Jurnalis harus memperkuat pengetahuan tentang lingkungan hidup. Sebab, daya jangkau penyebaran berita melalui media massa, dipercaya dapat mendorong peningkatan kesadaran tentang perilaku dan program pembangunan yang berwawasan lingkungan.

Penilaian itu tersaji dalam Konferensi Nasional Jurnalis Lingkungan Hidup (KNJLH+), pada 19-20 Januari 2023, yang diselenggarakan oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ).

Berlangsung di Wisma Hijau, Kota Depok, Jawa Barat, konferensi ini mengusung tema “Darurat Krisis Iklim: Perkuat Jurnalisme Lingkungan di Tengah Krisis”.

Joni Aswira, yang terpilih menjadi Ketua Umum SIEJ periode 2022-2025, menyebutkan bahwa penguatan jurnalisme lingkungan merupakan konsekuensi dari fenomena perubahan iklim, polusi, kerusakan biodiversitas, serta kenaikan suhu rata-rata bumi.

Atas dasar itu, KNJLH+ diharap dapat menjembatani jurnalis di seluruh Indonesia untuk merefleksikan kerja-kerja jurnalistik, memperluas pengetahuan, serta menggerakkan aksi penyelamatan lingkungan hidup dan sumber daya alam.

“Memang perjuangan kita masih panjang, dan kita perlu memperluas pengetahuan terkait dengan lingkungan hidup,” kata Joni.

Zulkifli Mangkau, jurnalis lepas yang berdomisili di Gorontalo menilai, penguatan jurnalisme lingkungan dapat dilakukan dengan meningkatkan partisipasi dan kolaborasi jurnalis dalam meliput berita-berita lingkungan hidup. Serta, menjadikan topik-topik lingkungan sebagai perhatian utama dalam ruang redaksi media massa di Indonesia.

Wulan Yanurwati, jurnalis Radar Jogja menyebut, selain aktivitas mendokumentasikan informasi dan peristiwa di lapangan, narasi-narasi jurnalistik harus mampu membangun optimisme terkait keberlanjutan lingkungan.

“Kita perlu lebih perhatian pada lingkungan, bekerja dengan kemampuan masing-masing. Meskipun efeknya lambat, tapi kita perlu bikin langkah kecil,” ujar nya.

Untuk meningkatkan kesadaran dan optimisme tersebut, kata Eny Musliha, jurnalis lepas asal Lampung, kerja-kerja jurnalistik harus didasari kemauan yang kuat menggali informasi, memperkaya pengetahuan lingkungan hidup, dan mempertimbangkan berbagai pandangan.

Sehingga, dalam proses peliputan, tidak bisa hanya mengandalkan kedekatan dengan narasumber sebagai satu-satunya sumber informasi. “Jurnalis harus punya perspektif lingkungan. Tidak bisa hanya mendengar, tapi harus menyampaikan pengetahuan yang diamati di lapangan,” kata Eny.

Bagja Hidayat, Redaktur Eksekutif Majalah Tempo menilai, isu lingkungan hidup adalah pondasi bagi masa kini dan masa depan. Kebijakan pemerintah, contohnya, akan berdampak pada lingkungan dan harus selalu mempertimbangkan lingkungan.

Karena itu, penting bagi jurnalis memiliki perspektif lingkungan untuk mensintesakan data, pendapat, dan memberi nilai tentang suatu peristiwa atau isu. Perspektif jurnalis juga berperan memperkaya pengetahuan pembaca dan memicu percakapan yang produktif.

Untuk memperkaya perspektif lingkungan, jurnalis dituntut menjadi pihak pertama yang memperluas pengetahuan, jejaring dan bertukar pikiran. Selain itu, jurnalis diharapkan memiliki keinginan yang kuat untuk menelusuri informasi, data dan pendapat secara mendalam.

“Ketika seseorang bilang di luar hujan, sedangkan seseorang yang lain bilang tidak hujan. Yang harus Anda lakukan adalah buka jendela dan lihat sendiri,” terang Bagja.

KNJLH+ dihadiri oleh 100 peserta termasuk para anggota SIEJ dari 25 daerah simpul yang tersebar dari Aceh hingga Papua.

Melalui rangkaian kegiatan dalam konferensi ini, mereka menyimak pemaparan serta berdiskusi tentang berbagai topik seperti ekonomi hijau, transisi energi, mitigasi bencana hingga keanekaragaman hayati.

