Hiu adalah hewan yang dilindungi, tetapi penangkapan dan perdagangannya di Sangihe luput dari pengawasan.

Anche, atau yang kerap disapa Koh Ance, sudah melakoni usaha jual beli sirip hiu selama satu dekade terakhir. Kepada kami, pria yang ditemui saat menjaga kiosnya di Pasar Manalu, Tabukan Selatan, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara pada Juli 2022 lalu mengaku, sudah mengantongi izin untuk usahanya. 

Setiap orang atau pelaku usaha yang mau berbisnis komoditas hiu dan pari harus mengantongi beberapa dokumen perizinan. Ance memahami jenis-jenis hiu, termasuk yang dilindungi. Pengetahuan itu didapatnya saat mengurus perizinan usahanya. Izin itu dia dapatkan lima tahun lalu, sekarang sudah tidak diperpanjang lagi. 

Dokumen-dokumen perizinan itu, antara lain, Surat Izin Pemanfaatan Jenis Ikan (SIPJI), Surat Angkut Jenis Ikan (SAJI) dan beberapa rekomendasi. Untuk hiu dan pari, SIPJI yang harus dikantongi adalah SIPJI Perdagangan Dalam Negeri (SPIJI-DN) dan atau Luar Negeri (SIPJI-LN). Masa berlakunya lima tahun.

Ance tidak memperpanjang dokumennya. Menurutnya, beberapa pengepul sirip hiu di Sangihe rata-rata tidak mengantongi izin. Dia menyayangkan hal tersebut. Sebagai pengusaha ‘terdaftar’, dia ikut berkontribusi atas usahanya kepada negara lewat retribusi. 

“Saya berkewajiban melaporkan data-data secara berkala ke perikanan. Sementara pembeli (pengepul) lain yang tak punya izin jelas saja bebas dari semua itu. Dan sejauh ini aman-aman saja,” ungkap Ance. 

Rantai bisnisnya bermula dari pembelian sirip. Nelayan menjual hasil tangkapannya kepada Ance yang lokasi rumahnya sekitar 3 mil dari tepi pantai tempat perahu-perahu nelayan di Pulang Batuwingkung bersandar. Ance lantas memisahkan sirip-sirip hiu sesuai ukuran, jenis, dan kualitasnya. Dia memberi harga berbeda untuk setiap kilogram sirip tersebut.

Tidak ada standar harga yang berlaku. Semua tergantung kondisi umum dan kebutuhan ekspor. Pada tahun 2022, kata Ance, terjadi beberapa kali perubahan harga. Paling tinggi itu Rp1,3 juta per kilogram untuk sirip kualitas super (panjang 40 cm).

“Pernah untuk kualitas yang sama hanya Rp600 ribu per kg. Tergantung ekspor. Kalau ekspor baik, maka harga juga meningkat. Tapi kalau pemerintah menekan ekspor, maka otomatis harga juga pasti turun,” ungkapnya sembari menambahkan apabila kebutuhan ekspor belum terpenuhi maka harga akan bertambah mahal. 

Rata-rata nelayan mengetahui Ance akan membayar setidaknya Rp1 juta per kilogram untuk sirip dengan ukuran di atas 40 cm. Rata-rata berat satu sirip hiu berukuran besar bisa mencapai 8 ons. Jika ukurannya lebih pendek dari 35 cm, harga beli Ance akan lebih murah. 

“Menurut bos-bos yang mengekspor itu, mereka diberikan kuota oleh pemerintah. Jadi kalau belum mencapai kuota, maka biasanya harga dinaikkan,” jelas Ance.

Sirip hiu yang terkumpul ia kirim ke perusahaan eksportir di Tikala, Manado. Menurutnya, perusahaan di Manado itu merupakan satu-satunya perusahaan di Sulawesi Utara yang punya izin ekspor sirip.

“Itu pembeli besar. Dia satu-satunya pengusaha di Sulut yang punya izin ekspor,” katanya.

Pengalamannya berbisnis sirip hiu selama satu dekade ini mengantarkan Ance pada prinsip simbiosis mutualisme. Dia membutuhkan komoditas sirip, sementara nelayan memerlukan pemasukan. 

Sudah jamak nelayan kesulitan mengakses modal untuk melaut. Ance membantu dengan pengadaan perahu, peralatan tangkap, hingga biaya operasional melaut. Sebagai gantinya, nelayan melaut dan menjual tangkapannya kepada Ance. Tidak jarang, nelayan baru bisa melunasi pinjaman modal itu bertahun-tahun kemudian. 

