Hiu adalah hewan yang dilindungi, tetapi penangkapan dan perdagangannya di Sangihe luput dari pengawasan.

Senja baru berlalu di awal Juni 2022. Selepas matahari menghilang, Petrus Lesawengen (62) menyambut kami di kediamannya di Pulau Batuwingkung, Kecamatan Tabukan Selatan, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Sebagian orang mengenal tempat ini sebagai pulau hiu, karena sebagian besar nelayan di sana menggantungkan hidup dari menangkap predator laut itu.

Di usia senjanya, Petrus masih turun ke laut, berperahu jauh dari Batuwingkung. Tujuannya berburu hiu, pekerjaan yang sudah turun temurun dilakoninya. Dua anak laki-lakinya, Yohanis (32) dan Timotius (26) mengikuti jejaknya.

“Sekarang sudah bagus. Perahunya sudah lebih besar dan menggunakan mesin. Alat pancingnya juga sudah menggunakan metode long line. Sekali turun pernah dapat 28 ekor,” cerita Petrus sembari merapihkan peralatan pancingnya.

Dari hasil berburu hiu itu, Petrus dapat membiayai pendidikan Timotius hingga meraih sarjana teknik komputer dan komunikasi di Politeknik Nusa Utara, Sangihe. Harapannya menjadi PNS. Tapi berkali-kali ikut CPNS, Timotius tak pernah lolos.

“Ya sekarang ikut papa turun ke laut,” sela Timotius.

Di tengah percakapan, Timotius mengajak kami ke bagian dapur. Di sana tergantung ratusan sirip hiu yang sudah kering, hasil buruan mereka selama beberapa bulan.

“Yang paling banyak tertangkap itu jenis lanjaman, di sini kami sebut menehe,” jelas Timotius, sembari memperlihatkan pula beberapa karung berisi sirip hiu kering.

Selain lanjaman ada pula sirip hiu tikus dan hiu martil. Rata-rata nelayan di Batuwingkung telah mengenal jenis hiu yang mereka tangkap.

“Meski musiman, tapi kami di sini menggantungkan hidup dari menangkap hiu. Dan itu sudah terjadi sejak orang-orang tua dulu. Saya bisa sekolah hingga sarjana juga dari hasil menjual sirip hiu,” kata Timotius.

Keesokan harinya, kami sengaja menunggu kedatangan nelayan penangkap hiu lainnya yang berangkat melaut sehari sebelumnya. Sekitar pukul 10.30 WITA, satu perahu berukuran sekitar 8 meter bersandar di bibir pantai. Noldi Diawang (33) dan rekannya Aljufri Kaemba (35) langsung menurunkan hasil tangkapan. 

Mereka membawa satu ekor hiu jenis lanjaman berukuran sekitar 2 meter. Tubuh predator laut itu diseret ke tepi pantai. Dengan pisaunya Noldi cekatan menjagal hiu itu. Tak butuh waktu lama, ia melucuti semua siripnya, satu persatu. Bagian tubuh hiu juga dibagi jadi dua dan isi perutnya dikeluarkan.

Hasil potongan tubuh hiu dan sirip itu kemudian dicuci. Sirip dimasukkan dalam ember disimpan di rumah yang tak jauh dari pantai. Sementara daging hiu, akan dijual ke pasar Petta.

Sirip-sirip tersebut nantinya dikeringkan dengan cara dijemur selama tiga hingga empat hari, tergantung cuaca. 

“Kalau sudah kering, dikumpul dulu. Nanti kalau sudah banyak, kemudian dijual ke pengepul yang ada di Pasar Manalu. Namanya Koh Ance,” jelas Noldi.

Apa yang dilakoni keluarga Petrus serta Noldi dan Aljufri adalah aktivitas yang jamak dilakukan oleh nelayan penangkap hiu di Batuwingkung. Kepala Desa Batuwingkung Risno Mangune mengungkapkan, ada 134 kepala keluarga di pulau itu, dan 98 persen adalah nelayan. Lebih dari setengahnya menjadi penangkap hiu.

Saat kami mengunjungi Batuwingkung tak nampak pihak terkait yang melakukan pengawasan pendaratan hasil tangkap hiu dan ikan lainnya. Tidak ada pos baik dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) maupun dari Dinas Perikanan dan Kelautan.

Praktis tak ada aktivitas pendataan berapa banyak hiu yang tertangkap, sirip dan daging yang dijual. Nelayan seperti Noldi dan Aljufri dengan leluasa mendaratkan hiu.

