicot semakin sulit. Salib adalah saksi mata perubahan pesisir kampung Bekicot. Dulunya banyak pohon pandan di pesisir kampung Bekicot. Tempat parkir perahu cukup jauh dari rumah. Masih ada tanah lapang tempat anak-anak bermain. Sekarang perahu sudah diparkir di halaman rumah. Bahkan setiap tahun, saat rob, nelayan mengikat perahu di rumahnya. Air masuk ke dalam rumah. Perlahan pasir yang dibawa air laut mulai menutupi rumah warga.

Rumah Salib misalnya. Dulu tembok rumahnya cukup tinggi. Seiring seringnya terjadi rob yang membawa pasir, sedikit demi sedikit tertimbun. Bahkan rumah salah seoarang putranya, sudah terkubur setinggi lutut orang dewasa. Untuk masuk ke dalam rumah harus menuruni pintu. Pasir membuat halaman rumah semakin tinggi, dan saat yang sama membuat rumah semakin rendah posisinya.

Sebagian warga di kampung Bekicot sudah pindah, tapi sebagian besar bertahan. Semakin banyak penduduk tapi tidak diiringi dengan kepemilihan lahan. Akhirnya warga membangun rumah di tempat-tempat yang kosong. Salah satunya di kompleks kuburan China. Salib sendiri bertetangga dengan salah satu kuburan. Begitu juga dua putranya yang sudah bekeluarga, membangun rumah di sela-sela kuburan.

“Kami tidak punya pilihan, semakin sulit jadi nelayan sekarang,’’ katanya.

Dulu Salib rutin menangkap ikan, istrinya setiap hari jualan ikan di pasar Kebon Roek Ampenan, sekitar 3 km dari rumahnya. Seiring usia mereka semakin tua, melaut semakin berat. Dengan kondisi cuaca yang sering berubah, melaut mempertaruhkan nyawa. Apalagi dengan kondisi pesisir pantai yang semakin sempit, mendekati rumah, semakin kesulitan nelayan parkir perahu.

“Syukur pemerintah berikan beasiswa ke anak saya, saya harap mereka tidak jadi nelayan,’’ katanya menuturkan salah satu putrinya sedang kuliah, dan satu orang duduk di bangku SMA.

Nasib tidak jauh berbeda dihadapi nelayan di kampung Jor, Desa Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur. Air laut sudah mendekati jalan raya. Saat air laut pasang, bisa menggenangi jalan, dan rumah nelayan yang berada di pesisir. Pemerintah membangun tanggul di beberapa lokasi di Desa Jerowaru. Tanggul tersebut mampu mengurangi genangan air laut saat pasang, tapi jika hujan, air dari daratan yang menggenangi rumah warga. Pilihan yang berat bagi warga yang tinggal di pesisir mulai dari kampung Jor hingga Poton Bako.

“Sudah ada rencana mau dipindah rumah-rumah yang di pinggir laut,” kata Amaq Nori, salah seorang nelayan yang saya temui pertengahan Oktober.

Kementerian Kelautan dan Perikanan RI membangun tanggul bambu di Jor dan Poton Bako. Fungsi tanggul itu untuk menahan lumpur yang dibawa dari daratan. Selain itu dinding bambu juga mengurangi kekuatan ombak saat kondisi pasang. Tapi dinding bambu itu tidak bertahan lama. Saat ini kondisinya semakin rapuh. Membangun dinding bambu itu bukan solusi jangka panjang.

Kehidupan nelayan di pesisir Jor ini banyak berubah. Amaq Nori menuturkan, dulunya di tahun 80-an menangkap ini cukup mudah. Berbekal perahu kecil, jarring dan pancing mereka cukup melaut sekitar perairan Teluk Jukung. Hanya sekitar 10 menit dari daratan sudah bisa menangkap ikan. Tapi sekarang semakin jauh para nelayan melaut.

“Sekarang dua kali lipat biaya, minyak naik lagi. Kalau tidak rugi saja sudah syukur, kadang keluar modal tidak kembali,’’ katanya.

Pesisir yang berubah, masyarakat yang cemas

Bahri terpaksa kembali menjadi nelayan. Pandemi Covid-19 mengantam sektor pariwisata di Kabupaten Lombok Utara. Bertahun-tahun Bahri bekerja di sektor pariwisata. Dia membawa perahu mengangkut penumpang ke Gili Trawangan, Gili Air, Gili Meno. Kadang menjadi buruh harian. Penghasilannya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Jika dibandingan menjadi nelayan, pendapatan menjadi buruh di sektor pariwisata ini lebih pasti. Risiko juga lebih kecil. Dia juga memiliki banyak kenalan yang sewaktu-waktu memakai jasanya. Menjadi buruh atau menjadi asisten yang membawa perahu wisata.

