AMAN dan WALHI menilai konflik Rempang menunjukkan ada masalah besar di balik Proyek Strategis Nasional.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai konflik yang terjadi di Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau, menunjukkan adanya masalah besar di balik Proyek Strategis Nasional (PSN) yang tengah digencarkan pemerintah.
AMAN, dalam siaran pers yang diterima redaksi Ekuatorial pada Rabu (20/9), menyoroti adanya pelaksanaan PSN yang cacat prosedur dan dilaksanakan terburu-buru. Menurut AMAN, banyak masalah yang muncul, mulai dari tidak adanya persetujuan awal hingga intimidasi terhadap warga yang tinggal di sekitar proyek, yang seringkali berakhir dengan kriminalisasi warga.
“Seperti konflik di Rempang yang sedang terjadi saat ini. Pemerintah menyangkal bahwa masyarakat yang tinggal di Rempang adalah Masyarakat Adat. Tetapi, jika 16 Kampung Tua mengklaim eksistensi mereka sebagai Masyarakat Adat melalui hukum adat maka itu harus dihormati,” kata Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan Hak Asasi PB AMAN.
Ketiadaan pengakuan dari negara, sambung Arman, tidak berarti bahwa keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya, termasuk hak atas wilayah adatnya yang telah ditempati secara turun-temurun, jadi hilang.
Menurut data AMAN, selama periode 2018-2022 setidaknya terdapat 301 kasus yang menyebabkan hilangnya 8,5 Juta hektare wilayah Masyarakat Adat di seluruh Indonesia. Aliansi tersebut juga mencatat beberapa konflik lainnya yang sudah terjadi akibat PSN seperti proyek Food Estate di Papua Barat dan Kalimantan Tengah, pembangunan Waduk Lambo di Nagekeo, NTT, proyek Geothermal di Manggarai, NTT, hingga proyek pembangunan Ibukota Negara (IKN) di Kalimantan Timur.
Hal tersebut, menurut Arman, menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal menjalankan mandatnya untuk melindungi hak-hak warga, termasuk masyarakat adat, bahkan cenderung lebih pro terhadap kepentingan investasi-korporasi.
Investasi yang mengusir penduduk asli
Konflik Rempang berawal dari rencana pembangunan Rempang Eco-City yang telah muncul sejak tahun 2004 dan kemudian masuk dalam daftar PSN pada 2023 berdasarkan Permenko Bidang Perekonomian RI No 7/2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menko Bidang Perekonomian RI No 7/2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Pulau seluas 16.500 hektare tersebut, menurut Badan Pengusahaan (BP) Batam, akan didesain ulang menjadi pusat industri, perdagangan, dan wisata terintegrasi seluas 7.572 hektare. Pemerintah pusat melalui kerja sama antara BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG) akan menghadirkan investor dengan jumlah investasi mencapai Rp381 triliun dan menyerap 306 ribu tenaga kerja hingga tahun 2080.
Selain itu, perusahaan China, Xinyi Group, telah berkomitmen membangun salah satu pabrik kaca terbesar di dunia dengan investasi sekitar AS$11,6 miliar, atau Rp174 triliun.
Namun proyek tersebut ternyata membuat 7.500 penduduk Rempang, termasuk Masyarakat Adat Tempatan dari 16 kampung Melayu Tua yang dihuni oleh Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat terusir dari kawasan yang telah mereka huni sejak zaman leluhur.
Mereka diberi tenggat hingga akhir September 2023 untuk pindah ke relokasi sementara, yaitu rusun-rusun. Sementara, rumah yang dijanjikan sebagai pengganti belum lagi rampung.
Akibatnya, timbullah konflik antara warga dengan aparat pemerintah. Puncaknya terjadi kontak fisik dalam ujuk rasa pada 7 September 2023. Sedikitnya, menurut KontraS, 20 warga, termasuk 10 anak sekolah, menjadi korban.
Kerusuhan kembali terjadi saat warga Rempang berunjuk rasa di depan kantor BP Batam pada 11 September.
“Konflik Rempang mengakibatkan luka yang sangat besar bagi masyarakat di sana, khususnya Masyarakat Adat Tempatan yang sudah tinggal di sana sejak 1834,” kata Ferry Widodo, Manajer Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat, Divisi Wilayah Kelola Rakyat, WALHI.
“Tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat juga menimbulkan trauma mendalam pada anak-anak.”
Menyalahi FPIC
Sementara itu, Herlambang P Wiratraman, dosen Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) menilai dalam proses pelaksanaan PSN di berbagai wilayah masyarakat adat di Indonesia, termasuk Rempang, pemerintah telah menyalahi konsep Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (Free, Prior and Informed Consent/FPIC).
Pada dasarnya, FPIC ini adalah hak masyarakat adat untuk mengatakan “ya dan bagaimana” atau “tidak” untuk pembangunan yang mempengaruhi sumber daya di wilayah mereka. FPIC ini telah diadopsi dalam Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) pada tahun 2008.
“Dalam melakukan FPIC ini pemerintah harus mengakui hak masyarakat adat untuk mengambil keputusan yang tepat terkait hal-hal yang mempengaruhi tradisi dan cara hidup mereka,” jelas Herlambang.
Dia menilai PSN lebih mengutamakan kepentingan investasi ketimbang kesejahteraan sosial masyarakatnya.
“Sampai saat ini, saya masih mempertanyakan ukuran strategis dalam mengukur program ini. Karena setiap proyeknya didominasi oleh politik investasi bukan untuk kesejahteraan sosial. PSN ini sangat kental dengan capital-driven-investment,” kata Herlambang. “Jadi, strategis di sini itu untuk siapa?”