Tujuan konservasi keanekaragaman hayati Indonesia termasuk meningkatkan konektifitas ekosistem alami dan pemanfaatan kehati yang berkelanjutan.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas, memulai perumusan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia atau Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) di Jakarta, Rabu (12/4/2023). Proses penyusunan dokumen ini merupakan upaya untuk menyelaraskan target koservasi nasional dengan target global.
IBSAP sebenarnya telah dimulai ketika pemerintah menyesuaikan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (Biodiversity Action Plan for Indonesia/ BAPI) dengan hasil Conference of the Parties-The Convention on Biological Diversity (COP-CBD) tahun 2003. Dokumen strategi ini kemudian disempurnakan kembali pada tahun 2015 dan diimplementasikan hingga tahun 2020.
Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/ Bappenas menerangkan, upaya memperbarui dokumen strategi dan rencana aksi di tingkat nasional maupun global sempat tertunda akibat Pandemi Covid-19.
Setelah COP-CBD ke-15 di Montreal, Kanada, merampungkan target perlindungan Kehati global yang dikenal dengan nama The Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF), pemerintah Indonesia berupaya kembali menyelaraskannya dengan target konservasi nasional yang sejalan dengan visi Indonesia 2045.
“Dalam KM-GBF ini, semua negara diminta menyusun dokumen National Biodiversity Strategy and Action Plan (NBSAP). Atas dasar dokumen NBSAP ini, semua aksi-aksi, target, dan sebagainya dalam KM-GBF itu direalisasikan oleh seluruh negara,” ujar Medrilzam.
KM-GBF memiliki 4 elemen kunci kerangka kerja global di tahun 2050 yang dijabarkan dalam 23 target dan diharapkan tercapai pada tahun 2030. Target-target tersebut dikelompokkan dalam 3 isu besar yaitu, 8 target pengurangan risiko ancaman terhadap keanekaragaman hayati, 5 target pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui pemanfaatan berkelanjutan dan pembagian manfaat, serta 10 target untuk mendukung implementasi dan pengarusutamaannya.
Sedangkan, masih menurut Medrilzam, terdapat 4 tujuan pengelolaan Kehati Nasional dalam 20 tahun ke depan. Pertama, meningkatkan integritas dan konektivitas ekosistem alami melalui perlindungan dan pengawetan serta pemulihan ekosistem. Kedua, mengurangi potensi ancaman kehilangan keanekaragaman hayati.
Tujuan ketiga, mengoptimalkan pemanfaatan kehati yang berkelanjutan, keanekaragaman hayati dengan pendekatan ekonomi hijau, menjunjung tinggi kearifan lokal dan kesetaraan gender. Keempat, memperkuat tata kelola dan sumber daya untuk mendukung pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia.
Selain sejalan dengan KM-GBF, dokumen IBSAP terbaru diharapkan juga selaras dengan perencanaan pembangunan nasional. Medrilzam menyebut, peluang keselarasan itu diperkuat dengan draf Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang menekankan pembangunan berwawasan lingkungan.
Meski demikian, dalam penyusunan IBSAP, dia mengingatkan pentingnya prinsip kehati-hatian dan realistis, khususnya menyangkut penganggaran. Karena, luasnya wilayah darat maupun laut Indonesia tidak diimbangi dengan pendanaan yang memadai.
Pada periode 2015-2020, Medrilzam mencontohkan, kebutuhan finansial di sektor Kehati per tahunnya mencapai Rp33,6 triliun. Namun kementerian atau lembaga terkait hanya bisa mengalokasikan sekitar Rp9-10 triliun per tahunnya. Sedangkan, pada tataran global, dukungan terbesar datang dari GEF senilai Rp0,21 triliun per tahun.
“Ternyata lebih besar uang kita daripada dukungan global. Sumber daya domestik kontribusinya 25,4%, kontribusi global ke Indonesia cuma 0,6%. Selisih pendanaan sekitar 74% dari kebutuhan,” ungkapnya.
Sehingga, dalam penyusunan rencana aksi, pihak-pihak yang terlibat diminta untuk mempertimbangkan kemampuan mobilisasi sumber daya dengan kondisi keuangan negara. Dengan kata lain, tujuan dan target yang sudah dicanangkan di KM-GBF perlu diselaraskan dengan kemampuan domestik.
Rencana aksi konservasi Indonesia
Terdapat sejumlah usulan strategi dan rencana aksi konservasi di Indonesia dalam pembahasan perdana IBSAP 2023 ini, termasuk legalitas dokumen yang nantinya disepakati.