“Ada yang sampai lima tahun baru lunas. Saya sayang kepada nelayan. Mereka itu tidak terjangkau bantuan dari pemerintah,” jelasnya.

Nelayan di Batuwingkung, Husen (53) membenarkan hal tersebut. Modal dari Ance dia gunakan untuk membayar bahan bakar mesin katinting di perahunya. 

“Nanti bayar kalau mau jual sirip (hiu), hutangnya dipotong,” kata Husen yang pernah sekali bersandar membawa setidaknya 13 ekor hiu ini.

Tidak ada data yang pasti berapa banyak sirip hiu dikirim dari Sangihe ke Manado. Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar Satker Manado yang dimintai data tentang ini tidak memberi jawaban. 

Staff BPSPL Makassar Satker Manado saat ditemui di kantor mereka pada akhir Agustus 2022, memberi alasan bahwa mereka tidak berhak mengeluarkan data karena bukan pejabat struktural. Upaya kami mengajukan permohonan informasi terkait hal itu juga tidak pernah ditindaklanjuti oleh pejabat pengelola informasi dan dokumentasi Kantor BPSPL Makassar di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

Dinas Kelautan dan Perikanan Sangihe yang semestinya mengurusi data penangkapan ikan juga tidak menguasai data yang kami cari. 

Berbeda dari kedua instansi tersebut, UPT Stasiun Kantor Karantina Ikan, Pengendalian Mutu (KIPM) Tahuna mau memberikan data lalu lintas ikan hiu dan sirip ikan hiu yang mereka catat. 

Kepala Stasiun KIPM Tahuna, Geric Lumiu memaparkan, sepanjang 2021 ada sebanyak 3.150 kilogram sirip hiu yang dikirim dari Sangihe, dan daging ada sejumlah 25.256 kilogram. Total komoditas hiu yang tercatat oleh Stasiun KIPM Tahuna sepanjang 2021 seberat 28.430 kilogram. Angka ini naik dibandingkan tahun 2020 yang tercatat total seberat 20.200 kg , namun turun jika dibandingkan dengan tahun 2019 yakni 92.422 kilogram (daging 88.628 kg dan sirip 3.794 kg).

Tak ada data pembanding lainnya. 

Yayasan Rekam Jejak Alam Nusantara, melakukan pendataan hasil tangkapan jenis ikan tertentu di beberapa wilayah Sangihe juga tidak spesifik mencatat hasil tangkapan hiu oleh nelayan di wilayah kerjanya. 

“Kami di karantina ini mempunyai tugas pengawasan lalu lintas komoditi perikanan di pintu masuk dan pintu keluar, itu kami data,” jelas Geric.

Hal ini guna mencatat saat ada pengiriman komoditas hiu (sirip atau daging) dari Sangihe ke Manado atau pulau lainnya. 

Menurut Geric, sejak Desember 2021, sesuai dengan surat dari Dirjen Pengelolaan Ruang Laut, seluruh pengiriman komoditas hiu wajib mendapatkan rekomendasi dari BPSPL. Tetapi dari pengamatan kami di berbagai titik pendaratan hasil tangkapan laut di Sangihe, termasuk di Batuwingkung dan Petta, tidak ada satu pun staff BPSPL.

Indri, staf BPSPL Makassar Satker Manado mengakui mereka memang tidak memiliki petugas di wilayah-wilayah tersebut. Ketidakhadiran petugas membuat pengawasan jenis hiu yang dibawa ke pinggir oleh nelayan, hingga pengiriman komoditas itu keluar pulau jadi sulit diketahui kebenarannya. 

“Lebih enak kalau ada petugas BPSPL yang ditempatkan di sini (Sangihe). Kami berharap mereka langsung yang melakukan identifikasi di lapangan. Karena kami dari karantina juga belum paham soal mengidentifikasi soal hiu,” ujar Geric.

Liputan ini merupakan bagain ke-3 dari 4 seri tulisan yang diproduksi dengan dukungan dari Environmental Justice Foundation dan Tempo Institute. Terbit pertama kali di Zonautara.com pada 17 Maret 2023.

Baca juga:

About the writer

Ronny Buol

Ronny Adolof Buol is currently managing local media Zonautara.com and establishing Zonautara Networking, which is a syndicate of several local media in North Sulawesi. Previously, he spent 6 years working...

Marshal Datundugon

Marshal Datundugon currently works as a reporter for Zonautara.com, while also managing Pantau24.com, one of the local media in North Sulawesi syndicated with Zonautara.com. Has been 7 years in the world...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.