Perburuan besar-besaran di masa lalu membuat para nelayan di Kepulauan Mentawai kini semakin sulit menemukan gurita.

Ilyas Pical Saogo memandang laut yang memantulkan kemilau warna hijau tosca. Pria berusia 37 tahun itu berdiri di tepi pantai Pulau Simatapi di Dusun Sinakak (Sinaka), Kecamatan Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Pagi itu sangat cerah dan mestinya menyenangkan bagi semua orang. Tapi tidak bagi Ilyas Pical.

Ia tampak tak begitu gembira melihat hari yang cerah dan laut yang tenang itu, sebab bulan Juni telah tiba. Juni adalah waktu ketika gurita (Octopoda), yang bisa ditukar dengan uang, mulai sulit ditangkap.

Seperti banyak nelayan lainnya di Sinakak, Ilyas meyakini pada bulan Juni semua gurita betina sedang bertelur. Mereka hanya tinggal dalam sarang di batu karang dan enggan keluar. Bahkan, dengan kaki-kaki (tentakel) yang panjang, mereka juga mengangkat batu karang untuk menutupi lubang persembunyian agar tidak ditemukan siapa pun.

“[Gurita] akan menjaga telurnya hingga bulan Oktober, dia tidak akan keluar dari sarangnya walaupun hanya untuk menangkap ikan untuk makanan,” kata Ilyas menggambarkan pengalamannya dengan moluska berkaki delapan tersebut, saat ditemui pada Kamis (15/6/2023). 

Namun pagi itu Ilyas tetap mendorong perahu kayunya ke laut. Ia ditemani Gilte, adik iparnya yang berusia 14 tahun. Mereka berdua mendayung perahu menuju Pulau Nyang-Nyang yang berjarak 750 meter dari dermaga Pulau Simatapi. Kami mengikutinya dengan perahu lain.

Laut di depan Pulau Nyang-Nyang sangat jernih. Koloni terumbu karang jari (Stylophora pistillata) dan karang otak (Favia speciosa) terlihat jelas dari atas perahu. Di sanalah habitat gurita berada.

Dari atas perahu Ilyas membuang batu cukup besar ke laut sebagai jangkar. Batu itu diikatkan dengan tali tambang plastik dan cukup untuk menahan perahunya di permukaan laut sedalam 10 meter.

Ia mengenakan snorkel (masker selam). Di tangannya tergenggam tombak gurita–besi bulat sebesar jari sepanjang setengah meter yang ujungnya runcing. Ia juga membawa pancing gurita. Pancing itu berupa tali nilon yang di ujungnya terkait apa yang disebutnya “mainan gurita”.

Mainan itu terbuat dari cangkang siput laut (Littorina sp) yang di punggungnya diberi empat mata pancing. Sedangkan di bawahnya terjuntai empat gantungan dengan panjang sejengkal tangan dari tangkai sendok besi. Tangkai-tangkai sendok itu berkilau di dalam air.

Ilyas lalu terjun ke laut membawa tombak dan pancing. Ia berenang mendekati batu karang. Gilte, menunggunya di atas perahu. Ilyas berenang ke sana kemari mendekati sarang gurita di batu karang. Ia menggoyang-goyang pancing itu, tetapi tidak satupun gurita yang muncul.

Setelah satu jam berusaha, Ilyas naik ke atas perahu dan berbaring memanaskan tubuhnya menghadap ke Matahari yang bersinar terik.

Tak lama ia kembali menyelam mencari gurita. Tapi hari itu perburuannya sia-sia. Tengah hari ia mendayung sampan untuk menepi dan beristirahat di bawah kerindangan pohon Pulau Nyang-Nyang.

Baca juga: Orang Mentawai yang bertahan dari eksploitasi wilayah adatnya

Pulau itu tidak berpenghuni dan hanya menjadi tempat beristirahat nelayan gurita. Pada pantainya yang berpasir putih berserakan cangkang moluska dan pecahan terumbu karang yang dibawa ombak.

