Daya rusak penambangan emas ilegal di Jambi berpotensi memicu krisis pangan dan mengancam kesehatan jutaan nyawa.

Raut wajah Muhammad Syafar gusar. Semalam dia tidur terlalu lelap. Aliran anak sungai di depan rumah papan miliknya mendadak keruh. Dari kejauhan suara alat berat menderu, mengeruk bebatuan Sungai Batangasai yang membelah Desa Raden Anom, Kecamatan Batangasai, Kabupaten Sarolangun, Jambi.

Dia biasa dipanggil dengan sebutan Datuk Syafar. Ia tinggal di Dusun Muaro Selaro, Desa Raden Anom. Menghadapi gempuran pengusaha tambang sudah jadi kegiatannya sehari-hari. Mereka tidak pernah lelah menunggu Syafar lengah. 

Sekalinya lengah, secara diam-diam mereka merambah lahan di sekitar rumah Syafar. Merenggut petak-petak sawah dan merangsek ke dalam hutan adat Talun Sakti.

“Selagi saya masih ada, nyawa saya pertaruhkan, untuk menjaga wilayah ini. Mereka tidak akan pernah bisa masuk,” kata Syafar yang didapuk sebagai Ketua Kesatuan Hutan (KTH) Adat Talun Sakti ketika ditemui di rumahnya, akhir Oktober 2022 lalu.

Dua bulan sebelumnya, Syafar pernah didatangi bos penambang emas ilegal. Kedatangan pada malam buta itu, untuk menawarkan uang sebesar Rp35 juta. Tidak hanya uang tunai.

Syafar mendapat tawaran bagi hasil pengerukan emas di sungai sepanjang 5 kilometer. Sebagai gantinya, Syafar diminta melepas wilayah Dusun Muaro Seluro jadi area penambangan emas ilegal.

Tanpa berpikir panjang, Syafar mengusir tamu tak diundang tersebut. Penolakan berbuntut panjang. Diam-diam anak buah bos penambang emas ilegal membawa masuk alat berat ke wilayahnya. Bentrokan antar warga nyaris terjadi. 

Syafar tak sendirian. Ibu-ibu turut mengadang alat berat di pangkal jembatan gantung menuju Dusun Muaro Seluro.

“Ibu-ibu itu membawa obor. Kalau mereka tidak mundur. Alat berat itu sudah dibakar. Sampai sekarang, kami tetap teguh mempertahankan wilayah Dusun Seluro dari gempuran penambang emas ilegal,” kata lelaki yang sehari-hari bertani dan menjaga hutan itu.

Ketegaran Syafar dalam menjaga hutan, membuatnya diganjar penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kelompoknya juga telah menerima dana imbal jasa karbon sebesar Rp50 juta tahun lalu.

Hutan adat Talun Sakti merupakan benteng terakhir cadangan air bagi warga di sana. Kalau hutan dengan luas sekitar 641 hektar rusak, mata air terancam berhenti mengalir. Akibatnya, sawah-sawah mengering dan masyarakat kehilangan sumber pangan. 

Sebelum adanya penambangan emas ilegal, kata Syafar hasil panen bisa bertahan sampai setahun. Semenjak adanya alih fungsi lahan sawah menjadi area penambangan emas ilegal, cadangan beras masyarakat hanya bertahan 2-3 bulan.

Selain sebagai cadangan pangan, sawah mampu menghidupi anak-anak yatim dan janda-janda yang berada di Desa Raden Anom. Setiap panen mereka mendapatkan bagian. Namun tradisi itu kini menghilang. Sama halnya dengan nyanyian ‘selimbai’ sebuah tradisi gotong royong menanam padi yang sudah dilupakan.

Tradisi selimbai, kata lelaki penyandang gelar Ketua Adat Desa Raden Anom ini, ‘memaksa’ penduduk kampung turun ke sawah. Ketika di sawah, puluhan pasangan segendang seirama.

Kelompok laki-laki mengayunkan cangkul dan kelompok perempuan akan bersahut-sahutan pantun. Luas sawah mendorong orang-orang melakukan nyanyian selimbai. Sebab semakin luas sawah, maka dengan adanya tradisi ini, pekerjaan semakin ringan.

