Ada peningkatan aktivitas manusia dimuara yang juga habitat utama buaya. Perlu survey populasi untuk pastikan upaya konservasi di jalur yang tepat.

Dikatakan bahwa dahulu, setiap petak rawa dan muara di Pulau Bangka dijaga oleh para puaka yang berkuasa atas seluruh ikan, udang, dan betina di dalam teritorinya. Raungannya dapat membuat pendekar yang paling tegar pun mundur gemetar. Puaka seekor raksasa, tubuhnya membentang tiga hingga lima meter dari ekor hingga moncong kepala.

Puaka yang dimaksud adalah buaya muara (Crocodylus porosus), satwa terbesar di Provinsi Bangka Belitung. Manusia tidak mau masuk ke sungai yang dihuni buaya, begitu pun sebaliknya. Buaya jarang masuk permukiman. Jika pun ada–buaya tandang, mereka menyebutnya–itu adalah individu yang tersesat setelah terdepak pejantan lain.

Namun, hampir tak ada lagi raungan puaka yang memekakkan telinga hari ini. Ada suara lain yang lebih menggelegar: dentum dan sahut mesin diesel. Gaungnya terdengar di seluruh provinsi, tak terkecuali di sekitar Kampoeng Reklamasi Air Jangkang, Kabupaten Bangka.

“Tamu banyak yang mengira kita sudah dekat dermaga. Bukan! [Itu] suara tambang!” tegas Endi R Yusuf sembari tertawa menirukan bunyi penyedot timah di belakang halaman Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Alobi.

Endi adalah Manajer PPS Alobi, fasilitas yang dikelola oleh Alobi Foundation, Lembaga Konservasi (LK) Khusus yang bergerak di bidang penyelamatan satwa. LK Khusus adalah lembaga yang bermitra dengan pemerintah untuk menjalankan fungsi penyelamatan dan rehabilitasi satwa.

PPS Alobi berdiri di atas lahan eks-tambang milik PT Timah. Oleh perusahaan, fasilitas ini diakui sebagai salah satu model sukses kegiatan reklamasi yang mendukung kesejahteraan lingkungan.

Kontras dengan pertambangan rakyat di luar pagar, seluruh kegiatan di dalam PPS bergerak atas nama konservasi lingkungan, khususnya satwa liar. Tempat ini menjadi suaka bagi berbagai spesies yang diselamatkan dari perdagangan ilegal maupun konflik dengan masyarakat.

Endi menunjukkan beberapa di antaranya. Ada kakatua koki (Cacatua galerita) yang gagal diselundupkan, seekor anak beruang madu (Helarctos malayanus) yang diselamatkan dari kebakaran hutan, tarsius (Tarsius bancanus) yang masuk ke pekarangan warga, bahkan beberapa merak biru (Pavo cristatus) asal India.

Lalu, pada sepetak kandang rehabilitasi yang dibatasi oleh jeruji besi berlapis dua: 34 ekor buaya muara. Mayoritas diselamatkan Alobi dari konflik dengan warga.

Baca juga: Mereka yang terlupakan di pulau timah

Raja tanpa singgasana

Buaya-buaya itu adalah segelintir yang beruntung. Sejawatnya yang lain mati setelah tubuhnya dijerang parang atau isi perutnya tercabik kail pancing masyarakat. Beberapa ekor memang sempat menyerang manusia, tapi yang lainnya dibunuh hanya karena muncul ke permukaan dan kebetulan dilihat warga.

Padahal, buaya muara merupakan satwa yang dilindungi sesuai dengan Permen LHK Nomor P.106 /2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi. Tersemat dalam aturan, tak boleh ada satu pun pihak yang membunuh atau melukai satwa yang dilindungi.

Menangani kasus ini, pendiri Alobi Foundation Langka Sani secara rutin turun ke lapangan untuk menyelamatkan buaya yang berkonflik dengan masyarakat. Langka adalah mitra kerja Endi dalam mengelola Alobi Foundation.

Namun, sekarang Langka sudah kewalahan menerima laporan konflik.

“Dulu, dalam satu tahun mungkin kita nggak pernah dengar ada serangan buaya, sedangkan saat ini dalam dua minggu terakhir mungkin sudah belasan laporan kasus buaya,” ujarnya.