Ilays menjelaskan, gurita memang sedang bertelur di karang-karang yang ia selami. Mereka hanya mengintip pancing dari sarang dan tidak mau keluar. “Pada masa bertelur seperti ini ia tidak akan tertarik pada ikan, apalagi mainan pancing,” katanya.

Penangkap gurita, kata Ilyas, juga tidak bisa menombak gurita sembarangan. Sebab, jika menggunakan tombak, tusukannya harus pas di area kepala di antara kedua matanya.

“Kalau kena tangannya, dia akan kabur dan mengeluarkan racun warna hitam, setelah itu kita tidak bisa melihatnya lagi. Gurita itu seperti bunglon, bisa berubah warna dengan cepat, bisa kayak pasir atau batu karang,” jelasnya.

Ilyas tidak terlalu menyukai pancing, karena menurutnya bisa menghabisi populasi gurita. Pancing dari cangkang siput laut itu baru populer setahun terakhir. Nelayan Sinakak mulai membuatnya setelah melihat video di YouTube lalu menirunya.

“Gurita yang ukurannya 3 ons juga akan ikut terpancing, ini akan cepat menghabiskan gurita di sini. Kalau dengan tombak kita bisa memilih gurita yang besar saja,” katanya.

Menurut Ilyas Pical, menjadi nelayan gurita cukup untuk menghidupi keluarga kecilnya–istri dan seorang anak berusia tiga bulan.

“Uang dari menjual gurita untuk keluarga. Untuk makan sehari-hari dari mencari ikan, ikan masih banyak. Dari hasil ladang juga ada. Tapi hasil ladang, seperti pinang, harganya tidak stabil seperti harga gurita,” kata Ilyas.

Tapi kini gurita juga mulai sulit dicari karena menunggu musim yang datang dua kali setahun. Karenanya, kata dia, para nelayan lebih banyak menganggur.

Ilyas tidak yakin laut dekat kampungnya itu akan kehabisan gurita. Hari itu dia gagal menangkap seekor pun karena mereka sedang bertelur.

“Telurnya banyak, saya pernah melihatnya. Satu induk gurita bisa menghasilkan ribuan telur, tetapi tidak semuanya jadi karena pemangsanya juga banyak, ikan. Gurita besar saja memakan gurita yang lebih kecil,” ujar Ilyas.

Petang menjelang dan Ilyas  akhirnya pulang tanpa membawa gurita. Namun Gilte berhasil mendapatkan kima (Tridacna), kerang berukuran besar, saat menyelam. Kima itu untuk makan malam.

Semakin sulit

Tidak hanya Ilyas Pical yang pulang dengan tangan hampa. Sutrisno Madogaho, rekannya sesama nelayan di Sinakak, juga mengaku kesulitan mendapatkan gurita setelah musimnya berakhir April lalu. Padahal di komunitas nelayan muda di Sinakak, Sutrisno dijuluki ‘Bapak Gurita’, karena sering mendapat tangkapan paling banyak.

Pada puncak musim gurita Maret 2023, Sutrisno memecahkan rekor dengan menangkap 54 kilogram gurita dalam sehari. Untuk tangkapan sebanyak itu ia mendapatkan uang Rp1,9 juta dari hasil penjualan ke kapal penampung gurita di Sinakak.

“Itu pendapatan terbesar saya di musim gurita Maret lalu. Tetapi sepanjang Maret itu saya rata-rata memperoleh Rp400-Rp500 ribu sehari,” ujar Sutrisno, Jumat (16/6/2023).

Seperti nelayan muda lainnya di Sinakak, Sutrisno tinggal di rumah kayu kecil dengan atap seng. Dia mengaku rajin menabungkan hasil penjualan gurita ke bank di Sikakap untuk persiapan biaya sekolah anaknya.

“Hanya gurita yang menghasilkan uang. Gurita tidak pernah dibawa pulang ke rumah, langsung dijual. Setelah dapat gurita, baru saya memancing ikan untuk dimakan keluarga,” katanya.

Sutrisno masih ingat dulu menangkap gurita tidak mengenal musim. Lima tahun lalu gurita selalu bisa ditangkap sepanjang tahun. Ukuran gurita saat itu juga masih besar-besar. Bahkan satu ekor ada yang beratnya 4-5 kilogram.