“Kalau sawah warga sudah sedikit, tidak perlu lagi tradisi nyanyian selimbai,” kata Syafar.

Bencana ekologis 

Ardito, petani dari Desa Gerabak di kecamatan yang sama bergegas memanen padi karena telah memasuki musim hujan. Dia takut sawahnya kebanjiran. Saluran irigasi yang mengelilingi sawah miliknya sudah rusak karena aktivitas penambang emas. Sawahnya jadi mudah tenggelam saat musim hujan.

“Banjir sekarang berbeda dengan dulu. Air cepat sekali naik ke area sawah dan merendam rumah-rumah. Saya pernah gagal panen karena banjir,” kata Ardito yang tidak bisa menyembunyikan kekesalan dalam suaranya. 

Kala banjir datang, semua rumah di bantaran Sungai Batangasai tenggelam. Ratusan hektare sawah terendam dan gagal panen. Ia menduga banjir besar yang mereka hadapi setiap tahun, lantaran sungai sudah dangkal akibat penambangan emas ilegal.

Manager Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rudi Syaf mengatakan penambangan emas yang mengeruk alur sungai, sempadan sungai, dan menghilangkan tutupan hutan di atasnya jelas sangat berbahaya secara ekologi.

Tindakan ini menimbulkan bencana banjir dan longsor. Daerah-daerah yang dulunya tidak mengalami banjir parah, sekarang sangat mudah mengalami banjir. Sedimentasi karena penambangan emas membuat sungai dangkal.

“Tidak hanya banjir biasa. Aktivitas penambangan emas, membuat Kecamatan Batangasai dan Limun berpotensi mengalami banjir bandang. Ini yang paling menakutkan karena bisa mendatangkan korban jiwa,” kata Rudi kepada Kompas.com di kantornya, 16 November 2022.

KKI Warsi mencatat pada tahun 2021 ada 20 kali banjir di Kota Jambi, Batanghari, Muarojambi, Sarolangun dan Kerinci. Bencana hidrologi ini mengakibatkan dua orang meninggal dunia, 6.265 rumah terendam, 635 hektare lahan terendam.

Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Holtikultura, Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Peternakan (TPHP) Provinsi Jambi, Khairul Asrori mengungkapkan, banjir juga mengancam ekonomi masyarakat. Banjir yang merendam ratusan hektar sawah mengakibatkan gagal panen.

Tahun lalu, kata dia sawah seluas 3.529 hektare (ha) di Provinsi Jambi gagal panen karena dilanda banjir. Di antara ribuan hektar itu, 137,5 ha lahan sawah berada di Kota Jambi. Lalu, 486 ha di Kabupaten Batanghari, 214 ha di Kabupaten Bungo, 60 ha di Kabupaten Tebo, 46 ha di Kota Sungai Penuh, dan sisanya Kabupaten Sarolangun, Merangin, dan Muaro Jambi.

Ketahanan pangan terkoyak

Kegiatan pertambangan juga menimbulkan riak-riak di masyarakat, termasuk menghilangkan tradisi masyarakat Batangasai yang sudah berlangsung turun menurun. Tradisi melahirkan sawah pusako, sawah yang terbentang luas dan dimiliki satu keluarga secara turun menurun tanpa boleh diperjual-belikan. 

Syafar menuturkan, tawaran-tawaran dari penambang emas ilegal mengakibatkan persaudaraan retak jika tidak jadi putus. Mereka yang menjual atau terpaksa melepas lahan sawahnya malah mengalami kerugian berlipat-lipat. 

Seolah mendapat kutukan; sawahnya hancur, saluran irigasi terputus dan tekor karena biaya operasional bengkak sementara hasil emasnya sedikit. Biaya untuk mengembalikan bekas tambang emas ke lahan sawah membutuhkan biaya ratusan juta dan waktu minimal 2 tahun.

Hal ini membuat sawah-sawah pusako terlantar, karena pewaris sudah enggan merawat sawah itu.

Semenjak 2019 lalu, kata Syafar penambang emas ilegal beroperasi di desanya. Sejak itu, setidaknya 100 hektar lahan sawah menghilang jadi bukit-bukit batu yang gersang. Kini sawah yang tersisa hanya ada di Dusun Muaro Seluro, luasnya pun tak sampai 50 hektar.