Secara teknis, Medrilzam mengusulkan Indeks Pengelolaan Kehati (IPK) dengan parameter yang sejalan dengan indikator utama dalam KM-GBF. Tujuannya, untuk menilai keselarasan antara kinerja dan kelangsungan biodiversitas.
Sementara, penentuan target dan prioritas pengelolaan Kehati diminta mengacu basis data status kekayaan Kehati dan status ekoregion di Indonesia, yang dilandaskan pada kebijakan berbasis sains. Salah satu langkahnya adalah mendefinisikan pengelolaan Kehati maupun ruang lingkupnya.
Medrilzam menambahkan, dokumen IBSAP baiknya memiliki dasar legalitas, seperti Peraturan Presiden (Perpres) sebagai upaya pengarusutamaan dalam dokumen perencanaan nasional. Pengakuan negara diyakini akan memudahkan terfasilitasinya strategi dan rencana kerja IBSAP dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
“IBSAP baru ini diharapkan dapat merefleksikan kolaborasi para pihak penyusun agar dapat dengan baik disinergikan dalam RPJP atau RPJM, nasional maupun daerah,” terangnya.
Badiah, Kasubdit Pengawetan dan Genetik Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan, strategi konservasi Kehati dilakukan dengan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan di tingkat ekosistem, spesies dan genetik.
Dalam aspek pemetaan kekayaan spesies, terdapat 3 parameter yang menjadi acuan KLHK, yakni status perlindungan secara nasional, spesies dalam daftar merah IUCN serta endemisitas lokal, regional maupun global.
“Kita sudah memetakan kekayaan spesies, memang saat ini sedang fokus di satwa liarnya. Tentu saja ini masih akan berkembang, karena tergantung pada banyaknya data yang bisa kita kumpulkan untuk dianalisis,” ujar Badiah.
Upaya untuk mengurangi hilangnya Kehati dilakukan dengan program pengembangbiakan, baik secara insitu (dalam habitat asli) dan eksitu (di luar habitat). Selain itu, KLHK juga mengupayakan konservasi keanekaragaman genetik spesies, penyelenggaraan penangkaran dan pengembangbiakan dengan teknologi reproduksi berbantu (assisted reproductive technology), yang saat ini difokuskan pada badak sumatera.
Dalam hal perancanaan dan penganggaran, Badiah berharap topik keanekaragaman hayati mendapat penjelasan lebih detail dalam RPJMN 2025-2029. Sebab dalam RPJMN 2020-2024, topik ini hanya menjadi bagian interpretatif dari program nasional poin 1 yakni pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan, serta poin 6 “membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim”.
Firdaus Agung Kunto Kurniawan, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menjabarkan sejumlah target, upaya, dan status konservasi perairan. Misalnya, target kawasan konservasi laut pada tahun 2030 sebesar 32,5 juta hektare (10%) dan 97,5 juta hektare (30%) pada tahun 2045. Saat ini, wilayah konservasi laut di Indonesia seluas 28,9 juta hektare (8,7%).
Menurutnya, sampai sekarang kawasan konservasi di daerah mendominasi total luas kawasan konservasi di Indonesia. Atas dasar itu, dia berharap dokumen IBSAP bisa memberi porsi keterlibatan lebih bagi pemerintah daerah dalam mengelola kawasan konservasi.
“Saya kira itu yang harus kita lakukan, untuk diskusi dengan teman-teman di daerah supaya peran mereka jadi signifikan. Karena kalau bicara laut, mayoritas ada di daerah kawasan konservasinya,” terang Firdaus.
KKP juga memiliki program prioritas konservasi 20 spesies perairan, pemanfaatan berkelanjutan, serta pembatasan jenis dan lokasi jenis spesies asing invasif. Di samping itu, terdapat pula target pengendalian pencemaran laut dengan penurunan hingga 75% pada tahun 2025, dan laut bebas sampah tahun 2040.
Untuk mengoptimalisasi efektivitas pengawasan di kawasan konservasi perairan, Firdaus menilai, peningkatan pendanaan menjadi agenda yang harus dipertimbangkan dalam pembahasan IBSAP. Demikian pula dengan pemberian insentif bagi aktor-aktor konservasi.
“Banyak sekali masyarakat melakukan konservasi, tetapi negara seperti tidak memberi penghargaan. Sekarang ada revisi UU 5 tahun 1990 di tingkat Panja, kalau berkenan bapak-ibu bisa memberi masukan dari media massa, media online untuk meningkatkan hal-hal seperti ini,” tambahnya.
Karenanya, sebagai alat untuk mengukur kinerja aktor-aktor di lapangan, IBSAP diminta memperkuat baseline (acuan) yang berisi pelaporan rutin, pembelajaran dan dokumentasi hasil.