Kebijakan pembangunan perlu mengidentifikasi potensi dan persoalan yang dihadapi masyarakat pesisir.

Pelaku kebudayaan maritim adalah elemen penting dalam pembangunan di sektor kelautan dan perikanan Indonesia. Karena itu, kebijakan pembangunan perlu mengidentifikasi potensi dan persoalan yang dihadapi kelompok tersebut.

Keyakinan itu tercetus dalam seminar nasional bertajuk “Pesisir Tangguh untuk Indonesia Maju”, Rabu (13/9/23). Menurut Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani, Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sebelum merumuskan kebijakan di sektor kelautan dan perikanan, pemerintah perlu mengenal empat pemangku utama di sektor ini.

Pertama, orang laut. Contohnya adalah orang Bajo yang berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 tercatat sekitar 241.386 jiwa. Suku ini dikenal dengan sebutan suku laut, orang laut hingga sea nomad. Selain Suku Bajo, Najib juga mengategorikan masyarakat Sangihe, Sulawesi Utara, sebagai orang laut.

Mereka disebut mampu mengindentifikasi daerah penangkapan ikan dengan nama yang menunjukkan karakteristik ekosistem di wilayah perairan tertentu. “Di Pulau Kahakitang, misalnya, masyarakat mengidentifikasi 10 daerah penangkapan ikan khusus untuk malalugis (Decapterus macarellus),” terangnya di Gedung Heritage Kemenko PMK.

Pemangku kepentingan kedua adalah komunitas nelayan. Najib mengatakan, pada tahun 2016, populasi mereka tercatat 2.261.874 jiwa, mengoperasikan 625.633 perahu/kapal, dengan total produksi 6,5 juta ton ikan. Pada tahun 2019, mereka disebut memproduksi 8,2 juta ton ikan dengan menggunakan armada kapal yang didominasi kapal-kapal kecil.

Ketiga, komunitas pelayaran rakyat atau tradisional, yang sampai tahun 2016, jumlahnya mencapai 1384 kapal pelayaran tradisional. Dan, keempat, komunitas pesisir yang mencakup 140 juta jiwa dari total 250 juta penduduk Indonesia. Komunitas ini tersebar di 297 kabupaten/kota pesisir dari total 540 kabupaten/kota di Indonesia.

“Sebetulnya kita punya modalitas untuk pesisir tangguh. Caranya tidak melulu lihat laut dari sisi komoditas dan pendekatan teknokratik, ataupun hi-tech, yang justru meningkatkan ketergantungan pada pihak luar,” kata Najib.

“Kami mengusulkan pendekatan budaya untuk memberdayakan empat pemangku kebudayaan maritim tadi.”

Dani Setiawan, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menambahkan, upaya memperkuat sektor kelautan dan perikanan harus memperhatikan kondisi dan tantangan terkini yang dihadapi nelayan tradisional di Indonesia.

Kelompok ini mencakup 97% dari total nelayan di Indonesia dan berkontribusi pada mayoritas total produksi perikanan nasional, di mana 54% protein hewani berasal dari sumber daya perikanan.

Namun, seturut kajian KNTI di 25 kabupaten/ kota pada tahun 2021, banyak nelayan diketahui sulit mengakses bantuan sosial maupun ekonomi karena permasalahan administratif, terutama dalam pendataan nelayan.

“Survei kami pada tahun 2021 menemukan, 77% nelayan tidak memiliki asuransi. Jadi mereka sangat rentan. Ada yang meninggal di laut, kecelakan di laut, mereka tidak dapat proteksi apa-apa,” kata Dani.

Selain itu, sebanyak 80% nelayan tidak mempunyai pekerjaan lain, yang membuat mereka di masa-masa tertentu, terutama ketika cuaca buruk, tidak punya pemasukan ekonomi. “Daerah-daerah pesisir harus didorong untuk punya skema pekerjaan alternatif di kala masyarakat nelayan tidak bisa melaut,” ujar Dani.

Baca juga: Nelayan Kodingareng terancam krisis iklim dan penambangan pasir laut.

Mendorong peraturan yang berpihak

Bagi Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Kerja 2014-2019, upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir, harus dilakukan dengan mendorong lahirnya peraturan yang berpihak. Misalnya, memberi kewenangan pada pemerintah kabupaten untuk mengawasi dan mengelola sektor kelautan dan perikanan di wilayah administratifnya.

“(Pemerintah kabupaten) sama sekali tidak punya hak, 4 mil pun tidak ada. Laut di depan mereka, tapi mereka tidak punya wewenang. Bagaimana bupati mau lindungi masyarakatnya, nelayannya,” kata Susi.

Di samping itu, peraturan yang dibuat harus memperkuat kedaulatan masyarakat pesisir dengan melarang orang asing, kapal asing dan modal asing melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia.

Susi juga mengingatkan pentingnya kebijakan dan aksi untuk menjaga keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan. Menurutnya, pengetatan dan pembatasan aktivitas penangkapan akan mendorong pertumbuhan ikan, keberlanjutan lingkungan dan ketahanan pangan nasional.

“Semakin kita jaga, semakin kita atur, sumber daya alam kita akan semakin produktif. Misalnya dijaga bulan tangkapnya, alat tangkap yang merusak tidak boleh, ukuran juga diatur,” tambahnya.

Baginya, upaya melindungi laut adalah langkah penting, mudah dan paling murah untuk dilakukan. Susi percaya, perlindungan laut juga akan memperkuat masa depan Indonesia dengan memberi potensi keuntungan ekonomi di masa depan.


Baca juga:

About the writer

Themmy Doaly

Themmy Doaly has been working as Mongabay-Indonesia contributor for North Sulawesi region since 2013. While in the last nine years he has also been writing for a number of news sites in Indonesia, including...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.