Musisi yang mengusung tema-tema penyelamatan lingkungan hidup dalam karyanya ini mendapat julukan the green grunge gentleman.

I Gede Robi Supriyanto adalah vokalis Navicula, band yang mengusung tema-tema penyelamatan lingkungan hidup dalam tiap albumnya, hingga mendapat julukan the green grunge gentleman.

I Gede Robi Supriyanto hadir dalam kegiatan “Riung Mentawai: Workshop tato, diskusi dan pemutaran film” yang diselenggarakan Trend Asia di Jakarta, Sabtu (30/9/2023). Dengan memakai kaos bertuliskan “No Music on Dead Planet”, dia menjadi penanggap dalam diskusi film, serta membawakan 7 lagu untuk menutup kegiatan.

Secara personal, isu lingkungan disampaikannya sebagai pembicara di sejumlah forum, menjadi bagian dalam film Pulau Plastik, hingga menceburkan diri dalam aktivitas pertanian.

Tahun ini, Robi bersama sejumlah musisi tanah air, sedang memersiapkan album kolaborasi bertema iklim. Album yang judulnya masih dirahasiakan itu, sedang dalam tahap produksi dan rencananya dirilis pada 4 November 2023, di Bali.

Sejumlah nama yang terlibat dalam penggarapan album itu di antaranya, Navicula, Tuan Tigabelas, Iga Massardi Barasuara, Endah n Rhesa, Tony Q Rastafara, FSTVLST, Iksan Skuter, Rhythm Rebel, Prabumi, Made Maut, Nova Ruth dan Grey Filastine (Arka Kinari).

Robi menyebut, album kolaborasi bertema iklim ini, akan berisi lagu-lagu baru dari semua musisi yang terlibat. Navicula sendiri tengah memersiapkan lagu bertajuk House on Fire. Sebelumnya, mereka telah mendapat pembekalan tentang permasalahan iklim lewat workshop bertajuk “Sound the Alarm” yang berlangsung selama selama 4 hari, di Bali, pada Juni 2023.

Ekuatorial berkesempatan mewawancarai Robi untuk mengetahui kaitan antara kampanye “No Music on Dead Planet” dengan kolaborasi musisi Indonesia dalam memproduksi album bertema iklim. Berikut petikan wawancaranya:

Bisa cerita tentang No Music on Dead Planet?

Itu gerakan inisiatif dari Music Declares Emergency, basisnya di UK (Inggris). Yang bikin Thom Yorke, Billie Eillish, sekarang gabung Fatboy Slim, Tom Morello, ada 6000 musisi yang declare.

Waktu pandemi kemarin, kami sudah kontak-kontakan. Mereka minta “Eh bikin dong, di Asia belum ada nih. Di Eropa sudah gencar, di Amerika ada”.

Setelah pandemi, Februari tahun ini, kami follow up. Kami dirikan Music Declares Emergency Indonesia.

Apa kampanye dari No Music on Dead Planet?

Kami sebagai musisi, seniman, harus punya tanggung jawab. Seni itu bukan melulu industri, seni juga adalah ibadah tiap-tiap individu. Jangan melulu cuan-nya aja. Cuan tetap harus ada, tapi kami sadar bahwa tiap manusia punya peran (menjaga bumi).

Aku pribadi, kenapa aku ngomong begini, aku tidak mau anakku dalam situasi lingkungan yang akan terjadi konflik memperebutkan air bersih, atau kita negara maritim tapi tidak mampu beli ikan segar karena ketidakadilan distribusi ikan.

Itu baru satu kondisi. Belum lagi mikroplastik di lautan, belum lagi krisis iklim membuat terumbu karang rusak. Man, ini sama saja dengan membakar lumbung kita. Aku tidak ingin ini terjadi di anakku.

Kalau lingkungan kita sekarat, kita enggak bisa nikmati apapun termasuk musik. No nasi padang on dead planet, no coffee on dead planet, no sex on dead planet.

Apa program dari Music Declare Emergency Indonesia?

Program pertamanya, kami bikin satu gerakan bernama IKLIM. Kepanjangannya the Indonesia Knowledge, Climate, Arts and Music Labs (IKLIM).

Karena berhubungan dengan musik, film dan arts, kami bikin kolaborasi dengan musisi, dimulai dari yang aku kenal. Cuma, waktu itu aku pengin sebelum bikin karya ada workshop dulu.

IKLIM membiayai tiket mereka, akomodasi dan lain-lain untuk bikin workshop yang diadakan pada 12 Juni 2023 di Bali.

Di workshop itu, kami intens diskusi terfokus (FGD), bicara tentang isu iklim dari A sampai Z. Posisi di pemerintah, global, sampai informasi berbasis data.

Kenapa harus ada workshop?

Berdasarkan yang sudah-sudah, aku enggak mau begitu datangkan influencer, pada kenyataannya dia tidak begitu peduli isunya. Ketika di interview, pengetahuannya agak dangkal, sehingga jadi bumerang. Aku ingin mencegah itu.

Jadi harus tahu dulu topiknya luar-dalam, sesuai dengan pemahaman dan sumber daya masing-masing. Nanti pasti ada perspektif sendiri-sendiri. Ketika dieksekusi jadi karya, terserah. Tapi at least karyanya jadi deep.

Bagaimana respons musisi-musisi yang terlibat?

Awalnya saya skeptis, (khawatir) orang bosan dengar isu berat. Ternyata antusias. Ternyata sense of belongingnya, sense of urgency-nya muncul.

(Sebelum workshop) aku minta nonton film yang popular dulu seperti Breaking Boundaries, Chasing Ice, Avatar atau Don’t Look Up.

Setelah ada gambaran, kami bicarakan isunya dalam frekuensi yang sama. Kalau dari nol, susah. Nanti buntut-buntutnya out put dari workshop, “oh kita keluarkan kampanye jangan buang sampah sembarangan”.

Itu sudah kampanye 30 tahun lalu, dan itu pendidikan dasar.

Bisa cerita tentang label musiknya?

Labelnya bukan dibentuk untuk tujuan komersil seperti label-label pada umumnya. Di IKLIM kan ada banyak kelasnya, tentang kebijakan, solusi dan lain-lain. Salah satunya, bikin koperasi yang adalah label.

Jadi, Alarm Record bentuknya koperasi. Pemiliknya adalah semua band yang masuk di dalamnya.

Orientasi kami bukan bisnis, tapi kalau ada pemasukan dari platform on line, kami bagi rata. Artis ambil sedikit supaya sustain. Tapi sebagian penghasilan dipakai untuk mendanai proyek ini supaya sustain, punya dana sendiri.

Kami juga bikin merchandise, seratus persen keuntungannya dipakai untuk pendanaan project IKLIM ini, karena ini adalah proyek keroyokan.

Artinya, musisi bisa bertambah di masa mendatang?

Ya, ini baru prototype. Yang penting ini rilis dulu. Tahun ke depan, kami mau undang (musisi lainnya). Kayak festival jadinya. Nanti kami kurasi, dan kami butuh bantuan media sebagai partner.

Musik jadi sarana yang mudah diterima untuk sampaikan masalah lingkungan?

Aku senang topik-topik yang kami bikin masih relevan, mungkin karena dampaknya lebih terasa. Dulu, harapan kami, lebih baik mencegah. Tapi mungkin masyarakat masih reaktif ya, harus kena dampaknya dulu.

Tapi kita masih punya solusi-solusi. Dan aku percaya perubahan positif bisa terjadi bila orang-orang baik di pemerintah, korporasi dan di masyarakat berkolaborasi untuk jadi bagian dari solusi.

Apa tantangan bikin lagu bertema lingkungan?

Teman-teman musisi kan kendalanya, “kalau gua tulis tentang ini, nanti followers-nya kaget”. Atau misalnya ada yang tanya, “aku bahas apanya nih, karena isunya terlalu berat?”

(Kata Robi) “Ya kamu kan aktif di komunitas sepeda, itu kendaraan rendah karbon. Itu angle yang bagus.”

Jadi bicara musik lingkungan bisa dengan banyak angle. Tapi yang penting tujuan besarnya, pemahaman holistiknya ada.

Isu lingkungan itu isu berat dan membosankan. Tantangannya, mengemasnya dengan cara popular tanpa mengurangi estetika dan juga bisa engage dengan pendengar. Kemudian, musik ini kan produk, tapi kalau tidak diimbangi dengan pasar yang tidak teredukasi, ya, tidak akan masuk dengan bagus.

Jadi produk bagus harus diimbangi dengan market yang teredukasi.

Harapan dari album kolaborasi bertema iklim?

Kami berharap, isu berat ini jadi topik yang dibicarakan anak-anak muda pada umumnya. Jadi isu popular, banyak yang bicarain, dan mempengaruhi.

Karena kan, anak muda adalah 55% pemilih pada pemilu 2024. Berarti ini akan berpengaruh pada iklim politik indonesia. Keputusan-keputusan besar akan berdampak signifikan bagi keberlanjutan di Indonesia.

Kami percaya, Indonesia punya itikad bagus untuk mengurangi karbon. Caranya bagaimana, ya, partisipasi semua orang. Pemerintah, korporasi dan masyarakat semuanya harus sejalan, atau juga mengkritisi solusi palsu yang kontradiktif dengan tujuan negara Indonesia.


About the writer

Themmy Doaly

Themmy Doaly has been working as Mongabay-Indonesia contributor for North Sulawesi region since 2013. While in the last nine years he has also been writing for a number of news sites in Indonesia, including...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.