“Dibadingkan gempa (gempa Lombok 2018), covid ini lebih parah. Sepi tamu,’’kata Bahri saat saya temui di kampung halamannya di Teluk Kombal, Desa Pemenang Barat, Kabupaten Lombok Utara pada akhir Oktober.

Awal pandemi di masih mengandalkan tabungannya. Setahun pandemi keadaan ekonomi keluarga semakin sulit. Pilihan satu-satunya kembali melaut. Bahri tidak memiliki perahu, dia kerja sama bagi hasil dengan pemilik perahu. Bertahun-tahun meninggalkan profesi nelayan, Bahri kembali melaut di tengah kondisi laut yang berubah.

Abrasi menggerus kampung Teluk Kombal. Sebagian warga sudah pindah. Bahri termasuk yang bertahan. Tidak memiliki lahan di tempat lain untuk membangun rumah baru. Abrasi juga merusak tanggul di Teluk Kombal. Air laut mematikan pohon kelapa. Jika dulu masih bisa becocok tanam di halaman rumah, sekarang sudah lebih sering terendam air laut. Bahri kembali melaut saat laut tidak bersahabat.

“Semakin sulit jadi nelayan sekarang. Semua bahan mahal, hasilnya sedikit,’’ kata Bahri.

Mencari ikan tidak semudah dulu lagi. Tempat menangkap ikan semakin jauh, itu artinya semakin besar biaya yang harus dikeluarkan. Kondisi laut yang tidak menentu membuat nelayan was-was. Mau mencoba usaha lain tidak memiliki modal dan keterampilan. Bahri terpaksa kembali melaut, di tengah ketidakpastian mendapatkan hasil.

*******

Kampung-kampung nelayan di Pulau Lombok adalah satu satu sumber buruh migran, baik buruh migran perempuan dan buruh migran laki-laki. Sebagian besar menjadi buruh migran ke Malaysia, bekerja di perkebunan kelapa sawit. Beruntung jika bekerja di perkebunan sayur. Mereka bekerja mengandalkan otot.

Buruh migran perempuan memilih menjadi pekerja rumah tangga di Arab Saudi. Jika beruntung mendapatkan majikan yang baik, mereka bisa mengirim rutin uang ke kampung halaman.

“Kami bisa bangun rumah ini hasil saya dari Saudi,” kata Nurhayati, istri nelayan dari Bintaro, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram.

Hasil suaminya melaut hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Pada musim cuaca buruk, lebih sering berutang. Seandainya usia masih muda dan masih sehat, Nurhayati ingin kembali menjadi buruh migran.

“Saya paksa anak saya agar sekolah. Belajar bahasa Inggris biar bisa sekolah ke luar negeri. Jangan jadi nelayan seperti kami,” katanya.

Desa Jerowaru, Desa Pare Mas Kecamatan Jerowaru, Desa Ketapang Raya Kecamatan Keruak, keduanya di Kabupaten Lombok Timur adalah salah satu daerah yang warganya mengandalkan menjadi buruh migran. Advokasi Buruh Migran Indonesia (ADMI) Lombok Timur, NGO yang fokus pada advokasi buruh migran, banyak berkegiatan di desa pesisir ini. Kehidupan nelayan yang sulit, kemiskinan, menjadikan warga memilih menjadi buruh migran.

“Sebagian besar ke Malaysia,” kata Fauzan, aktivis ADBMI Lombok Timur.

Beradaptasi dengan pesisir yang berubah

Senam alias Amaq Sahni, nelayan Desa Seriwe, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur mengawasi ibu-ibu yang sedang mengikat bibit rumput laut. Sesekali dia memerika ikatan. Jika ada yang longgar dia berinisiatif memperbaiki. Setiap ikatan harus dipastikan kuat agar tidak terlepas. Jika sudah ditanam, ikatan lepas bisa menyebabkan kerugian bagi nelayan.