Bahkan pernah, dalam satu hari ponselnya dapat berdering tujuh kali menerima pesan dari warga yang panik karena kemunculan buaya.

Terlalu banyak. Tidak mungkin semua laporan itu dia respons. Mau tak mau dia mengarahkan laporan itu kepada pihak berwenang yang lain, seperti kepolisian, pemadam kebakaran, dan terutama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), pemegang otoritas penanganan satwa dilindungi di Indonesia.

Namun, BKSDA pun kebingungan. Ke mana mereka akan menempatkan buaya yang dievakuasi? Saat ini memang hanya Alobi yang dapat menampung.

Kandang rehabilitasi buaya di PPS Alobi sudah terlampau penuh. Jika dipaksakan, buaya muara yang bersifat teritorial akan bertengkar satu sama lain, menyebabkan banyak individu mati.

Ditambah lagi, Langka menegaskan, hampir tak ada lagi sungai di Bangka yang tak terjamah manusia dan tak ada lagi tempat untuk melepaskan buaya tanpa pertentangan warga.

“Pelepasliaran di Pulau Bangka sendiri tidak memungkinkan sekali karena habitat buaya sudah sangat rusak dan tidak asri,” kata Langka.

Pada 2021, BKSDA dan Alobi sampai harus bertandang ke Sumatra Selatan hanya untuk melakukan pelepasliaran. Buaya lain terpaksa menetap di kandang sempit itu. Bukan karena mereka tidak bisa pulih, melainkan karena tidak ada lagi muara yang damai tanpa konflik.

Masyarakat menolak keberadaan buaya walau hidup keduanya sangat bergantung dengan sungai. Buaya jelas membutuhkan sungai sebagai habitat.

Di lain sisi, warga mengandalkan sungai bukan hanya untuk kebutuhan air sehari-hari, tapi juga untuk lahan pekerjaan, terutama tambang timah rakyat yang makin hari makin merajalela.

Baca juga: Mimpi buruk anak penambang timah di Bangka Belitung

Di mana timah seharga darah

Di Bangka, timah bagaikan sebuah agama. Dan penduduknya adalah penganut yang setia.

Banyak aliran sungai–wilayah yang dahulu di bawah kuasa buaya–saat ini dipadati oleh rakit warga. Muda dan tua, pria dan kadang wanita, berlumur lumpur, bekerja selama matahari masih tinggi, mengeruk dan menyedot sedimen yang mengendap di dasar sungai dan kulong–lubang galian timah lama.

Rozi (54) salah satunya. Dia warga asli Desa Telak, Kecamatan Parittiga, Kabupaten Bangka Barat. Selepas magrib, Rozi menjadi alim ulama, terhormat di seantero desa. Dia mengajar santri mengaji dan memimpin sembahyang di surau.

Namun, di siang hari, dia turun ke lumpur bersama banyak tetangganya. Mereka menambang di sempadan Sungai Antan yang dikelilingi belantara bakau tempat kera, ikan, dan udang galah berkeliaran, kudapan favorit buaya.

Pada 8 November 2020, seekor buaya muara memelintir tubuh Rozi dan merobek sebagian besar daging dari betis kirinya ketika dia sedang mandi pascamenambang timah.

Sejak itu, Rozi tidak bisa lagi menambang. Dia masih berjalan terpincang-pincang bahkan setelah hampir tiga tahun dari kejadian. Jika pun kelak lancar berjalan, Rozi tidak berani kembali menambang. Dia trauma bahkan untuk sekadar melihat gambar buaya atau melewati parit yang digenangi air.

Rozi jauh dari satu-satunya korban konflik dengan buaya muara. Garda Animalia mencatat setidaknya 154 kasus konflik buaya terjadi di Provinsi Bangka Belitung pada rentang 2016 – Agustus 2023 dari berbagai sumber. Mayoritas terjadi di kawasan tambang.

Konflik tidak hanya berdampak pada manusia saja, tapi juga pada buaya. Tidak jarang, jika seseorang tergigit, warga akan memburu seluruh buaya yang ada di sungai dan kulong. Satu robek luka pada lengan manusia, bisa dibayar dengan tiga sampai lima nyawa buaya.

Namun, data penyerangan terhadap buaya jauh lebih sedikit. Laporan penangkapan buaya hanya tersedia untuk individu yang berhasil diselamatkan atau diserahkan warga kepada Alobi atau pihak berwajib.

