Ratusan hiu dan pari didaratkan di pelabuhan-pelabuhan di Jawa. Sebagian spesies terancam punah dan dilindungi. Namun, tak ada petugas yang mengawasi perdagangan ini.

Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, tampak ramai pada Jumat pagi di akhir Februari 2023, ketika para pekerja menurunkan ikan dari banyak kapal yang tiba pagi itu. Hasil tangkapan itu termasuk ratusan hiu dan pari. Di antara mereka terdapat hiu martil bergigi yang rentan atau terancam punah, hiu lanjaman, dan berbagai spesies ikan baji dan ikan gitar. 

Rizal, salah satu dari tiga pembeli ikan yang sudah berada di sana sejak subuh, merasa senang karena dia mendapatkan barang paling banyak, lebih dari 10 ton hiu dan pari. Para pekerjanya memotong sirip dari beberapa hiu. 

Sirip hiu paling menarik bagi Rizal karena ia bisa menjualnya dengan harga antara Rp 400.000 hingga Rp 12 juta per kilogram, tergantung ukurannya. Sebaliknya, daging hiu hanya dijual dengan harga Rp 14.000 per kilogram. Rizal mengatakan bahwa pembeli datang ke rumahnya dari Surabaya, Pati, Tegal, dan Jakarta untuk membeli 50-100 kilogram sirip sekaligus.

Brondong hanyalah salah satu dari sekian banyak pelabuhan di Indonesia yang menjadi tempat pendaratan hiu dan pari. Laporan dari Januari hingga April 2023 menemukan bahwa praktik ini merajalela di semua pelabuhan di pantai utara Jawa, seperti pelabuhan perikanan Pantai Tasikagung di Kabupaten Rembang, pelabuhan perikanan Bajomulyo di Kabupaten Pati, dan pelabuhan perikanan Tegalsari di Kota Tegal.

Setiap hari, ratusan hiu dan pari didaratkan di masing-masing pelabuhan tersebut. Sebagian besar merupakan spesies yang dilindungi atau tunduk pada peraturan yang ketat. Namun, tidak ada petugas yang mengawasi perdagangan ini. Perdagangan ini sering kali dilakukan secara ilegal, yang pada akhirnya berdampak pada populasi hiu dan kesehatan ekosistem laut secara keseluruhan.

Baca juga: Penangkapan dan perdagangan hiu tak terawasi di Sangihe

Aturan yang harus diikuti

Perdagangan sirip hiu merupakan industri yang menguntungkan sekaligus kontroversial karena didorong oleh permintaan yang tinggi, terutama di Tiongkok. Indonesia mengontrol penangkapan dan pemanfaatan hiu dan pari melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 61/2018

Peraturan ini mengatur penggunaan spesies ikan yang sepenuhnya atau sebagian dilindungi oleh hukum nasional, atau terdaftar dalam Lampiran Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Tumbuhan dan Satwa Liar yang Terancam Punah (CITES), yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1978. 

Peraturan ini juga mencakup spesies yang mirip dengan spesies yang dilindungi atau terdaftar dalam CITES, dan untuk itu para pedagang harus mendapatkan surat rekomendasi.

Spesies yang sepenuhnya dilindungi termasuk hiu paus, ikan gergaji, pari manta, dan empat jenis pari air tawar. Menangkap, memelihara, atau memperdagangkannya adalah tindakan ilegal. 

Spesies hiu lain yang terdaftar dalam CITES yang tunduk pada pengawasan perdagangan di Indonesia meliputi hiu martil (Sphyrna zygaena, Sphyrna lewini, Sphyrna mokarran), hiu perontok (Alopias pelagicus, Alopias superciliosus, Alopias vulpinus), hiu sirip putih (Carcharhinus longimanus), hiu sutra (Carcharhinus falciformis), dan hiu mako (Isurus oxyrinchus, Isurus paucus). 

Pari yang tercakup dalam Peraturan ini karena masuk dalam daftar CITES termasuk pari mobula (Mobula species), ikan baji (Rhynchobatus palpebratus dan Rhynchabatus springeri), dan ikan gitar (Rhina ancylostoma, Glaucostegus typus, dan Glaucostegus thouin). 

Setiap bisnis yang ingin mengekspor spesies ini atau menjualnya di dalam negeri harus memiliki Surat Izin Pemanfaatan Jenis Ikan (SIPJI) dan Surat Angkutan Jenis Ikan (SAJI). Para pedagang juga harus memiliki kuota yang mencakup jumlah yang dapat mereka ekspor. 