Hasil pemetaan KKI Warsi melalui analisis citra satelit, setiap tahun area penambangan emas di Desa Raden Anom terus meningkat. Lembaga yang fokus pada pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan ini mencatat pada 2017 lalu, angkanya berada di 150 ha, tahun berikutnya tak terdeteksi, lalu muncul kembali pada 2019 dengan luas 256 ha. Kemudian naik menjadi 283 ha pada 2020 dan melandai pada 2021 yang berada pada kisaran 269 ha.

Rudi menuturkan penambangan emas setiap dekade mengalami peningkatan teknologi. Dengan demikian daya rusaknya sangat masif. Awalnya, penambangan emas dilakukan secara tradisional, dengan mendulang di pinggir sungai. Namun sejak tahun 2000-an, penambangan emas menggunakan mesin dompeng. 

Alat itu mampu mengisap sedimen sungai dan membawanya ke saringan khusus. Di tempat ini, pasir, kerikil dan lumpur akan terpisah dengan butiran emas dengan bantuan merkuri.

Saat alat ini booming, ada ratusan dompeng yang berada di sepanjang Sungai Batanghari. Perlahan air menjadi keruh. Setelah emas di alur sungai mulai habis, para penambang emas kembali berinovasi. Area penambangan tidak lagi berada di sungai utama, melainkan merambah anak-anak sungai menggunakan alat berat.

“Semakin meluas, tidak hanya sungai melainkan sawah, kebun karet, ladang bahkan hutan lindung,” kata Rudi.

Ia mengatakan KKI Warsi juga mencatat setiap tahun area penambangan emas ilegal semakin meluas. Pada 2016 penambangan emas seluas illegal ini tercatat 10.926 hektar di Kabupaten Sarolangun dan Merangin. Kemudian tahun 2017 naik drastis menjadi menjadi 27.535 di Kabupaten Sarolangun, Merangin dan Bungo. 

Luasan area itu melonjak jadi 33.832 ha pada 2019 di Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo dan Tebo. Pada tahun 2020 mencapai 39.557 ha dan pada 2021, wilayah tambang ilegal sudah mencapai 42.362 ha.

Perluasan area tambang ilegal itu mencapai 288 persen pada 2021 jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2016. 

“Lahan yang telah beralih fungsi untuk tambang emas, yang terluas di area penggunaan lain (APL). Pada lahan ini ada sawah, kebun dan ladang. Angka pasti sawah menjadi lahan tambang emas itu kita belum menghitung. Tapi karena tambang emas, kerusakan lahan pertanian sudah mencapai ribuan hektare,” jelas Rudi.

Ibu-ibu itu membawa obor. Kalau mereka tidak mundur. Alat berat itu sudah dibakar. Sampai sekarang, kami tetap teguh mempertahankan wilayah Dusun Seluro dari gempuran penambang emas ilegal.

Muhammad Syafar

Dari data Warsi setahun terakhir, penambangan emas apabila dilihat dari fungsi kawasan, terjadi di APL seluas 32.565 ha, kemudian hutan produksi berkisar 6.099 ha, lalu hutan lindung di angka 2.972 ha, Hutan Produksi Terbatas 154 ha, dan terakhir di taman nasional seluas 572 ha. 

“Jangankan sawah dan taman nasional, ada di satu tempat Kabupaten Merangin, rumah ibadah dibongkar untuk area penambangan emas ilegal,” kata Rudi.

Bupati Merangin, Mashuri, mengungkap kerusakan lahan pertanian akibat penambangan emas illegal mencapai 3.920 ha yang tersebar di 12 kecamatan. Hal itu dia sampaikan saat rapat dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Merangin, Kamis, 14 Juli 2022 lalu. 

Kerusakan lahan pertanian karena alih fungsi lahan ini mengancam ketahanan pangan. Setelah menjadi bekas tambang emas, lahan pertanian menjadi lahan tidur. Dengan kondisi petani di Jambi, yang minim modal dan kesulitan secara ekonomi, mustahil untuk mereklamasi lahan pertanian bekas pertambangan.

