Adat budaya Minangkabau yang mereka terapkan, khususnya dalam tata kelola ruang wilayah pesisir, melindungi mereka dari dampak krisis iklim.

Dampak krisis iklim yang kian masif terjadi seperti peningkatan air laut semakin mengancam tempat tinggal masyarakat di daerah pesisir Sumatera Barat (Sumbar). Hasil beberapa penelitian menyebutkan, pada tahun 2003 – 2016 pesisir provinsi Sumbar mengalami abrasi pantai seluas 732.69 Ha dan akresi — proses pertumbuhan atau peningkatan, biasanya dengan akumulasi bertahap dari lapisan atau materi tambahan — seluas 55,4 Ha.

Abrasi tersebut tersebar di 32 titik pada enam kabupaten dan kota. Setidaknya sekitar 56,3 Ha/tahun daratan di Sumbar berkurang, hanya ada 4,26 Ha/tahun penambahan daratannya.

Air laut yang semakin mendekat dengan pemungkiman warga, bahkan sebagian rumah warga sudah ditenggelamkan oleh abrasi tersebut. WALHI Sumbar menyebutnya bencana ekologis dan tidak tertutup kemungkinan permasalah-permasalahan lain yang akan bermunculan.

Namun, tiga desa di Kota Pariaman — Mangguang, Ampalu, dan Apar — tidak mengalami pengikisan pesisir pantai oleh air laut yang begitu masif. Jika dilihat dari karakteristik pantainya sama dengan pantai-pantai di daerah lain di Sumatera Barat, bahkan bersentuhan lansung dengan Samudra hindia.

Keberhasilan tersebut tidak lepas dari peran adat dan budaya mereka (Minangkabau), walaupun regulasinya tidak tertulis mereka mewariskan secara terus menerus kepada anak cucu mereka agar hidup selaras dengan alam. Hal itu mereka tuangkan dalam pepetah petitihnya Alam Takambang manjadi Guru, yang artinya alam yang terkembang ini adalah guru.

Sehingga mereka memanfaatkan dan mengelola alam sesuai dengan kondisi fisik alam itu sendiri, salah satunya dalam tata kelola ruang wilayahnya. Mereka menjadikan kawasan pantai sebagai hutan nagari, berbagai tumbuhan mereka tanam disana seperti manggrove, cemara, kelapa, waru dan lain-lainya yang menjadi garda terdepan pengaman pantai.

Wilayah yang jaraknya kurang lebih dari 250 meter dari garis pantai tidak mereka pergunakan untuk pemungkiman, tetapi untuk area pertanian dan perkebunan masyarakat.

Setelah itu, wilayah yang berjarak sekitar 350 meter baru mereka jadikan sebagai tempat tinggal karna dinilai aman dari dampak abrasi hingga saat ini.

Selain mendapat lingkungan yang aman dari bencana abrasi, alam memberi lebih kepada mereka. Hutan Mangrove yang sudah tertanam sekitar sepuluh hektar menjadi tempat berkunjung oleh banyak orang, sarana sarana umum pendukung pun menjadi ladang usaha baru bagi masyarakat pesisir di desa-desa Kota Pariaman tersebut.

Berikut liputan selengkapnya:


Liputan ini merupakan bagian dari program fellowship dengan tema ‘Adaptasi, Mitigasi, dan Resiliensi Masyarakat Pesisir menghadapi Krisis Iklim’ yang diadakan oleh Ekuatorial dan didukung oleh Society of Indonesian Environmental Journalists dan EcoNusa. Liputan ini ipertama kali terbit di Suara Kampus pada tanggal 4 September 2023.

About the writer

M. Abdul Latif

M. Abdul Latif is a young freelance journalist from Koto Hilalang, West Sumatera. He completed his undergraduate in da'wah and communication sciences at The Imam Bonjol State University in Padang, West...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.