Di setiap kabupaten, konflik berkerumun di tempat-tempat tertentu. Titik-titik panas ini umumnya beririsan dengan daerah berintensitas pertambangan tinggi.

Sebabnya, lokasi tambang timah rakyat tak mengenal tata guna lahan. Mereka menambang di wilayah sungai, lepas pantai, halaman rumah, bekas taman rekreasi, kawasan hutan lindung, bahkan konsesi perusahaan yang sudah tutup operasi.

Sungai Antan, tempat Rozi diterkam, adalah contoh kawasan hutan lindung yang dikerubungi penambang rakyat. Padahal, lokasi ini adalah salah satu wilayah terakhir yang Alobi andalkan untuk melepaskan buaya yang berkonflik dengan warga.

Analisis Garda Animalia menunjukkan, seluruh kabupaten di Provinsi Bangka Belitung memiliki kawasan hutan lindung yang tertindih tambang. Singgungan ini mayoritas terjadi di pesisir, tepatnya di hutan bakau. Habitat utama buaya muara.

Subkoordinator Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Konservasi SDA dan Ekosistem Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Bangka Belitung Hasanudin mengatakan, selaku pemegang otoritas kawasan hutan lindung, pihaknya telah melakukan penegakan hukum dan edukasi terhadap warga yang menambang di dalam kawasan hutan lindung.

Penegakan hukum ini biasanya melibatkan Polisi Hutan, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), dan kepolisian pada tingkat daerah.

Namun, upaya ini belum terbukti efektif karena konflik di kawasan ini–korban seperti Rozi–terus bertambah. Begitu pula dengan buaya yang diburu warga karena dianggap mengusik.

Ekonomi di balik konflik

Bukan hanya hutan lindung, konsesi perusahaan juga merupakan sasaran empuk bagi warga yang ingin mengeruk peruntungan dari timah. Salah satunya di konsesi milik PT Timah Tbk, BUMN yang bergerak di seluruh lini industri timah, dari pengerukan hingga pemurnian dan ekspor.

Konsesi yang warga cari umumnya adalah yang sudah tidak berproduksi dan sedang dalam tahap reklamasi. Penyusupan biasanya terjadi ketika harga timah sedang tinggi.

Namun, bukan hanya warga. Buaya pun menyusup ke dalam konsesi. Seorang penambang rakyat di dalam konsesi PT Timah di Desa Telak mengatakan, ada banyak buaya di dalam kulong di desa itu. Sementara, di dalam kulong pula warga mencari timah.

Merespons keberadaan konflik di dalam konsesinya, Kepala Bidang Komunikasi Perusahaan PT Timah Anggi Siahaan menjelaskan bahwa perusahaan itu menawarkan skema kemitraan bagi warga yang ingin menambang timah.

Di bawah skema ini, perusahaan akan bertanggung jawab apabila terjadi kecelakaan kerja, termasuk kasus konflik dengan buaya. Sebaliknya, rakyat mitra juga dituntut patuh terhadap prosedur operasi standar perusahaan untuk menekan risiko kecelakaan kerja.

“Betapa pentingnya pertambangan yang dilakukan sesuai dengan kaidah penambangan yang baik dan benar. Jadi gak cuma ngangkat komoditas ini dari dalam tanah, tapi banyak hal lain yang dapat kita reduksi,” jelas Anggi.

Namun, para penambang yang ditemui Garda Animalia enggan bekerja sama dengan PT Timah karena menurut mereka, harga beli perusahaan sangat kecil dibandingkan dengan bayaran pengepul. Warga mengeklaim, satu kilogram timah pada Agustus 2023 dibeli sampai 200 ribu rupiah oleh pengepul, sedangkan perusahaan hanya memberikan 70-100 ribu rupiah.

Reza Setiawan (42), salah satu penambang rakyat yang ditemui Garda Animalia mengutarakan kesulitannya bekerja sama dengan PT Timah.

“Kalau ukuran keselamatan, mereka [PT Timah] berani jamin. Cuma, harga timah yang kurang cocok ke para penambang kalau kita setor ke PT Timah,” terangnya.