Ia bercerita, dulu mereka hanya perlu berlayar dekat ke depan pulau dan tak butuh waktu lama untuk menangkap hingga 83 kg gurita.

“Sekarang guritanya lebih kecil, paling berat antara satu sampai dua kilogram dan mencarinya juga lebih jauh ke pulau-pulau kecil di depan sana,” kata Sutrisno.

Pusat gurita

Sinakak, dengan garis pantai 199,7 km dan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, adalah sentra penghasil gurita terbesar di Kepulauan Mentawai. Populasi gurita tersebar di 20 pulau kecil dan 100 gosong (pulau pasir), di desa tersebut. Barisan mangrove melengkapi lansekap desa.

Kondisi geografis itu membuat wilayah perairan Sinakak sejak lama menjadi kawasan perikanan yang penting di Mentawai. Selain gurita, ada ikan karang, pelagis, teripang, udang, dan lobster membangun ekosistem kawasan tersebut.

Gurita hasil tangkapan para nelayan Sinakak dibawa ke Medan dan Jakarta untuk kemudian diekspor ke luar negeri. Menurut catatan Yayasan Citra Mandiri (YCM) Mentawai, LSM lokal yang mendamping nelayan di Sinakak sejak Januari 2022, pada 2021 setidaknya delapan ton gurita dihasilkan nelayan Sinakak setiap bulan pada musim gurita. Namun saat musim badai, produksi turun hanya rata-rata satu sampai dua ton per bulan.

Perburuan besar-besaran gurita di Sinakak terjadi sejak awal tahun 2000, ketika para pedagang penampung gurita datang dengan kapal mereka dari Padang. Gurita yang sebelumnya hanya ditangkap satu atau dua ekor untuk tambahan lauk keluarga, tiba-tiba memiliki pasar dengan harga yang menggiurkan. Fokus perburuan para nelayan pun beralih ke hewan tersebut.

‘Booming’ penangkapan gurita terjadi pada 2018 saat harga gurita mencapai Rp65.000 per kilogram. Akibatnya, setiap hari para nelayan berlomba menangkap mereka. Dalam sehari seorang nelayan Sinakak bisa meraup uang hingga Rp1 juta.

Para pembeli, yang biasanya menaiki perahu mesin tempel, membawa hasil tangkapan dalam kotak es (cool box) lalu berlayar selama dua jam ke Sikakap. Di sana sudah ada penampung gurita yang akan membawa berton-ton gurita ke Padang, lalu dikirim ke Medan dan Jakarta. Jika pengemasannya sempurna, kesegaran gurita tersebut bisa bertahan selama sepekan.

Selain Sinakak, gurita dalam jumlah tangkapan lebih kecil juga didapat dari Pulau Sipora dan Siberut.

Bukan sembunyi, gurita mulai habis

Berbeda dengan Ilyas, Kepala Desa Sinakak, Tarsan Samaloisa, menegaskan bahwa gurita semakin sulit ditangkap bukan karena saat itu mereka sedang sembunyi untuk bertelur.

“Bukan karena guritanya bertelur, tetapi karena gurita itu sudah mulai habis karena sudah lama ditangkap tanpa henti,” tegas Tarsan ketika kami sambangi pada Sabtu (17/6/2023).

Ia mengatakan gurita menjadi andalan nelayan Sinakak sejak lima tahun terakhir. Namun, lanjutnya, perburuan tanpa jeda, dari ukuran kecil hingga besar, membuat populasi gurita makin jauh menurun.

“Kalau ini terus terjadi, gurita akan habis, seperti yang pernah terjadi pada teripang dan lobster dulu,” kata Tarsan.

Populasi teripang dan lobster di Kepulauan Mentawai memang terpantau jauh menurun saat ini. Pada era 1980-an, para nelayan bercerita, mereka bisa menangkap ratusan kilogram hewan tersebut dalam sehari. Harga saat itu berkisar Rp1.000/kg.

