Pandemi global, pembangunan, dan urbanisasi, berkontribusi pada meningkatnya kasus bayi gizi buruk dan angka kemiskinan. Warga Kota Baubau, Sulawesi Tenggara beralih ke urban farming untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi.

Sore itu, di penghujung Oktober 2021 lalu di Kelurahan Tanganapada, Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara, Fanti Frida Yanti (44), bersama suaminya, Budiyanto Arfan (45), sedang merawat tanaman hijau di lahan bagian belakang rumah mereka. Seperti itulah rutinitas paruh waktu harian pasangan suami istri ini semenjak pandemi Covid-19 berlangsung setahun lebih. 

Tomat, paprika, cabai, terong, kangkung, bayam, dan beragam jenis sawi tumbuh subur di pipa-pipa paralon PVC (Poly Vinyl Chloride)  yang tersebar di sejumlah ruang terbuka rumah. Setiap batang pipa PVC sepanjang 4 meter dengan diameter 3 inchi dapat menampung 20 lobang tanam sayur. Dengan jarak antar lobang 20 cm. Mereka memanfaatkan pekarangan rumah seluas 4×6 m², untuk memperoleh 300 lubang tanam.

Fanti mengaku sanggup menghemat uang belanja sayur harian rumah tangganya sebesar Rp25 ribu per hari. Sebelumnya, nilai pengeluaran itu tergolong tinggi baginya, yang berprofesi Aparatur Sipil Negara di Pemerintah Kota Baubau dengan pendapatan di atas Upah Minimum Kota setempat.

“Bayangkan misalnya rata-rata Rp25 ribu kali 360 hari dalam setahun, itu luar biasa jumlahnya,” kata Fanti. Jika ditotalkan, rata-rata hampir Rp10 juta-an per tahun, hanya untuk memenuhi kebutuhan sayur. Fanti kini sudah tidak pernah lagi belanja sayur di pasar sejak Juni 2020.

Sementara suaminya, Arfan yang baru saja mengundurkan diri dari karyawan perusahaan konstruksi swasta, beralih profesi menjadi petani di lingkungan rumah sendiri.

Ia menunjukkan sayuran dengan usia tanam mencapai 25 hari di instalasi pipa yang siap panen. Untuk didistribusikan memasok permintaan sejumlah hotel, rumah makan, dan rumah tangga di dalam kota. Satu pohon sayur dijual seharga Rp5.000. Arfan menegaskan, “Ini semua bebas pestisida, segar, aman, dan menyehatkan.”

Arfan kemudian menurunkan Yellow Trap dari bagian atap instalasi tanaman dan mengeluarkan tumpukan serangga-serangga kecil yang mati. Serangga itu adalah hama tanaman.

Yellow trap merupakan perangkap serangga yang terbuat dari limbah botol air mineral plastik yang dicat kuning. Dalam botol itu berisi kapas yang diberi cairan petrogenol, pembau untuk menarik perhatian–menjebak serangga.

Fanti dan Arfan mengaku jika sayur hidroponik mereka telah memenuhi kebutuhan gizi sepasang anak remaja mereka, di tengah menurunnya stok bahan pangan di pasaran selama pandemi corona. 

Merujuk data, dampak Covid-19 terhadap ekonomi nasional juga berkorelasi dengan kondisi gizi masyarakat. Di Kota Baubau kemiskinan meningkat, dari angka 12 ribu orang pada 2019 menjadi 13 ribu orang pada 2020. Dan kasus gizi buruk naik 5 kali lipat selama masa pandemi Covid-19.

Di kawasan pesisir kota di Kelurahan Batulo, La Ode Muhammad Ishaq (40), sedang sibuk menyemprot air ke berbagai tanaman sayur di pekarangan rumahnya. Ishaq menggunakan media tanam berupa limbah botol plastik kemasan air mineral 1.500 ml, yang tersusun rapi di tembok pagar rumahnya, sepanjang 6 meter dengan tinggi hampir 2 meter.

“Saya menggunakan metode tanam sistem sumbu. Karena waktu kita cukup fleksibel dengan media tanam seperti ini,” jelas Ishaq. Tanahnya selalu dalam keadaan lembab setiap hari, tanpa perlu melakukan penyiraman setiap harinya. 

