Hiu adalah hewan yang dilindungi, tetapi penangkapan dan perdagangannya di Sangihe luput dari pengawasan.
Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Aturan ini merupakan perundangan pertama yang mengatur pemanfaatan hiu dan pari di wilayah Indonesia.
Di dalamnya, memang hanya spesies pari gergaji saja yang masuk kategori dilindungi secara penuh. Artinya, jenis hiu dan pari lainnya masih dapat dimanfaatkan secara bebas.
Baru pada tahun 2012, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatur tata cara penanganan hiu tikus yang tertangkap (bycatch) melalui Peraturan Menteri (Permen) KP nomor PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap Di Laut Lepas. Di tahun berikutnya, Pemerintah mengeluarkan pula Keputusan Menteri (Kepmen) KP nomor 18/KEPMEN-KP/2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus (Rhincodon typus).
Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 4/KEPMEN-KP/2014 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Pari Manta dan Permen KP nomor 59/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Pengeluaran Hiu Koboi (Carcarinus longimanus) dan Hiu Martil (Sphyrna spp.).
Larangan tersebut mencakup larangan perdagangan atau mengeluarkan bentuk apapun dua jenis hiu tersebut dari wilayah Indonesia ke luar negeri. Peraturan ini diperbaharui kembali dengan Permen KP nomor 5/PERMEN-KP/2018 tahun 2018.
Berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut bertujuan agar pemanfaatan beberapa jenis hiu dapat dikendalikan, mengingat kecenderungan perburuan semakin meningkat sementara populasi hiu semakin menurun.
Tak hanya dalam lingkup nasional, pengaturan pemanfaatan komoditas hiu dan pari ini secara internasional juga diatur melalui CITES. Pada tahun 2003, hiu paus dan hiu basking masuk dalam Apendiks II. Pari gergaji masuk dalam Apendiks I CITES sejak tahun 2007. Sementara itu hiu koboi, hiu martil, dan pari manta masuk dalam Apendiks II CITES sejak tahun 2014, dan yang paling update adalah hiu kejen, hiu tikus, dan pari mobula masuk dalam Apendiks II CITES sejak tahun 2016.
Dari amatan secara langsung di Batuwingkung dan Petta, beberapa jenis hiu yang perdagangannya harus memenuhi kuota lewat regulasi yang diatur oleh pemerintah, dengan bebas dibawa pulang nelayan, tanpa ada pencatatan. Jenis-jenis tersebut antara lain, hiu lanjaman (Carcharhinus falciformis) dan hiu koboi (Carcharhinus longimanus). Bahkan para nelayan mengaku masih sering juga membawa pulang hiu martil (Sphyrna lewini).
Tejo, dari Yayasan Rekam Jejak Alam Nusantara atau Rekam Nusantara Foundation, sebuah lembaga nirlaba yang melakukan berbagai kajian kekayaan alam dan keanekaragaman hayati serta aksi konservasi di Indonesia, berpendapat seharusnya hasil tangkapan perikanan dapat dicatatkan.
“Pencatatan dilakukan di pelabuhan pendaratan. Apabila nelayan tidak melakukan pendaratan di pelabuhan memang tidak ada kewajiban pencatatan terhadap apa yang dia tangkap,” ujar Tejo saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Menurutnya, sesuai regulasi seharusnya nelayan melakukan pendaratan di pelabuhan perikanan, baik yang dikelola oleh pemerintah pusat maupun daerah.
“Atau pemerintah kabupaten dan provinsi dapat melakukan sosialisasi agar nelayan melakukan laporan hasil tangkapan,” jelas Tejo.
Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah memang dilakukan melalui dokumen perizinan kapal ikan. Setiap kapal yang memiliki bobot di atas 5 GT hingga 30 GT wajib memiliki beberapa dokumen, seperti tanda daftar kapal perikanan (TDKP), surat izin penangkapan ikan (SIPI), NIB dan pas kapal. Dokumen-dokumen ini diterbitkan oleh pemerintah provinsi dan UPP Pelabuhan.
Persoalannya adalah, nelayan-nelayan tradisional di Sangihe, terutama yang ada di Batuwingkung adalah nelayan yang hanya memiliki kapal atau perahu dengan bobot di bawah 5 GT.
“Secara regulasi memang tidak diwajibkan untuk melakukan pencatatan dan tidak diwajibkan untuk melakukan pendataan kapal,” jelas Tejo.