* * *

Aktivitas yang sama terlihat di sekitar Pelabuhan Petta, Kecamatan Tabukan Utara, salah satu titik utama perdagangan produk perikanan di Pulau Sangihe. Beberapa nelayan terlihat menurunkan sembilan ekor hiu dari sebuah perahu. Hiu yang sudah tidak ada kepalanya ini dibongkar tanpa ada pengawasan sama sekali dari petugas. Lantas ditampung di sebuah rumah yang jaraknya sekitar 20 meter dari tepi pantai.

Salah satu warga di Petta, Marwan Samara menuturkan bahwa nyaris setiap hari ada perahu nelayan yang datang membawa hiu.

“Tak hanya dari Batuwingkung, ada juga dari (pulau) Tinakareng, Lipang, Matutuang dan Para,” ujar Marwan siang itu, Rabu (7/6/2022).

Di Petta terdapat pasar tradisional yang digelar seminggu tiga kali. Saat hari pasar, nelayan-nelayan dari berbagai pulau datang menjual hasil tangkapan. Hasil penjualan itu lantas dibelanjakan untuk kebutuhan sehari-hari. 

Sebagaimana di Batuwingkung, nelayan yang datang ke Petta, menjual sirip hiu ke pengepul. Dari keterangan Kepala Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan (KIPM) Tahuna, Geric Lumiu, ada pengepul besar di Petta. Namanya Rommy di Tabukan Utara.

“Seingat kami ada tiga pengepul sirip hiu di Sangihe,” jelas Geric Lumiu kala ditemui di Kantor Stasiun KIPM, di hari yang berbeda.

Ketiadaan petugas mendata hasil tangkapan hiu tersebut diakui pula oleh beberapa penjual di Pasar Petta. Salah satu pedagang yang ditemui di lapaknya mengaku bahwa jika sedang ramai dirinya dapat menjual ratusan kilogram daging hiu dalam sehari.

Pedagang ini menyatakan sanggup memasok hingga 6 ton sekali pengiriman, karena sudah sering memasok daging hiu untuk dikirimkan ke Bitung dan Manado. Daging hiu dijualnya seharga Rp10 ribu per potong.

Menurut Oktavianto Prasetio Darmono dari Rekam Nusantara Foundation, lembaga nirlaba yang melakukan berbagai kajian kekayaan alam dan keanekaragaman hayati serta aksi konservasi di Indonesia, seharusnya pemerintah hadir di sana menyediakan fasilitas pendaratan seperti pelabuhan perikanan.

“Apalagi ada penangkapan ikan jenis dilindungi,” ujar Darmono yang akrab dipanggil Tejo.

Shark Research Institute, organisasi non profit internasional yang fokus pada konservasi hiu mencatat setidaknya ada 400 lebih jenis hiu di dunia. Sebanyak 12 spesies di antaranya masuk dalam kategori Apendiks II CITES. Mereka terancam punah jika tidak dimasukkan dalam daftar perlindungan dan perdagangannya terus berlanjut.

Indonesia telah meratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), sehingga mengelompokkan pemanfaatan komoditas menjadi tiga apendiks. Yaitu Apendiks I untuk perlindungan penuh, Apendiks II untuk pembatasan dengan kuota, dan Apendiks III untuk pencatatan setiap pemanfaatan.

Sembilan dari 12 spesies hiu yang masuk dalam Apendiks II CITES tersebut ada di perairan Indonesia. Beberapa jenis, terutama jenis hiu lanjaman, teramati ikut tertangkap oleh nelayan yang ada di Batuwingkung dan nelayan yang menurunkan hasil tangkapan di Petta.

Pengaturan perdagangan hiu dengan mekanisme CITES ini bertujuan untuk memastikan keberlanjutan, sesuai aturan dan ketelusuran dari spesies hiu yang diperdagangkan. Pengaturan perdagangan ini juga dapat mencegah perdagangan ilegal dan meningkatkan kepatuhan pada mekanisme CITES.

Liputan ini merupakan bagian pertama dari 4 seri tulisan yang diproduksi dengan dukungan dari Environmental Justice Foundation dan Tempo Institute. Terbit pertama kali di Zonautara.com pada 17 Maret 2023.

Baca juga:

About the writer

Ronny Buol

Ronny Adolof Buol is currently managing local media Zonautara.com and establishing Zonautara Networking, which is a syndicate of several local media in North Sulawesi. Previously, he spent 6 years working...

Marshal Datundugon

Marshal Datundugon currently works as a reporter for Zonautara.com, while also managing Pantau24.com, one of the local media in North Sulawesi syndicated with Zonautara.com. Has been 7 years in the world...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.