Ishaq juga memanfaatkan media limbah berbahan plastik lainnya untuk menanam berbagai jenis tanaman sayur di pekarangannya.

Awalnya, tanaman hanya diperuntukkan memenuhi kebutuhan keluarganya: satu istri dan tiga anak. Seiring waktu tanaman hidroponiknya, sanggup memenuhi kebutuhan nutrisi nabati untuk rumah tangganya, dan dua rumah tangga kerabat terdekatnya dalam sebulan. Sebagian dari hasil panen, dijual ke warga lainnya. 

“Untuk kebutuhan keluarga lebih dari cukup. Ini berpeluang untuk meningkatkan perekonomian keluarga,” ujar Ishaq.

***

Di era pandemi Covid-19 ini, disrupsi yang dihadapi petani di Kota Baubau kian kencang, menyebabkan rantai pasok pangan mengalami gangguan serius. Permintaan pasar terhadap bahan pangan juga menurun, akibat berkurangnya kegiatan luar rumah masyarakat. Dampaknya, produktivitas dan hasil pertanian di kota ini kian menurun.

Baubau adalah kota paling kecil di Pulau Buton dengan luasan 221 km², atau sekitar 17 % dari luas total wilayah Pulau Buton, yang mencapai 4200 km². Sementara Pulau Buton sendiri menempati urutan ke-19 dalam daftar 20 pulau besar di Indonesia.

Pada 2019, setahun sebelum pandemi, produksi sayuran di Kota Baubau di atas 5.000 ton. Namun ketika Covid-19 menyebar masuk ke Indonesia pada 2020,  jumlah produksi sayuran turun drastis di bawah 2.500 ton di tahun 2021.

Covid-19 tidak hanya melumpuhkan sektor ekonomi, tetapi menyebabkan banyak penduduk kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Terutama di sektor pertanian, pandemi menghantam penghasilan para petani di tengah ancaman punahnya profesi petani.

Petani terancam punah

Jumlah penduduk Kota Baubau pada tahun 2021 sebanyak 161.354 jiwa, menempatkan Baubau di urutan ketujuh dalam jumlah penduduk terbanyak dari 17 Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara. Roda perekonomian Baubau bertumpu pada pada sektor jasa dan perdagangan antarpulau. 

Di balik itu, pembangunan yang pesat selama satu dasawarsa terakhir mengakibatkan lahan pertanian menyempit. Angka pekerja bebas di sektor pertanian turut berkurang, dari 268 petani di tahun 2019 menjadi 120 petani di tahun 2020. Jumlah ini tergolong sangat minim, hanya 0,7% dari total jumlah penduduk Baubau. 

Berkurangnya angka pekerja bebas pertanian berkorelasi pada menurunnya produksi tanaman padi  sebanyak 1.500 ton lebih dalam tempo satu setahun.

Pakar pertanian Universitas Halu Oleo (UHO), La Ode Alwi, mengatakan ruang gerak perkotaan tidak bergerak ke sektor pertanian, tetapi ke sektor jasa dan perdagangan. Kebutuhan pangan dari hasil pertanian dari luar kota akan terus meningkat, di tengah pesatnya pertumbuhan penduduk, dampak dari urbanisasi.

Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali menjadi ancaman serius terhadap ketersediaan pangan. “Masyarakat membutuhkan lahan dan makanan, utamanya di permukiman. Di sisi lain, tekanan gaya hidup semakin tinggi,” kata Alwi.

Pada Agustus 2021, Pemerintah Kota Baubau mengaku kesulitan untuk mendapatkan lahan yang dapat digunakan untuk pengembangan komoditi pertanian. Kepala Dinas Pertanian Kota Baubau, Muhammad Rais mengungkapkan bahwa sebagian besar tanah negara telah dikuasai oleh masyarakat

“Sayangnya banyak dari lahan tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik, dibiarkan terbengkalai dan menghutan, sementara lahan tersebut cocok untuk kawasan pertanian dan perkebunan,” kata Rais, sebagaimana dikutip dari rri.co.id.

Rais menilai program sertifikat tanah gratis oleh ATR/BPN (Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional), menjadi penyebab menyempitnya lahan perkotaan untuk menanam. Masyarakat hanya memanfaatkan program sertifikat gratis untuk mendapatkan pengakuan kepemilikan, namun tidak dimanfaatkan.