Dengan begitu secara ekonomi menanam padi tidak lagi masuk hitungan. Agar tetap menyambung hidup, petani yang lahan sawahnya sudah dirusak penambangan emas ilegal, terpaksa menjadi buruh penambang emas atau kerja serabutan. Pilihan lain, kembali menggarap kebun karet yang harga jualnya juga rendah. 

Rudi mencontohkan ratusan hektare lahan sawah bekas tambang emas di Kecamatan Pangkalan Jambu, Kabupaten Merangin, Jambi baru bisa ditanami padi setelah hampir 3 tahun menjadi lahan tidur. Untuk mereklamasi bekas tambang, membutuhkan dana besar. Hanya pemerintah yang bisa melakukan. 

Merkuri mengintai jutaan jiwa

Pada sisi lain, pemain emas kenyataannya lebih banyak buntung ketimbang untung. Ketika menambang mereka seperti berjudi, bertaruh nasib dengan angan-angan. Sementara daya rusaknya begitu nyata dan telah mengintai jutaan jiwa.

Lebih dari dua dekade penambangan emas berlangsung. Sehingga merkuri yang terlepas saat aktivitas penambangan tak terhitung masuk ke sungai. 

Dosen Universitas Jambi, Ngatijo memaparkan risetnya terkait merkuri di Sungai Batanghari. Penelitiannya memperlihatkan kandungan merkuri di sungai itu sudah melebihi ambang batas.

Merkuri di air sungai memang berfluktuasi pada kisaran <0,0005-0,0645 mg/L sedangkan pada sedimen sungai terdeteksi dengan kisaran 0,01-0,42 mh/kg. “Sangat berbahaya bagi mahluk hidup,” kata Ngatijo.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004 menyatakan ambang batas kadar merkuri di air dan laut adalah 0,001 ppm. Kalau SNI batas maksimum cemaran merkuri pada ikan segar tentang persyaratan mutu dan keamanan pangan yaitu sebesar 0,5 mg/kg.

Dengan sifat merkuri yang tak bisa terurai, maka dia akan terakumulasi dalam jaringan mahluk hidup. Merkuri itu akan termakan ikan-ikan kecil, kemudian ikan kecil dimangsa ikan besar. Tak lama berselang, ikan-ikan besar itu dikonsumsi manusia. Dengan demikian, manusia menjadi tempat terakhir dari akumulasi merkuri yang mencemari sungai terpanjang di Sumatera ini. 

Sungai yang tercemar merkuri ini jadi ancaman bagi jutaan orang di Jambi. Sebut saja nelayan yang menangkap ikan, perusahaan daerah air minum (PDAM), serta para petani yang menggantungkan sumber air irigasinya ke Sungai Batanghari.

Ngatijo meminta pemerintah tidak gegabah dalam mereklamasi lahan pertanian bekas tambang. Meskipun merkuri yang terjatuh saat proses penambangan emas di lahan sawah sudah terbawa air, namun penelitiannya pada 2018 lalu, di Desa Sungai Jering, Kecamatan pangkalan Jambu, Kabupaten Merangin, Jambi menemukan kandungan merkuri dalam tanah bekas tambang di lahan sawah 0,00154-0,00501 ppm. Artinya tanah bekas tambang juga tercemar merkuri di atas ambang batas aman.

Secara alami, padi memiliki daya serap yang tinggi terhadap merkuri. Ngatijo membuktikannya dengan menanam padi. Hasilnya, padi yang ditanam menghasilkan merkuri di atas ambang batas.

Menurut dia, kandungan merkuri dalam beras dari lahan bekas tambang, disarankan tidak dikonsumsi karena membuat manusia cacat. Bahkan cemaran merkuri dapat menurun ke anak secara genetik.

Dia menyarankan sebelum ditanam padi kembali, sawah bekas tambang harus dilakukan penyerapan merkuri melalui media adsorben yang terbuat dari sekam padi. Hasil penelitian Ngatijo, adsorben dapat menyerap merkuri hingga 43,36 persen dari tanah bekas tambang.

