Indonesia menggunakan insinerator sebagai salah satu solusi permasalahan sampah. Sementara pemulung menginginkan pemberdayaan yang lebih baik, upah yang adil, dan akses ke layanan sosial dan kesehatan.

Semenjak diluncurkannya pembakaran sampah modern yang pertama di Jepang di Osaka  di tahun 1960an dan cepat meluasnya penggunaan pembakar sampah atau incinerator ini seiring dengan pesatnya laju pertumbuhan ekonomi  dan limbahnya di dua dasawarsa berikutnya, maka mayoritas sampah Jepang berakhir di pembakaran..

Namun kini, beroperasinya lebih dari 1.000 incinerator sementara volume limbah berkurang karena pendauran ulang serta populasi yang menua, membakar sampah menjadi kurang diminati. 

Karena itu, dengan dukungan pemerintah, perusahaan seperti Hitachi Zosen, Marubeni, JFE Engineering dan Itochu melirik ekspor teknologi pembakaran sampah Jepang  ke kawasan yang menghadapi krisis limbah yang semakin meningkat, yaitu Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Namun para pekerja, pegiat termasuk pegiat lingkungan di kawasan ini sudah menjadi semakin khawatir mengenai polusi, mata pencaharian serta apakah pembakaran benar-benar sebersih yang diakui para pendukung sistem ini.

“Banyak negara di Asia mulai panik karena tidak terdapat ruang yang cukup untuk membangun tempat pembuangan sampah baru dan berusaha mengatasinya dengan membangun incinerator,” ujar Yobel Novian Putra, pegiat GAIA-Asia Pacific, sebuah organisasi nirlaba yang menolak pembakaran sampah.

“Sampah memang merupakan problem besar namun mereka berinvestasi di solusi yang salah dan berpotensi membuang banyak waktu dan uang,” imbuh pegiat yang berbasis di Indonesia ini.

Ekspor incinerator ini juga nampaknya tidak disertai dengan kontrol polusi yang ketat seperti di Jepang atau model serikat buruhnya. Tidak seperti di Jepang, pengumpul limbah di Asia Tenggara tidak memiliki serikat buruh.

Mereka bahkan tidak digaji secara normal. Di negara seperti Indonesia misalnya, jutaan pemulung sampah informal mengumpulkan, menyeleksi dan memisahkan limbah dan hanya hidup dari penjualan limbah yang dapat didaur ulang  atau digunakan kembali. Mereka seringkali merupakan anggota masyarakat yang paling termarginalisasi.

“Jumlah pemulung di Indonesia banyak dan mereka dengan sendirinya mengurangi volume limbah,’ ujar Pris Polly Lengkong, Ketua Ikatan Pemulung Indonesia.

Pemerintah  yang mendorong penggunaan pembakaran sampah sebagai solusi atas meningkatnya limbah tidak hanya di Indonesia. Di Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Filipina pun demikan. 

 Berita mengenai sungai yang dipenuhi sampah atau or Binatang liar yang tercekik plastik  semakin banyak menjadi judul utama di media sementara sedikitnya 30 incinerator baru telah dibuka, sedang dibangun atau direncanakan di tiga dari negara-negara tersebut.

Jepang memainkan peran utama dalam penyebaran incinerator in. Di tahun 2019, ketika Jepang menjadi tuan rumah KTT G20, pemerintah mendorong penggunaan incinerator sebagai solusi mengurangi limbah di laut. 

Sejak itu Kementerian Luar Negeri Jepang, Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA) dan Asosiasi Kerjasama Teknis Internasional Kitakyushu, mempromosikan penggunaan pembakar sampah di kota-kota seperti Davao dan Cebu di Filipina serta Bandung dan Surabaya di Indonesia. 

Salah satu sebab dibalik usaha ini adalah bahwa pasar Jepang untuk pembakar sampah ini sudah jenuh. Bahkan di Tokyo volume limbah memuncak di tahun 1989 dengan 4,9 juta ton dan seterusnya menurun hingga hanya kurang dari 3,0 juta ton di tahun 2019.

“Mungkin jumlah limbah dibandingkan dengan jumlah pembangkit energi akan berkurang di masa mendatang,” ujar Takaoka Masaki Ji (高岡 昌輝) seorang profesor dan ketua Waste to Energy Research Council di Universitas Kyoto. 

Bagi perusahaan seperti Hitachi Zosen dan Marubeni, ini berarti mereka harus mengarah keluar negeri untuk dapat terus menjual teknologi pembakaran sampahnya, tentu dengan dukungan pemerintah.

Mengekspor model Jepang 

Incinerator di Jepang yang berjumlah lebih dari 1.000 ini seringkali dipromosikan di dunia sebagai model tata kelola limbah yang berkelanjutan. Fakta bahwa di banyak kota-kota besar, banyak pembakar sampah ditemukan di daerah perumahan merupakan pertanda asumsi ini sudah banyak diterima masyarakat.

Namun sebenarnya, sebelum tahun 2000, pembakaran sampah banyak menerima penolakan dari komunitas setempat serta pegiat lingkungan di Jepang. Pembakaran limbah banyak menghasilkan . polutan berbahaya, termasuk dioxins.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dioxin dikaitkan dengan pelemahan sistem imun, perkembangan sistem persyarafan dan sistem endokrin serta fungsi reproduktif.