Menurut Alwi, urban farming merupakan solusi di tengah sempitnya ketersediaan lahan di perkotaan. Untuk mengatasi krisis pangan dan gizi rendah, terlebih untuk menghadapi krisis pandemi global susulan.

“Kalau kita melihat fenomena umur petani sekarang hampir diatas 50 tahun ke atas,” kata Alwi. ‘Fenomena‘ ini terjadi sejak tahun 1990-an. 

“Yang tua-tua ini sebaiknya dikerahkan ke urban farming, di dalam pekarangan. Karena untuk bergerak di sektor jasa, dagang, dan industri … mereka tidak punya skill,” tegasnya.

“Saya khawatir petani akan punah,” ujar Alwi.

Pandemi melahirkan petani generasi baru

Fanti, Arfan dan Ishaq mengenal metode hidroponik sejak bergabung—bersama partisipan lainnya mendirikan Baubau Farmily, komunitas urban farming yang diinisiasi oleh Komandan Kodim 1413 Buton, yang ketika itu dijabat oleh Letnan Kolonel Infanteri Arif Kurniawan pada Mei 2020. Komunitas ini dibentuk untuk mengatasi permasalahan ancaman pangan di wilayah perkotaan kecil.

Arif Kurniawan menyediakan petak lahan seukuran 10 x 5 meter persegi di salah satu sudut pekarangan markas Kodim, sebagai media pembelajaran dan praktek hidroponik. 

Ketika itu, pemerintah Kota Baubau memberlakukan kebijakan nasional ‘Pembatasan Sosial’ di periode Maret hingga Mei untuk membatasi persebaran virus Corona. Akibatnya, warga mengalami kesulitan mendapatkan bahan pangan, khususnya sayuran dan buah-buahan. Situasi itu membuat Ishaq, Fanti, dan belasan anggota komunitas kreatif setempat merasa tertantang menjawab ancaman krisis pangan, jikalau pandemi berlangsung dalam waktu yang lama.

Sebagai langkah awal, mereka mengampanyekan slogan “Saatnya Baubau Berkebun #DirumahAja”, memotivasi masyarakat memanfaatkan halaman rumah untuk menanam berbagai jenis tanaman dengan metode yang sangat sederhana.

Keanggotaan Baubau Farmily bersifat partisipatif dan terus bertambah hingga 70 orang hanya dalam kurun waktu beberapa bulan. Sayangnya, tidak satupun pekerja bebas di sektor pertanian turut bergabung di Baubau Farmily.

Hasil riset dan pemetaan Baubau Farmily pada April 2020 mendapati hampir 90% pangan disuplai kota/kabupaten luar kota Baubau. Penyebabnya adalah keterbatasan lahan.

Ishaq mengatakan sangat penting untuk mengembangkan mitigasi ketahanan pangan di Kota Baubau, yang notabene bergantung pada pasokan hasil tani dari luar daerah.

“Nantinya kita tidak lagi mengharapkan bahan pangan dari daerah luar, jika urban farming terus digalakan,” ujarnya.

Bagi Fanti, masa pandemi tidak sekadar berdiam di rumah, tapi juga menjaga kesehatan fisik serta menjamin asupan gizi. Ia merasa tak perlu khawatir lagi untuk menghadapi pembatasan sosial gelombang ketiga Covid-19, yang diperkirakan berakhir pada pertengahan tahun 2022.

Berdasarkan pencatatan harian setiap anggota yang aktif bercocok tanam, dalam sebulan mereka memperoleh keuntungan bersih sebesar Rp400 ribu– Rp650 ribu dari penjualan hasil panen tanaman hidroponik.

“Kesehatan jiwa yang terpenuhi dari proses melakukan aktivitas urban farming ini lebih menenangkan, lebih membahagiakan,” pungkas Fanti dengan nada ceria.

Liputan ini merupakan bagian dari program lokakarya yang diselenggarakan ole Data and Computational Journalism 2021 dan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.

About the writer

Riza Salman is a freelance journalist and documentary filmmaker who focuses on reporting on environmental, social and cultural issues. He started his career as a television journalist in 2008. In 2018...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.