Ancam ketahanan pangan

Kepala Bidang Tanaman Pangan Hortikultura, Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Jambi, Khariul Asrori mengaku selama satu dekade, Jambi telah kehilangan hampir 80 persen lahan pertanian. Alih fungsi lahan belakangan memang untuk penambangan emas ilegal. Namun sebelumnya disebabkan oleh perkebunan sawit.

Alih fungsi lahan ini berdampak serius. Kebutuhan beras di Jambi bertahun-tahun selalu mengalami defisit lebih dari 40 persen. Kebutuhan beras di Jambi dari jumlah penduduk sekitar 3.677.678 jiwa sebanyak 89,7 kilogram/kapita/tahun atau sekitar 329.888 ton. Sedangkan produksi gabah kering giling (GKG) tahun lalu, hanya 298.149 ton. Apabila dikonversi ke beras sekitar 193.797 ton. 

Dia mengatakan saat ini, produksi padi terus mengalami penurunan. Seiring dengan penyusutan luas lahan pertanian. Produksi padi pada 2019 lalu sekitar 309.933 ton. Angka ini sempat melonjak pada tahun berikutnya menjadi 386.413 ton. Tahun selanjutnya secara beruntut melorot ke angka 298.149 hektar dan terus melandai pada 2022 dengan angka sekitar 289.277 ton.

Untuk mengantisipasi kehilangan lahan pangan, pemerintah telah membentuk peraturan daerah dengan menetapkan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B). Selanjutnya disusun peta lahan sawah dilindungi (LSD). Sebab sawah-sawah yang termasuk di LP2B ada yang beralih fungsi menjadi tambang emas di Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo dan Tebo.

Setelah rampung dipetakan oleh Kementrian ATR/BPN, maka sawah di Jambi dapat dipertahankan untuk memenuhi kebutuhan pangan daerah dan mengamankan ketersediaan pangan secara nasional.

“Jadi sawah-sawah yang potensial itu nantinya akan dilindungi seperti halnya hutan lindung. Tidak boleh sampai beralih fungsi baik untuk perkebunan, pemukiman maupun penambangan emas,” kata Khairul.

Kondisi pertanian saat ini amat memprihatinkan, kata Khairul. Selain ancaman alih fungsi lahan, terputusnya regenerasi petani dan hak-hak petani melemah. Adanya stigma di masyarakat, jika petani itu kuno dan miskin, membuat anak muda enggan menggeluti pertanian. 

“Kita semua tau, setiap orang butuh makan. Makanan lezat tidak akan terhidang ke meja, jika tidak ada petani yang bekerja. Tetapi hak-hak petani terabaikan,” kata Khairul.

Selama ini, untuk mendorong petani tetap bertahan pemerintah telah memberikan bantuan bibit, pupuk subsidi dan penanganan hama. Sebagai komoditas yang diatur penjualannya di pasaran, memang petani tidak mendapatkan keuntungan banyak. Sehingga profesi petani rawan ditinggalkan, untuk mencari sumber ekonomi yang lebih baik.

“Tentu secara ekonomi padi itu sangat rendah, apabila dibandingkan dengan sawit dan karet. Belakangan yang menjadi primadona orang bongkar sawah, ya karena harga emas tinggi, jauh lebih mahal ketimbang beras. Ini juga menjadi persoalan serius bagi petani dan ketahanan pangan,” kata Khairul.

Ekonomi alternatif

Pemerintah menyadari, sawah-sawah yang hilang karena tambang emas mengancam ketahanan pangan. Mereka pun memaksimalkan produktivitas padi di lahan yang tak memiliki kandungan emas.

Belakangan pengembangan teknologi mikroorganisme alami. Sehingga petani dapat mengurangi ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida. Sehingga biaya produksi dapat ditekan, namun pendapatan terus meningkat.

“Kita dorong kelompok tani sekarang, untuk menghasilkan beras organik tanpa pupuk dan pestisida. Jadi harga di pasaran bisa tinggi. Jadi selisih dengan biaya produksi dengan harga jual yang begitu besar, membuat petani bisa memiliki tabungan,” kata Khairul.

Tidak hanya meningkatkan produktivitas sawah. Pemerintah sedang membuat skema kemitraan petani. Pemerintah akan menjadi jembatan antara petani dan perusahaan yang menjadi pemodal. Perusahaan didorong untuk mengeluarkan CSR atau membuat program terkait ketahanan pangan dan melibatkan petani. 

