Posted inArtikel / Perkotaan

RDF dianggap tidak efektif atasi gunungan sampah di Jakarta

Pemerintah DKI Jakarta menghentikan proyek insinerator untuk lebih fokus pada pembangunan fasilitas Refuse Derived Fuel (RDF).

Pemerintah DKI Jakarta telah menghentikan proyek pembangunan insinerator untuk lebih fokus pada pembangunan fasilitas Refuse Derived Fuel (RDF). Keputusan itu memperpanjang polemik pengolahan sampah yang dinilai butuh penanganan ekstrem.

Insinerator merupakan fasilitas pengolahan limbah melalui teknologi pembakaran yang telah direncanakan sejak tahun 2018, ketika Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta saat itu, meletakkan batu pertama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah atau Intermediate Treatment Facility (ITF).

Kendala biaya dan nilai investasi yang mencapai Rp5 triliun, pada akhirnya, membuat Pemprov DKI menghentikan rencana pembangunan tersebut.

Sehingga, upaya mengatasi timbulan sampah akan difokuskan pada pembangunan RDF atau fasilitas pengolahan sampah dengan teknik pengeringan, dengan biaya Rp1 triliun, untuk mengolah 2.000 ton sampah setiap harinya.

Meski demikian, RDF dianggap tidak cukup mengatasi permasalahan sampah di Ibu Kota, yang menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2022, timbulannya mencapai 3.112.381,40 ton atau 8.527,07 ton per harinya.

Ali Ahmudi Achyak, Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies mengatakan, proses pengeringan sampah melalui fasilitas RDF butuh waktu yang relatif lama, sementara timbulan sampah di Jakarta tiap harinya bertambah dalam jumlah besar.

Ditambah lagi, tidak semua jenis sampah bisa diolah dengan teknologi pengeringan. Dia mencontohkan, hanya 10% kadar air dari tongkol jagung yang bisa dikeringkan melalui RDF. Sisanya, sebesar 90%, tetap menjadi sampah yang tidak terolah.

Karena itu, Ali menilai, rencana penggunaan RDF tidak seharusnya menghentikan pembangunan insinerator. Sebab, kedua fasilitas pengolahan sampah ini jika diterapkan bersamaan, dapat saling melengkapi kekurangan masing-masing.

“Bisa juga teknologi itu dikombinasikan. Di suatu tempat yang sampahnya tidak habis diolah insinerator, di situ bisa kita terapkan teknologi RDF,” terangnya, Rabu (5/7/2023).

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) mengatakan, penggunaan biopelet hasil olahan RDF akan memperpanjang umur PLTU batu bara yang bertentangan dengan komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP).

Dia menilai, kebijakan penanggulangan sampah di DKI Jakarta seharusnya memiliki keselarasan dengan upaya Indonesia dalam mengurangi emisi. “Sekarang ini ada komitmen soal JETP, pensiun dini PLTU batu bara. Nanti kalau digunakan untuk pelet yang akan masuk ke PLTU batu bara, itu timbul kritik sebagai solusi palsu,” ujarnya.

Di sisi lain, insinerator diketahui dapat menghancurkan berbagai jenis sampah, kecuali logam, puing bangunan dan barang elektronik. Teknologi pembakaran sampah ini dianggap potensial digunakan di Jakarta, mengingat komposisi sampah organik yang mencapai 53,75%.

Peneliti Sustainability Sigmaphi Indonesia, Gusti Raganata menilai, dengan kemampuan mengolah 2.200 ton sampah per hari, 4 fasilitas insinerator diperkirakan mampu mengurangi 8800 ton sampah setiap harinya.

“Kota besar seperti Jakarta membutuhkan insinerator yang bisa mengolah sampah jadi listrik. Sampah bisa dibakar hingga 97% dan minim residu,” jelasnya.

Seturut penilaian-penilaian itu, Gusti berharap, pemerintah provinsi DKI Jakarta tetap memprioritaskan insinerator sebagai fasilitas pengolahan sampah.

Sebelumnya, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Budi Hartonno mengatakan tidak akan melanjutkan proyek pembangunan ITF, karena terkendala biaya dan nilai investasi yang dianggap terlalu besar. Sehingga, pihaknya memilih untuk membangun proyek RDF.

“Ya, investasi bisa lebih dari Rp5 triliun, terus Pemda DKI bukan tidak mau. Konsep-konsep itu bagus, tetapi Pemda DKI tidak mampu membayar tipping fee,” ujarnya dikutip dari detik.

Pada tahun 2024 mendatang, Pemerintah DKI Jakarta berencana membangun RDF di dua lokasi yakni Rorotan dan Pegadungan.

Solusi cepat

Teknologi pembakaran lewat insinerator juga tidak lepas dari kritik. Sejumlah kajian menyebutnya dapat memperparah pencemaran udara di Jakarta melalui emisi berupa dioksin, merkuri dan partikel halus. Namun, fasilitas ini tetap dipercaya sebagai solusi paling cepat memangkas gunungan sampah di DKI Jakarta.

Ali Ahmudi Achyak membenarkan, semua proses pembakaran memang menghasilkan aneka pencemar, termasuk dioksin dan furan, terutama pembakaran dengan suhu rendah hingga sedang yang berkisar di antara 200°C hingga 600°C.

Pada insinerator, proses pembakaran itu terjadi secara langsung, sedangkan pada RDF tidak langsung yakni melalui pembakaran pelet di pabrik semen, PLTU, dan lain sebagainya.

“Jadi semuanya menghasilkan dioksin dan furan, tinggal kadarnya saja yang beragam sesuai kualitas teknologinya,” kata Ali.

Namun, dalam pengolahan sampah di kota-kota besar, khususnya Jakarta, dia percaya insinerator lebih efektif menyerap dan menghancurkan sampah. Apalagi, jika mengingat frekuensi tumpukan sampah yang meningkat dalam waktu singkat, teknologi pengolahan yang mampu menghilangkan sampah secara cepat disebut sebagai pilihan yang paling bermanfaat.

“Kalau liat volume sampah di Jakarta, seharusnya ada teknologi yang bisa menghancurkan itu dengan cepat. Kalau menunggu, sampai kapan Bantargebang itu akan bertahan,” tanya Ali.

Di saat bersamaan, sebagai upaya mengurangi dampak pencemaran udara, penggunaan insinerator dapat mempertimpangkan sejumlah kriteria, di antaranya melakukan klasifikasi dan pemilahan sampah. Misalnya, memisahkan limbah padat dan B3, sebelum proses pembakaran.

Selain itu, Ali menilai, fasilitas insinerator sebaiknya menerapkan pembakaran dengan suhu di atas 600°C untuk mencapai residu minimal. Juga, didesain dalam bentuk reaktor tertutup sehingga gas buangan bisa dikendalikan atau diolah sebelum dilepas ke udara bebas.

Dia menambahkan, penting juga bagi pemerintah melakukan pemantauan tahunan terhadap bahan pencemar akibat pembakaran. Karena, pertumbuhan jumlah sampah sangat mungkin diikuti oleh frekuensi pembakaran yang juga akan meningkat. Belum lagi, polutan di udara akan bercampur dengan polutan dari sumber lain.

About the writer

Themmy Doaly

Themmy Doaly has been working as Mongabay-Indonesia contributor for North Sulawesi region since 2013. While in the last nine years he has also been writing for a number of news sites in Indonesia, including...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.