Namun dari temuan lapangan Mongabay Indonesia, sangat mudah bagi para pedagang untuk menghindari regulasi dan menghindari deteksi.

Pedagang sirip

Pada bulan Desember 2022, sebuah kapal kontainer berbendera Indonesia yang dimiliki oleh PT SPIL berlabuh di Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya, Jawa Timur, setelah bertolak dari Pelabuhan Merauke di Provinsi Papua. Muatannya termasuk 589 kilogram sirip hiu. 

Menurut dokumen Balai Karantina Ikan dan Kesehatan Ikan (BKIPM), sirip-sirip tersebut dikirim kepada Hendrik Setiyoko, warga Dusun Purwodadi, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Namun, sirip-sirip itu bukan miliknya. 

“Itu milik bos saya,” kata Hendrik, karyawan PT Jaya Dina Buana (JDB), sebuah perusahaan pengolahan ikan di komplek pergudangan Osowilangun Permai, Surabaya. Dia akui perusahaan sengaja menggunakan namanya untuk menerima kiriman tersebut. 

“Mungkin karena saya sudah berpengalaman,” jelasnya, seraya menambahkan bahwa sebelumnya ia pernah bekerja di perusahaan lain yang juga memperdagangkan sirip hiu.

JDB berbasis di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat dan baru berdiri pada Oktober 2022, menurut dokumen profil perusahaan yang diperoleh dari Direktorat Administrasi Hukum dan Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 

Ketika Mongabay Indonesia menghubungi perusahaan tersebut melalui telepon, orang yang menjawab menolak berkomentar dan mengakhiri panggilan.

Meskipun masih baru, perusahaan ini sudah memiliki jaringan pembeli sirip hiu yang kuat yang mengekspor ke berbagai negara termasuk Cina, Singapura, dan Vietnam. “Semuanya diekspor,” kata Hendrik. 

Ia mengatakan bahwa pengiriman yang diterima perusahaannya dari Papua bisa mencapai dua ton, atau 3.500 sirip. Sirip-sirip tersebut datang dengan kapal, atau terkadang dengan pesawat, dan biasanya langsung dibawa ke gudang perusahaan di Surabaya.

Perdagangan ilegal

Pada bulan Maret 2023, Mongabay Indonesia mengunjungi gudang tersebut dengan menyamar sebagai calon pembeli. Dua orang pekerja sibuk menyortir teripang di ruang utama, di mana hampir 40 kilogram sirip hiu dibungkus dalam kantong plastik dan siap dijual. 

Diantaranya adalah sirip hiu hitam, ikan pari, hiu putih atau lanjaman, dan hiu martil. Semakin panjang siripnya, semakin tinggi harganya. Untuk yang berukuran 15 sentimeter dihargai Rp 500.000 hingga Rp 700.000 per kilogram, sedangkan yang berukuran 40 sentimeter dibanderol dengan harga Rp 2-2,4 juta.

Ce Afe, yang mengaku sebagai pemilik gudang, mengatakan bahwa sirip-sirip tersebut merupakan sisa penjualan sebelumnya. “Kemarin kami kirim dua ton ke Jakarta. Ini sisanya,” katanya, dan menawarkan untuk menjualnya dengan harga Rp 67 juta.

Namun, menurut Suwardi Purboyo, Kepala Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar untuk wilayah Jawa Timur, penjualan semacam itu adalah ilegal. Dia mengatakan bahwa, per Maret 2023, hanya ada 35 pemegang SIPJI di wilayah tersebut, 13 di antaranya adalah eksportir. Baik Hendrik maupun PT JDB tidak termasuk di antara pemegang SIPJI-SAJI.

“Nama Hendrik atau PT JDB tidak ada dalam data kami. Tidak ada nama itu,” kata Suwardi kepada Mongabay Indonesia di kantornya pada 24 Maret 2023. Ia mengatakan bahwa ini berarti Hendrik dan perusahaannya memperdagangkan sirip hiu secara ilegal.

PT JDB hanyalah salah satu dari beberapa perusahaan di Jawa yang secara rutin menerima pasokan hiu dari Papua, menurut dokumen BKIPM. Namun, keberadaan dua di antaranya tidak jelas. Satu perusahaan bernama PT Nafish Rafa Bahari tercatat membawa 100 kilogram sirip hiu pada bulan April 2023. Perusahaan lainnya, CV Mina Miranda Jaya menerima kiriman 3,6 ton.