“Sudah ada perusahaan-perusahaan baik swasta maupun plat merah, yang bergabung untuk mendukung petani. Dia berharap ini dapat diterapkan secara luas di Indonesia. Sehingga ketahanan pangan kita dapat terjaga,” kata Khairul antusias.

Solusi lain yang diberikan untuk petani di sekitar penambangan emas ilegal adalah pengembangan komoditi lain. Rudi Syaf menuturkan dengan adanya pendapatan selain dari padi, tentu petani tak mudah dibujuk bos penambang emas illegal.

Pangkal dari persoalan kesulitan ekonomi yang menghantui petani adalah kerusakan Sungai Batanghari, yang sudah terjadi sejak 40 tahun lalu. Pintu masuk kerusakan berawal dari pembabatan kawasan hutan di Provinsi Jambi yang didukung oleh regulasi. Kawasan hutan di Jambi awalnya 3,8 juta ha, telah menyusut menjadi 2,1 juta ha. 

Dari kawasan hutan tersisa yang memiliki tutupan hutan baik, menurut analisis citra satelit yang dilakukan KKI Warsi hanya 900 ribu ha, atau 18 persen dari wilayah Provinsi Jambi. Perubahan tutupan hutan ini berkontribusi pada tingginya laju aliran air dipermukaan tanah ketika hujan. 

“Ini tentu menyumbang sedimen yang sangat tinggi di Sungai Batanghari, sehingga terjadi pendangkalan.  Kondisi menyebabkan sungai sangat mudah meluap di musim hujan. Serta menyebabkan sungai mudah kekeringan ketika musim kemarau karena mata air yang menuju sungai makin sedikit seiring dengan hilangnya hutan,” kata Rudi.

Tidak hanya itu, kerusakan ekosistem di wilayah Jambi terus berlangsung, akibat belum terkendalikan aktivitas penambangan emas ilegal di alur dan sempadan sungai, termasuk ke wilayah hulu.

Untuk itu, menurutnya untuk memulihkan Sungai Batanghari, perlu segera dilakukan pemulihan ekologi daerah tangkapan air dan sempadan sungai. Caranya dengan menertibkan seluruh penambangan emas ilegal, dan yang paling penting adalah mencarikan sumber ekonomi bagi masyarakat yang selama ini telah terjerat iming-iming tambang. 

Pada awalnya tambang emas ilegal itu bukanlah kegiatan masyarakat, hanya saja mereka terjebak iming-iming pemodal yang menjanjikan bagi hasil yang menggiurkan. 

“Ini terjadi ketika harga komoditi utama masyarakat Jambi yaitu karet sangat rendah, sehingga banyak yang ambil jalan pintas untuk mengubah ekonomi mereka, termasuk menerima tawaran-tawaran ilegal,”katanya. 

Disebutkan, sejatinya kalau murni dari masyarakat sebagai penambang emas itu akan sulit. Karena pekerjaan itu merupakan padat modal, menggunakan alat berat dengan biaya sewa sekitar Rp100 juta perbulan/unit dan setiap beroperasi membutuhkan bahan bakar minyak 300 liter/hari. Selain itu, harus memiliki modal besar untuk membeli bahan kimia seperti merkuri, sianida, boraks dan soda api. Harganya tentu puluhan juta.

Tidak hanya banjir biasa. Aktivitas penambangan emas, membuat Kecamatan Batangasai dan Limun berpotensi mengalami banjir bandang. Ini yang paling menakutkan karena bisa mendatangkan korban jiwa.

Rudi Syaf, Manager Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi

KKI Warsi yang bekerja untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat, dalam salah  satu kegiatannya adalah membangun kesadaran bersama mengelola kawasan secara berkelanjutan dan  mengembangkan sumber ekonomi baru.

Salah satunya adalah sebagaimana yang dikembangkan di landskap Bukit Bulan Kecamatan Limun Kabupaten Sarolangun. Daerah ini belakangan dijamah penambangan emas ilegal bahkan sudah masuk ke wilayah hutan dan hulu-hulu sungai di daerah yang berada di hulu Sungai Limun ini. 