Gurita itu sudah mulai habis karena sudah lama ditangkap tanpa henti

Tarsan Samaloisa, Kepala Desa Sinakak

Pada awal tahun 2010, harga teripang dan lobster melonjak hingga Rp200.000/kg. Akibatnya, perburuan liar besar-besaran terjadi. Penggunaan racun dan bom merusak ekosistem laut Mentawai sehingga kini populasi teripang dan lobster jauh menurun.

Idris Maulana, seorang pengepul teripang dan lobster, mengatakan bahwa tahun 2023 ini para nelayan hanya bisa menangkap sekitar 5-10 kg teripang dan lobster setiap minggu atau dua minggu.

Untuk mencegah eksploitasi yang tak terkendali itu, kata Tarsan, Pemerintah Desa Sinaka bersama warga dan Yayasan Citra Mandiri (YCM) Mentawai berinisiatif menyusun peraturan desa untuk mengontrol para penangkap gurita dan ikan agar tidak berlebihan dan tidak merusak lingkungan.

“Penyebab penurunan gurita karena penangkapan yang terlalu eksploitatif dan tanpa kontrol, ada juga yang menggunakan bensin dan sabun colek untuk menangkap gurita, tapi sekarang sudah mulai berkurang,” kata Rifai Lubis, direktur YCM Mentawai, Kamis (15/6/2023).

Hasil pantauan YCM Mentawai sepanjang Januari hingga Juni 2023 total tangkapan gurita di Dusun Sinakak dan Dusun Korit Buah sebanyak 22 ton dengan jumlah 9.279 ekor gurita. Pada 2021, menurut YCM Mentawai, gurita yang ditangkap bisa mencapai 8 ton per bulan.

“Hasil pendapatan nelayan setahun ini ini juga turun dibandingkan sebelumnya karena hasil tangkapan gurita juga turun akibat cuaca buruk yang lebih panjang,” kata Rifai.

Ia mengatakan dari hasil pendataan setahun terakhir ada anomali musim atau pergeseran kalender musim. Dari hasil penilaian awal dan profiling yang dilakukan kepada pengepul dan nelayan, musim tangkap gurita dalam setahun berlangsung selama tujuh bulan yaitu Januari-April dan Oktober-Desember, sedangkan Mei-Sept adalah musim galoro atau cuaca buruk, dengan puncaknya di bulan Juli-Agustus.

“Namun musim badai kali ini lebih panjang,dari Mei 2022-Januari 2023, hasil tangkap nelayan di bawah normal, naik turun, padahal semestinya di Oktober 2022 cuaca membaik, tapi tahun lalu Oktober-November masih badai, tangkapan gurita baru naik pada Januari 2023, namun mulai akhir Mei dan Juni ini (2023) turun kembali. Apakah ada pengaruh elnino atau perubahan iklim, tentu harus dianalisis ahli, namun nelayan sudah merasakan musim yang tidak jelas ini 3-5 tahun belakangan,” terang Rifai.

Untuk menjaga kelestarian gurita di laut Sinakak, pada 17 Juni 2023 YCM Mentawai bersama masyarakat dan Pemerintah Desa Sinakak melakukan penutupan sementara lokasi tangkap perikanan di wilayah Pulau Beriulou. Lokasi itu akan dibuka kembali tiga bulan kemudian.

Tarsan mengatakan, penutupan juga akan dilakukan di beberapa lokasi penangkapan lain secara bergiliran untuk menjaga kelestarian gurita.

“Selama ini kita lalai dalam pengawasan habitat laut kita, padahal laut menjadi tumpuan ekonomi masyarakat Sinakak. Saya berharap ada perubahan pola pikir nelayan,” kata sang Kepala Desa.

Baca juga: Masyarakat adat Mentawai bersikukuh melawan HTI


Liputan ini didukung oleh Pulitzer Center.
About the writer

Febrianti

Febrianti is a journalist who lives in Padang, West Sumatra. Currently, Febrianti is a contributor for Tempo in West Sumatra and the Editor-in-Chief of an online environmental and travel site, Jurnalistravel.Com....

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.