“Warga Jepang menolak pembangunan pembangkit energi yang menggunakan limbah, terutama sebelum tahun 2000. Kita menghadapi kasus emisi dioxin yang serius ketika itu,”  udjar Takaoka. “Tetapi pengendalian polusi telah lebih maju dan sekarang ada emisi yang lebih sedikit dari pembangkit energi yang menggunakan limbah, jadi banyak warga kemudian menerimanya.”

Kekhawatiran mengenai Dioxin cukup meluas di tahun 1990an dan bahkan menarik perhatian dunia. Di tahun 2000, banyak protest terjadi di Incinerator Suginami di Tokyo, dimana paling tidak 400 warga setempat menjadi sakit karena polusi..

Ini memaksa pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang ketat mengenai emisi dioxin, yang kemudian membuat pembakar sampah seperti Suginami untuk membangun kembali atau melengkapi peralatan mereka dengan teknologi pengendalian polusi yang lebih baik.

Dampaknya terlihat seperti di Incinerator Tamagawa di Ota, Tokyo. Dalam sebuah kunjungan lapangannya kesana, seorang teknisi mencatat bahwa pengendali polusi di incinerator tersebut bernilai dua kali lipat harga alat pembakar sampah itu sendiri. 

Hal ini kemudian menjadikan pembakaran sampah mahal, bahkan menjadi salah satu cara membangkitkan listrik  yang termahal di dunia.

Peran pekerja yang menjalankan pembakar sampah di Tokyo secara aman dan bersih juga penting,termasuk pengumpul sampah yang harus memisahkan sampah dengan baik agar pembakar sampah dapat dijalankan secara efisien, hingga staf dengan kecakapan tinggi yang bekerja di pembakaran sampah dan pengendalian polusinya. Banyak dari mereka anggota  Tokyo Sanitation Workers Union (Serikat Buruh Sanitasi Tokyo)..

Dampak pada para pemulung dan mutu udara 

Pembakaran sampah pertama sudah beroperasi di Bantargebang, Bekasi, di pinggiran ibukota Jakarta. Fasilitas ini dioperasikan oleh pemerintah bersama sebuah perusahaan swasta, PT Jakarta Propertindo, dan menerima dukungan dari pemerintah Jepang

Sampai sekarang, para pekerjanya sama sekali tidak dilibatkan dalam pemilihan teknologinya menurut Pris. Ia juga khawatir bahwa teknologi yang diperoleh Indonesia tidak sebersih atau semoderen yang digunakan di Tokyo.

“Kalau saya tidak salah, teknologi Jepang dari 20 tahun yang lalu dipasang di Indonesia. Jepang saja sudah tidak lagi menggunakannya,” ujar Pris.

Organisasi Pris yang juga anggota Global Alliance of Waste Pickers, berjuang agar para pemulung dihargai pekerjaannya karena membantu mengurangi dan mengelola limbah di kota-kota besar seperti Jakarta.

Ia juga melihat adanya ancaman langsung dari pembakar sampah, yang ditakutkannya akan merugikan mata pencaharian para pemulung ini dengan menutup akses mereka pada tempat pembuangan sampah. JICA juga mendukung sebuah proyek lainnya  yang direncanakan akan dibangun Cilacap, Jawa Tengah.

Kekhawatiran dampaknya pada lingkungan juga ada. Menurut GAIA-Asia Pacific,  pengendalian polusi dan persyaratan monitoring jauh lebih lemah di Asia Tenggara dibandingkan dengan di Jepang dan ada kekhawatiran bahwa untuk menurunkan biaya, teknologi pengendalian polusi akan dikorbankan

Seorang juru bicara bagi Hitachi Zosen, yang menyediakan teknologi bagi puluhan pembakaran sampah di Asia dan ingin mengekspornya ke Indonesia dan Thailand, mencatat bahwa mereka mengikuti peraturan polusi setempat saja, bukan peraturan di Jepang.

“Ini adalah penjajahan limbah,” ujar Yobel.”Mereka mendorong standar yang lebih rendah untuk Asia Tenggara dan ini sangat membuat kita frustasi. Kita tidak berhak atas apa yang kita inginkan.”

Bagi Pris, ia memiliki permintaan sederhana bagi para pejabat di Indonesia maupun di luar negeri. Alih alih mengimpor teknologi yang mahal dan berbahaya, mengapa tidak memberdayakan saja para pemulung untuk mengatasi krisis limbah?

“Mengapa harus mengeluarkan uang untuk pembakar sampah yang bernilai miliaran rupiah?” tanya Pris.“Ini sungguh pemborosan uang. Lebih baik menggunakannya untuk membantu mensejahterakan para pemulung.”

Ia menunjuk kepada betapa para pemulung mampu mengelola dan mengurangi sampah walaupun sumber daya mereka terbatas. Dengan pelatihan memadai mengenai pemilahan sampah, atau pembuatan kompos, dengan upah yang adil dan akses kepada layanan kesehatan dan sosial, mereka ini akan dapat berbuat lebih banyak lagi.

“Ini merupakan cara yang lebih manusiawi dan lebih bijak bagi pemerintah, dibandingkan dengan teknologi yang membuang-buang uang,” tutup Pris.


Artikel ini dikembangkan dengan dukunga dengan dukungan JournalismFund.eu dan pertama kali terbit di Unfiltered pada tanggal 30 October 2022. Tulisan ini telah di edit untuk kejelasan dan konteks Indonesia.

About the writer

Nithin Coca is a Asia-focused freelance journalist who covers climate, environment, and supply chains across the region. He has been awarded fellowships from the Solutions Journalism Network, The Pulitzer...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.