“Kita mencoba menganalisis apa yang menyebabkan masyarakat mudah tergiur, rupanya ada persoalan sumber ekonomi yang tidak terpenuhi ketika karet yang menjadi komoditi utama harganya murah,” kata Rudi.

Dari diskusi yang intensif dengan masyarakat maka perlu ada mencari sumber ekonomi baru, dengan nilai yang lebih stabil dari waktu ke waktu. Pilihannya komoditi kakao. Sebelumnya ada juga warga yang sudah menanamnya namun belum dikelola secara baik. 

Berangkat dari sini, perwakilan masyarakat Bukit Bulan diajak untuk melakukan studi tiru ke kelompok tani Inovasi Payakumbuh, Sumatera Barat. Ada sebanyak 20 orang yang diajak untuk ikut studi tiru ini. 

“Dari sinilah masyarakat tertarik untuk melakukan budidaya kakao, ini terlihat dari masyarakat membeli sendiri bibit kakao dari kelompok inovasi ini. Mereka juga meninggalkan pekerjaan menambang emas,” kata Rudi. 

Dengan bertani kakao, menurutnya hidup mantan penambang emas ilegal jauh lebih tenang. Tak lagi dihantui was-was terjaring razia dan terhindar dari konflik keluarga. Dengan bertani kakao, bisa panen 4 kali dalam setahun. 

Komoditi kakao mempunyai sejumlah keunggulan, selain harganya stabil dan permintaan tinggi, juga kakao adalah jenis tanaman yang bisa ditumpangsarikan. 

“Tanaman ini butuh tanaman pelindung, dan di bagian serasahnya bisa di tanaman komoditi lain. Sebagai tanaman pelindung dipilih jengkol dan pisang, sedangkan tanaman bawah bisa cabe rawit dan padi ladang,” kata Rudi.

Dikatakannya dengan memulai spot-spot lokal untuk menghentikan kegiatan ilegal, diharapkan inisiatif serupa juga bisa berkembang di daerah lain. “Sehingga upaya membersihkan Sungai Batanghari dilakukan dengan pemulihan ekologi,” katanya.

Datuk Syafar juga sedang menggerakan ekonomi alternatif. Selain menggarap sawah dan kebun karet, warga di Dusun Muaro Seluro kini mengolah buah tengkawang dan kepayang. Pendapatan dari pengolahan buah hasil hutan itu, dapat menambah uang belanja dapur.

“Setiap bulan kita dapat memproduksi 100 bambu olahan buah tengkawang dengan harga Rp50.000 setiap unit. Selanjutnya produksi minyak dari buah kepayang sekitar 80 kilogram setiap tahun. Harganya itu berkisar di angka Rp50.000-70.000 setiap 500 mililiter,” kata Syafar.

Dengan memanfaatkan hasil hutan untuk menunjang perekonomian, tentu upaya perlindungan hutan dari perambahan dapat dilakukan. Ketika masyarakat memiliki ekonomi alternatif, tentu tak mudah tergoda iming-iming bos penambang emas. Dengan demikian masyarakat secara mandiri dapat menjaga wilayahnya dari kerusakan lingkungan.

Mimpi Syafar untuk mewariskan mata air untuk anak cucu, bukan air mata kian dekat. Apabila aparat hukum dapat menghentikan aktivitas penambangan emas ilegal. Kemudian warga memiliki ekonomi alternatif. Sawah-sawah dilindungi dan nasib petani kian membaik.

Aktivitas penambangan emas hanya khayalan kosong: mujur sepagi, malang setahun.


Liputan ini merupakan bagian dari “Story Grant Kerusakan Lingkungan Hidup dan Hilangnya Sumber Pangan” yang diadakan The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) dan Ekuatorial. Telah terbit dalam serial tulisan “Penambangan Emas Ilegal di Jambi” di Kompas.com pada kurun waktu 12-13 Desember 2022.

Tulisan telah disunting untuk penerbitan ulang, agar lebih singkat dan padat tanpa mengubah makna.


About the writer

Suwandi

Suwandi is a journalist based in Jambi, Sumatra. Interested in covering the issue of the climate crisis and environmental crimes. He is active in writing social culture for indigenous people, which has...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.