Selain praktisi media, kegiatan ini juga menghadirikan narasumber dan pembicara dari beragam latar profesi. Mulai dari pegiat lingkungan hidup hingga perwakilan pemerintah.

Berita yang mudah dimengerti

Berita, sebagai produk jurnalistik, disebut harus mampu memberi pemahaman kepada publik terkait kondisi lingkungan hidup. Caranya, melalui narasi dan konteks yang mudah dimengerti.

Andi Muttaqien, Deputi Direktur Satya Bumi — organisasi yang fokus pada advokasi perlindungan hutan dan alam — menilai, ancaman krisis iklim memang perlu ditindaklanjuti dengan penguatan partisipasi dan pengetahuan jurnalis terkait isu-isu lingkungan hidup.

Dampak lanjutan dari penguatan itu dipercaya akan berkontribusi mendorong peningkatan partisipasi publik dalam aksi-aksi perbaikan lingkungan.

“Jurnalis punya peran memberitakan dan memberi tahu apa yang terjadi, dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat umum. Itu bisa meningkatkan kesadaran masyarakat tentang krisis iklim dan cara memitigasinya,” terang Andi.

Selain narasi yang mudah dimengerti, jurnalis juga diharapkan membantu publik untuk memahami konteks lingkungan hidup secara menyeluruh. Seperti dikatakan Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), persoalan lingkungan hidup selalu bersifat universal, tidak dibatasi wilayah, dan tidak hanya menjadi persoalan satu spesies atau masyarakat tertentu.

Dia mencontohkan, jika bambu punah, maka kata yang akan terhapus dari kamus bukan hanya bambu itu sendiri, tapi juga produk turunan yang menggunakan bambu. Misalnya keranjang, perangkap ikan, dan rumah yang terbuat dari atau menggunakan bambu.

“Kalau terdapat 2 juta spesies makhluk hidup punah, bahasa kita akan berpijak ke mana?” tanya Zenzi.

Meningkatkan kesadaran

Bagi pemerintah, jurnalis lingkungan berperan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang perubahan iklim, kebijakan lingkungan, serta mengingatkan risiko bencana di berbagai daerah.

Agus Justianto, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menilai, peran jurnalis makin vital di tengah derasnya gempuran arus informasi. Aktivitas pengumpulan data, observasi lapangan, dan verifikasi yang merupakan metode dalam peliputan, disebut dapat membantu publik untuk memperoleh informasi yang akurat.

“Jurnalisme lingkungan hidup merupakan salah satu jalan terbaik untuk meningkatkan kesadaran tentang lingkungan hidup, khususnya perubahan iklim,” kata Agus.

Menurut Agus, wartawan merupakan aktor penting dalam menyebarkan komitmen iklim dan kebijakan lingkungan pemerintah kepada publik. Informasi itu selanjutnya diharap dapat mendorong lahirnya sinergi antara kebijakan lingkungan, kesehatan lingkungan, pembangunan berkelanjutan, dan perubahan iklim.

Jurnalis harus punya perspektif lingkungan. Tidak bisa hanya mendengar, tapi harus menyampaikan pengetahuan yang diamati di lapangan.

Eny Musliha, jurnalis lepas, Lampung.

Dalam aspek keselamatan warga, jurnalis berperan memberi informasi terkait program-program mitigasi bencana alam. Prasinta Dewi, Deputi Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, jurnalis punya peran penting untuk mengingatkan masyarakat tentang risiko bencana di wilayah masing-masing.

Misalnya, potensi banjir dapat diidentifikasi dengan mengetahui durasi hujan lebih dari 1 jam, jarak pandang 30 meter dan dalam intensitas tinggi. Melalui informasi tersebut, masyarakat yang tinggal di lokasi rentan dapat mempersiapkan diri atau segera dievakuasi.

“Media adalah bagian dari pentahelix atau forum pengurangan risiko bencana, salah satu mitra kami dalam pengelolaan bencana,” terang Prasinta.

Pentahelix, termasuk media di dalamnya, diharapkan dapat memaksimalkan edukasi pada publik, bahwa lingkungan hidup dan bencana alam adalah urusan bersama. Juga, untuk mengingatkan bahwa kita setiap harinya hidup di daerah rentan bencana.

About the writer

Themmy Doaly

Themmy Doaly has been working as Mongabay-Indonesia contributor for North Sulawesi region since 2013. While in the last nine years he has also been writing for a number of news sites in Indonesia, including...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.