Nelayan terpaksa beralih profesi atau melaut lebih jauh. Harapan mereka ada bantuan pemerintah termasuk pemecah ombak dan revisi zonasi penambangan.

Penambangan pasir memang telah berakhir di Pulau Kodingareng, Makassar. Namun dampaknya justru terasa hingga hari ini. Kemudian ada pula tantangan krisis iklim.

Salah satu dampak krisis iklim adalah terjadinya kenaikan muka air laut dapat menimbulkan gelombang yang lebih besar sehingga mendesain ulang garis pantai. Lapisan sedimen di beberapa tempat di daratan juga dapat luruh ke laut sehingga menimbulkan erosi dan banjir di daerah lainnya.

Krisis iklim yang diperparah dengan adanya tambang pasir laut menimbulkan abrasi di pesisir Pulau Kodingareng dalam tiga terakhir. Tanpa adanya tanggul yang memadai, pada akhir 2022 terjadi banjir terparah sepanjang sejarah pulau.

Banyak penduduk pulau yang harus merantau ke tempat lain untuk mencari nafkah akibat berhentinya penambangan, sementara istri para nelayan berusaha mencari penghidupan baru melalui usaha jualan minuman kemasan dan gorengan.

Namun, situasi ekonomi yang sulit mendorong sebagian warga untuk berutang guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Penelitian dari WALHI Sulsel mengungkap bahwa krisis iklim mengakibatkan kesulitan bagi nelayan dalam memprediksi waktu yang tepat untuk berlayar. Akibatnya, mereka terpaksa melaut hingga jarak yang lebih jauh, yang berarti biaya produksi semakin meningkat.

Di tengah biaya yang naik, hasil tangkapan justru menurun. Selain itu, adanya Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 tahun 2023 tentang pengelolaan sedimentasi laut. Ini menjadi perhatian serius oleh. banyak pihak karena dikhawatirkan dapat merusak ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.

PP tersebut memberikan izin untuk penambangan pasir laut berdasarkan sedimentasi, yang dapat memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan.

Berikut liputan selengkapnya:


Liputan ini merupakan bagian dari program fellowship dengan tema ‘Adaptasi, Mitigasi, dan Resiliensi Masyarakat Pesisir menghadapi Krisis Iklim’ yang diadakan oleh Ekuatorial dan didukung oleh Society of Indonesian Environmental Journalists dan EcoNusa. Liputan ini ipertama kali terbit di Mongabay Indonesia pada tanggal 1 September 2023.

About the writer

Wahyu Chandra

Wahyu Chandra is a native of Pinrang, South Sulawesi who completed his undergraduate studies in international relations and postgraduate studies in anthropology at Hasanuddin University. He has been a...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.