Tingginya aktivitas nelayan di Batuwingkung serta Petta, yang mendaratkan hasil tangkapan hiu, seharusnya jadi perhatian. Setidaknya, ada Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) serta Dinas Kelautan dan Perikanan guna melakukan pencatatan.
Prioritas lainnya adalah sosialisasi pengendalian tangkapan hiu, terutama jenis-jenis yang dibatasi dengan kuota. Ketiadaan lembaga ini berdampak tidak adanya data hiu yang berhasil ditangkap nelayan di Sangihe.
“Data yang kita punya itu hanya jumlah produksi tangkapan hasil laut secara keseluruhan. Sumber datanya pun berasal dari Satu Data KKP, yang selama ini dibantu oleh teman-teman penyuluh di lapangan,” ujar Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Sangihe, Marthin Pudihang saat dijumpai di ruang kerjanya pada Senin (13/7/2022).
BPSPL Makassar Satuan Kerja (Satker) Manado tidak bersedia memberikan data. Staff yang kami temui di kantor pada ruas Jalan A. A. Maramis, Kairagi Dua, Mapanget, Manado, mengaku data yang dimintakan baru bisa diterbitkan jika dapat izin dari pejabat struktural. Sementara pejabat yang dimaksud berada di Kantor BPSPL Makassar yang ada di Sulawesi Selatan.
Kami telah berupaya untuk menyurati Kepala BPSPL Makkasar, dan berulang kali menghubungi staf BPSPL Makassar Satker Manado, tetapi menunggu hingga berbulan-bulan, dan berulang kali ditindaklanjuti, permintaan data tersebut tidak pernah direspons.
Data tentang berapa banyak hiu yang tertangkap di Sangihe, hanya bisa diperoleh dari Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Tahuna. Dari data yang dikirimkan oleh Kepala BKIPM Tahuna, Geric Lumiu, tercatat ada 28.430 kilogram komoditas hiu yang dikirim dari Sangihe ke luar Sangihe pada tahun 2021. Komoditas tersebut sudah termasuk sirip dan daging hiu.
Data yang tercatat di Stasiun KIPM Tahuna ini tidak mencerminkan jumlah real hasil tangkapan hiu nelayan di Sangihe. Karena data yang tercatat adalah data dari mereka yang mengurus dokumen perizinan pengecekan mutu sebagai syarat agar bisa mengirim produk perikanan keluar dari Sangihe melalui jalur resmi pengangkutan kapal yang berangkat dari Pelabuhan Tahuna.
Sementara beberapa nelayan di Sangihe mengaku, pengiriman keluar Sangihe, terutama ke Manado dan Bitung juga dilakukan melalui kapal-kapal penampung ikan, atau kapal pajeko (kapal penangkap ikan berukuran besar).
Tidak semua pengiriman komoditas hiu ke luar dari Sangihe harus mengurusi ijin. Penjual daging hiu di Pasar Petta dapat memasok daging hiu dalam jumlah besar, tanpa perlu mengurus dokumen apapun. Daging hiu yang diminta bisa dikirim ke Manado atau Bitung tanpa melalui urusan perizinan.
Dalam tiga tahun terakhir permintaan terhadap daging hiu juga terus meningkat. Hal itu tercermin dari data yang disodorkan oleh Kepala Stasiun KIPM Tahuna, Geric. Menurutnya dulu orang hanya mengeksploitasi sirip, namun saat sekarang permintaan terhadap daging juga meningkat.
Hal itu terlihat pula di tingkat nelayan. Jika dulu badan hiu dibuang ke laut ketika siripnya diambil, tetapi kini daging hiu dimasukkan ke cool box untuk dijual. Seperti yang terlihat di Batuwingkung dan di Petta.
“Ada dua perusahaan di Bitung yang membeli daging hiu. Jadi untuk daging dari Sangihe dan Talaud itu larinya ke Bitung,” ujar Kepala Stasiun PSDKP Tahuna, Bayu Suharto, saat ditemui di ruang kerjanya di Tahuna.
Liputan ini merupakan bagian ke-2 dari 4 seri tulisan yang diproduksi dengan dukungan dari Environmental Justice Foundation dan Tempo Institute. Terbit pertama kali di Zonautara pada 17 Maret 2023.
Baca juga: