Konflik agraria, khususnya di Jawa Timur, masih marak terjadi di Indonesia hingga kini. Oleh karena itu, dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional, organisasi massa dan lembaga swadaya masyarakat di Jawa Timur mendesak pemerintah untuk hadir membela warganya dalam konflik agraria.
Demikian disampaikan oleh Paguyuban Petani Jawa Timur (PAPANJATI), Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya dalam konferensi pers di Kantor LBH Surabaya, Rabu (27/9).
Mereka meyakini bahwa konflik agraria masih banyak terjadi hingga saat ini karena tidak adanya kehendak politis dari pemerintah untuk menjalankan mandat Undang-Undang Pokok Agraria yang kini telah berusia 63 tahun dan lahir dengan semangat untuk mengusir kolonialisme serta mensejahterakan rakyat Indonesia.
Kemudian, konflik tersebut kerap diikuti oleh jatuhnya korban akibat terjadinya intimidasi, kekerasan, hingga kriminalisasi yang menyertai.
Munculnya Perpres No. 88/2017 Tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan, menurut mereka, belum bisa menghasilkan jalan keluar. Ketimpangan penguasaan penguasaan lahan, penggusuran bahkan kekerasan dan kriminalisasi masih menjadi momok yang harus dihadapi oleh para petani.
“Alih-alih bertindak adil, negara seakan-akan menjadi dalang atas semakin dalam jatuhnya para petani dan warga sipil ke dalam jurang ketimpangan,” kata Direktur WALHI Jatim, Wahyu Eka.
“Hampir di semua tempat yang mengalami konflik agraria selalu terjadi tindak kekerasan hingga intimidasi oleh pihak aparat, preman, hingga antarwarga itu sendiri.”
WALHI mencatat ada sekitar 50 kasus konflik agraria –mulai dari kasus perkebunan, hutan, peternakan, tambang, hingga Proyek Strategis Nasional– yang terjadi di berbagai daerah di Jawa Timur saat ini. Hampir separuh dari kasus tersebut, menurut Wahyu, mengakibatkan jatuhnya 30 korban kriminalisasi, intimidasi, hingga kekerasan.
Sementara Jauhar Kurniawan, anggota LBH Surabaya, menyoroti sisi historis masyarakat atau petani yang telah lama tinggal di suatu lahan namun kemudian tergusur oleh narasi legal formal pemerintah.
“Sering kali pemerintah menggunakan narasi legal formal dengan tujuan melegitimasi kepemilikan lahan hanya untuk melindungi hak-hak dari formasi tertentu sehingga masyarakat yang tidak memiliki akses terkait dokumen pertanahan bernasib dikesampingkan dan berakibat penggusuran,” tutur Jauhar.
Mereka melihat bahwa munculnya Undang-Undang Cipta Kerja malah mempersuram konflik agraria. UU tersebut diangap membuka pola baru perampasan tanah dengan dalih investasi, seperti yang terjadi di Banyuwangi.
Saat ini di kabupaten tersebut terjadi dua kasus besar terkait lahan. Pertama, konflik akibat Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan di Desa Pakel, Kecamatan Licin.
Kemudian warga Desa Alasbuluh dan Desa Wongsorejo di Kecamatan Wongsorejo yang hak atas tanahnya tidak kunjung diakui pasca-matinya HGU. Pada lahan tersebut rencananya akan dibangun kawasan industri.
“[Kami] kecewa karena negara belum hadir untuk mensejahterakan rakyatnya dalam kasus-kasus agraria khususnya di kabupaten Banyuwangi,” kata Arna Dwi, perwakilan OPWB.
Oleh karena itu, mereka mengharapkan agar peringatan Hari Tani pada 24 September 2023 dapat mendorong semua elemen untuk bergerak, bersuara dan menyampaikan kepada pengurus negara untuk menjalankan mandat konstitusi, mendorong penerapan UUPA, serta segera menyelesaikan konflik agraria.
“Apa artinya sebuah kemerdekaan jika kami tinggal di kampung kami secara tidak tenang dan penuh keresahan, tidak ada bedanya dengan zaman penjajahan,” tegas Yanto Subandio, Ketua PAPANJATI.