Mongabay Indonesia mengunjungi alamat perusahaan yang tercantum dalam dokumen, namun tidak menemukan jejak perusahaan tersebut. Penduduk setempat juga tidak pernah mendengar tentang mereka. Pencarian dokumen perusahaan di situs Dirjen Administrasi Hukum dan Umum Kementerian Hukum dan HAM juga tidak membuahkan hasil. Nama-nama perusahaan tidak ada di sana.

Sumber dan tujuan

Perairan Indonesia yang luas merupakan rumah bagi hampir separuh dari sekitar 500 spesies hiu dan pari di dunia. Termasuk di dalamnya 120 spesies hiu dan 101 pari. Menurut Muhammad Abdi Suhufan, Direktur lembaga swadaya masyarakat Destructive Fishing Watch (DFW), salah satu daerah yang menjadi lokasi utama penangkapan ikan-ikan tersebut saat ini adalah Laut Arafura, di selatan Papua. Hal ini karena lokasi lain, seperti Laut Jawa, semakin menipis. 

“Kalau jadi pemasok utama, saya kira wajar karena Laut Jawa semakin sulit. Nelayan pada akhirnya akan menggeser zona tangkapnya ke wilayah timur,” jelasnya. 

Penelitian DFW mengungkapkan bahwa Laut Arafura memasok rata-rata 18,6 ton sirip hiu kering per tahun pada tahun 2018-2020. “Itu hanya data yang dilaporkan,” kata Abdi. “Saya yakin jumlah yang tidak dilaporkan lebih besar dari itu.”

Data dari Balai Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu (BKIPM) di Merauke, Papua, juga menunjukkan tingginya pasokan hiu dari Indonesia Timur. Rata-rata, lebih dari 177 ton hiu dikapalkan dari satu pelabuhan ini setiap tahun antara tahun 2018 dan 2022. 

Sebagian besar hiu dan pari yang ditangkap di perairan Indonesia dikirim ke Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia dan merupakan pintu gerbang menuju pasar ekspor termasuk Cina, Amerika Serikat, Taiwan, Hong Kong, Singapura, dan Korea Selatan.

“Sebagian besar diekspor,” jelas Suwardi dari Balai Pengelola Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL), seraya menambahkan bahwa penjualan dalam negeri jarang dilakukan karena harganya yang sangat tinggi. 

Memang, sebagian besar (58,8%) dari 852 izin SAJI yang dikeluarkan BPSPL Denpasar pada tahun 2021 adalah untuk tujuan ekspor. Secara keseluruhan, total produk hiu mati yang diperdagangkan di wilayah Jawa Timur pada tahun tersebut meliputi 2.582,3 ton hiu beku tanpa kepala dan tanpa sirip, 365,8 ton hiu beku tanpa kepala dan sirip, dan 157,3 ton sirip hiu kering.

Total nilai ekonomi perdagangan hiu dan pari di wilayah Indonesia sendiri mencapai Rp105 miliar pada tahun tersebut.

Tingginya permintaan internasional mendorong perdagangan hiu dan pari legal dan ilegal dari perairan Indonesia. Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia menyumbang 16,8 persen ke pasar hiu global. Namun, ada kekhawatiran bahwa hal ini tidak berkelanjutan. 

M. Mukhlis Kamal, peneliti hiu dan pari dari Institut Pertanian Bogor, mengatakan bahwa konservasi spesies ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut. Ia mengatakan, sebagai karnivora besar, hiu mengatur rantai makanan dan mengontrol keseimbangan ekologi laut dengan memakan spesies lain.

“Jika populasi mereka berkurang atau punah, dampaknya terhadap keseimbangan ekologi akan terasa,” katanya. “Ekosistem bisa runtuh.” (Bersambung)


Liputan investigasi ini didukung oleh Internews’ Earth Journalism Network lewat program Biodiversity Media Initiative. Bagian pertama dari dua serial tulisan ini pertama kali terbit di Mongabay Indonesia pada tanggal 11 Juli 2023 dengan judul ‘Mengungkap perdagangan hiu diduga ilegal lewat pelabuhan di pualau Jawa’.
About the writer

A. Asnawi

Asad Asnawi started his career as a journalist at the Jawa Pos Group in 2005 and in 2017, he left the media group to run a local online news outlet, WartaBromo.com. At present, he also contributes for...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.