Posisi masyarakat adat dalam konflik agraria sangat rentan dan lemah. Pendekatan berperspektif HAM dalam konflik agraria harus dikedepankan.
Hak atas tanah masyarakat hukum adat sering kali tidak diakui dan dilindungi hukum formal. Penyebabnya karena berbagai faktor, seperti ketidakpastian hukum, konflik agraria, dan eksploitasi sumber daya alam oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Padahal, menurut Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Lampung Anna Gustiana Zainal, perlindungan hak tanah adat akan berkontribusi pada pengurangan dampak pemanasan global.
Hal itu disampaikan Anna dalam seminar nasional pascasarjana Unila, bertajuk “Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dalam Menghadapi Isu Pemanasan Global”, dikutip dari laman resmi yang diakses Sabtu (4/11/2023).
“Melalui forum (seminar) ini, kami berharap dapat bersama-sama merumuskan langkah-langkah konkret untuk melindungi hak atas tanah masyarakat hukum adat dalam menghadapi isu pemanasan global,” kata Anna yang juga dosen FISIP Unila.
Di acara yang sama, direktur pascasarjana Unila Murhadi menyebutkan, kegiatan seminar dihadiri 100 peserta, termasuk pimpinan fakultas di lingkungan Unila, beberapa tokoh adat Lampung yang tergabung dalam Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL), lima kepala dinas Lampung serta mahasiswa Program Pascasarjana (S-2) dan Program Doktor (S-3) Unila.
Ia menambahkan, kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan rekomendasi bagi pemerintah agar lebih memperhatikan perlindungan tanah adat, terutama di Lampung.
Hutan adat dalam posisi rentan
Beberapa waktu lalu, tepatnya 27 Juli 2023, Komnas HAM menyatakan konflik agraria sebagai isu prioritas. Hal ini disampaikan Komnas HAM saat menerima audiensi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat bersama organisasi masyarakat sipil lainnya.
Sejumlah persoalan diutarakan, antara lain situasi yang terjadi di perbatasan Kalimantan Barat, Timur dan Kalimantan Utara; kebijakan pembangunan dan investasi; penetapan kawasan hutan adat, program transmigrasi dan Kota Terpadu Mandiri; Proyek Strategis Nasional (PSN); pelindungan hak masyarakat adat dalam konflik agraria, dan beberapa persoalan lainnya.
Merespons hal tersebut, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan akan memperdalam informasi dan persoalan yang telah disampaikan. “Komnas HAM merespons atau mengambil langkah-langkah yang dapat dan perlu dilakukan. Nanti pasca pertemuan ini, kami bisa melakukan penilaian model penanganannya karena ada penanganan yang bersifat berbasis kasus,” ujarnya, dikutip dari laman Komnas HAM.
Kebijakan pembangunan dan investasi yang cenderung mengabaikan hak-hak masyarakat, imbuh Atnike, menciptakan permasalahan agraria yang kian kompleks. Komnas HAM pun menerima banyak pengaduan masyarakat terkait kebijakan pembangunan dan investasi yang mengabaikan hak-hak masyarakat lokal yang tinggal di wilayah berpotensi konflik agraria tadi.
Komisioner Pengkajian dan Penelitian Saurlin P Siagian juga mencermati kasus-kasus tadi dapat dicatatkan sebagai aduan masyarakat serta dapat segera ditindaklanjuti oleh Komnas HAM. “Tadi ada beberapa kasus dan itu perlu dicatat. Kalau bisa dilaporkan di Pengaduan supaya terdaftar di Pengaduan. supaya ada tindak lanjut yang konkret,” ucap Saurlin.
Mendorong penetapan hutan adat
Lebih lanjut, beberapa strategi bakal dilakukan Komnas HAM untuk mendorong penyelesaian konflik agraria di Indonesia, salah satunya mendorong implementasi Standar Norma dan Pengaturan tentang HAM atas Tanah dan Sumber Daya Alam di kalangan stakeholders terkait.
“Teman-teman semuanya bisa pakai di lapangan apa yang kami sebut dengan sebuah peraturan Komnas HAM terkait tanah dan sumber daya alam. Itu bisa dipakai untuk membentengi pekerjaan-pekerjaan pelindungan masyarakat adat, perlindungan petani dan aktivis lingkungan hidup di lapangan,” jelas Saurlin.
Komnas HAM terus berkoordinasi dengan kementerian/lembaga di antaranya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian ATR/BPN untuk mendorong penetapan kawasan hutan adat serta penyelesaian konflik agraria di berbagai wilayah di Indonesia.
Sementara itu, Wakil Ketua Eksternal Abdul Haris Semendawai menyinggung posisi masyarakat konflik agraria. “Pada akhirnya, memang kebijakan yang dibuat itu mengorbankan masyarakatnya, masyarakat setempat atau masyarakat adat. Dan perjuangan masyarakat adat ini memang dilemahkan dengan berbagai cara yang secara struktural,” tuturnya.
Semendawai turut menyoroti posisi masyarakat adat dalam konflik agraria. Ia mengatakan masyarakat adat berada pada posisi sangat rentan, dan lemah. Ia menekankan pentingnya pendekatan berperspektif HAM dalam konflik agraria.
Diharapkan, pertemuan tersebut menjadi langkah awal untuk mendorong penyelesaian kasus-kasus maupun perbaikan, kemajuan dan pelindungan HAM terkait hak-hak agraria dan sumber daya alam khususnya di perbatasan.
Organisasi masyarakat sipil yang hadir, antara lain AMAN Kalimantan Barat, Ketua Adat Dusun Montong, Senaning, LBH Angsana, Green of Borneo (GoB) Nunukan, Perkumpulan Nurani Perempuan Kalimantan Timur, serta Perkumpulan Petani Kelapa Sawit (PPKS).