Senam memiliki 150 tali nilon. Penanaman rumput laut dengan cara mengikat di tali nilon yang kemudian dibuat mengapung dengan menaruh botol air mineral sebagai pelampung dikenal dengan sistem long line. Dengan 150 tali itu, Senam mampu panen 5 kuintal rumput laut kering dalam sekali panen. Dengan harga Rp 8.000 – Rp 10.000/kg, Senam bisa mengantongi Rp 5 juta/bulan. Angka itu sudah bersih, sudah dipotong dengan modal bibit, upah pengikatan bibit, upah melepas ikatan saat panen, dan penjemuran.

“Modal besar di awal saja,’’ katanya.

Sebagai nelayan senior di pesisir selatan Lombok Timur ini, Senam sudah kenyang pengalaman budidaya rumput laut. Dia juga sudah banyak mengembara di tengah laut mencari ikan. Senam merasa pendapatan dari budidaya rumput laut ini lebih pasti, lebih kurang risiko dibandingkan menangkap ikan, sebagaimana dilakoninya ketika masih muda.

Senam menjadi saksi perubahan di kampung pesisir yang tidak memiliki sumber air tawar itu. Budidaya rumput laut sudah lama dilakukan masyarakat, tapi saat itu hanya sebagai sampingan. Bagi nelayan Seriwe saat itu, hasil tangkapan laut cukup menghidupi kebutuhan sehari-hari mereka.

Pesisir berubah, daerah mencari ikan semakin jauh, di saat yang sama permintaan rumput laut meningkat. Tahun 1990-an sudah ramai nelayan Seriwe budidaya rumput laut. Tahun 2000-an semakin banyak, dan sepanjang tahun 2008-2014 mencapai kejayaan sebagai salah satu sentra budidaya rumput laut terbesar di Pulau Lombok.

Sejak saat itulah berbagai inovasi budidaya rumput laut digalakkan. Sejak saat itu juga nelayan Seriwe mulai melihat budidaya sebagai sumber utama penghasilan mereka. Nelayan yang lebih muda, Hasyim menjadikan budidaya rumput laut sebagai sumber penghasilan utama.

“Kalau lagi musim ikan, pergi juga menangkap,’’ katanya.

Budidaya rumput laut juga berisiko gagal. Bukan sekali dua terjadi kegagalan, ditambah harga yang turun membuat nelayan memutuskan berhenti budidaya. Tapi nelayan mempelajari kondisi air laut. Mereka membaca perubahan, tahu siklus tanam yang bagus, termasuk juga menghindari ketika musim pemupukan jagung. Selain dari laut, bahan kimia yang terbawa air hujan menjadi ancaman budidaya rumput laut.

“Kalau lagi memupuk jagung, ditunggu hujan sekali baru tanam (rumput laut) banyak. Kalau menanam saat baru memupuk dan hujan, air hujan itu banyak pupuk. Tidak bagus hasilnya (rumput laut),’’ kata Hasyim.

Nelayan juga tahu musim yang cocok untuk menanam rumput laut. Pada musim hujan, nelayan menanam rumput laut berwarna hijau, dan saat musim angin menanam rumput laut yang kecoklatan.

“Bisa dibilang sekarang ini sebagian besar nelayan Seriwe sudah punya budidaya rumput laut. Hasilnya lebih pasti. Alhamdulillah dapat minimal Rp 5 juta sebulan, kata Hasyim.

Daerah Seriwe merupakan kawasan pantai selatan Lombok Timur yang kesohor karena keindahannya. Berpasir putih, air laut jernih, dan menjadi salah satu lokasi pesta rakyat Bau Nyale pada bulan Februari. Di Pantai Kaliantan, yang bertetangga dengan Seriwe, menjadi lokasi event kite surf. Pantai Cemara yang masih satu garis pantai dengan Seriwe juga dikenal dengan kesejukan pohon cemara dan pasir putihnya. Tapi bagi nelayan Seriwe, pariwisata masih belum bisa diandalkan.

“Bisa dibilang sekarang ini sebagian besar nelayan Seriwe sudah punya budidaya rumput laut. Hasilnya lebih pasti. Alhamdulillah dapat minimal Rp 5 juta sebulan,” kata Hasyim.

[Baca bagian 1 di sini]

Liputan ini merupakan bagian dari “Story Grant Kerusakan Lingkungan Hidup dan Hilangnya Sumber Pangan” yang diadakan The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) dan Ekuatorial. Terbit pertama kali di Mongabay Indonesia, 15 Desember 2022.


About the writer

Fathul Rakhman has been a journalist since 2008 for local media in West Nusa Tenggara. From 2018 until now he contributes for Mongabay Indonesia. He has interest in environmental, educational, cultural...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.