Razia secara berkala dilakukan oleh aparat penegak hukum setempat terhadap para penambang ilegal baik di dalam maupun luar konsesi, tapi Reza dan rekan-rekannya bersikukuh kembali ke lokasi setiap kali musim razia mereda.

Mereka begitu bergantung pada pertambangan karena ada jaminan uang cair setiap hari meskipun untung bersihnya hanya 50-100 ribu rupiah. Plus, profesi ini relatif tidak menuntut banyak modal. Jika pun tak ada uang, masyarakat bisa menjual tenaganya kepada penambang lain.

Usaha paling menggiurkan selanjutnya–membuka kebun sawit–butuh modal besar. Masyarakat juga perlu menunggu sekitar lima tahun sampai tandan pertama dapat dipanen. Di Desa Telak, masyarakat menambang timah sembari menunggu buah-buah sawit memerah matang.

Lada, mantan primadona Pulau Bangka pun sudah tidak lagi menarik hati warga. Harganya merosot drastis, rugi hampir jadi niscaya. Risikonya juga kepalang tinggi karena penyakit sangat mudah menjangkit rempah yang dahulu jadi andalan Hindia Belanda itu.

Untuk meredam dampak buruk tambang tanpa mematikan lapangan pekerjaan, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bangka Belitung mengarahkan masyarakat untuk mendapatkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).

Hal ini dijelaskan oleh Kepala Dinas ESDM Provinsi Bangka Belitung Amir Syahbana. Dengan memegang IPR, legalitas praktik penambangan rakyat, terjamin. Ini dengan catatan, masyarakat wajib melakukan praktik penambangan yang baik, termasuk dalam aspek keselamatan kerja dan pemulihan lingkungan.

Komitmen terhadap dua aspek tersebut berpotensi mujarab menurunkan jumlah konflik buaya di wilayah pertambangan. Skema kemitraan perusahaan maupun IPR menjamin keduanya.

Namun, jika skema kemitraan dan IPR tak mampu menjamin pendapatan seperti yang masyarakat terima lewat jalur belakang, praktik pertambangan ilegal dan segala dampak buruk turunannya bagi lingkungan akan tetap berjaya.

Jalur konservasi yang benar

Jangan salah, tantangan tidak hanya muncul dari aspek pengaturan tambang rakyat saja. Buaya muara–layaknya manusia–ternyata spesies yang keras kepala juga.

Brandon Sideleau paham betul betapa keras kepala objek penelitiannya itu. Dia adalah peneliti buaya asal California, AS yang menginisiasi program CrocBITE, gudang data konflik buaya seluruh dunia.

Dari Wetar, Timor, sampai Papua, Brandon mengamati satu tabiat yang sama di seluruh buaya muara: sejauh apa pun dipindahkan, mereka akan kembali ke teritori asalnya.

“Buaya memiliki insting kembali ke habitat mereka seperti merpati, dan mereka akan menjelajah ratusan kilometer untuk kembali ke tempat mereka ditangkap,” jelas Brandon.

Brandon menegaskan, pelepasliaran bukanlah solusi efektif bagi mitigasi konflik. Yang penting justru adalah melakukan konservasi in-situ–habitat asli–dengan membuat kawasan yang dikhususkan untuk habitat buaya.

Menengok citra satelit, Brandon melihat potensi habitat di sekitar Sungai Baturusa, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka atau di sekitar Bendungan Pice, Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur.

Pengamatan tersebut kebetulan sejurus dengan rencana yang sempat Pemprov Bangka Belitung usulkan pada 2021, yaitu pemanfaatan lahan eks-tambang untuk kawasan konservasi buaya seluas 157 hektare di Desa Air Anyir, Kecamatan Merawang. Lokasi ini bertetangga dengan Air Jangkang, tempat PPS Alobi berada.

Sayangnya, kabar tentang pendirian kawasan ini tak jelas wujudnya. Pihak DLHK mengatakan rencana ada di tangan PT Timah, sementara pihak PT Timah tak tahu apa-apa tentang keberadaan rencana tersebut. Pihak Alobi, yang konon berencana digandeng, pun merasa tak pernah ada yang mengajak.

Terlepas dari kelanjutan rencana tersebut, Brandon menyambut inisiasi pemerintah provinsi untuk menjaga kelestarian habitat buaya.

“Kita tidak ingin Bangka dan Belitung menjadi seperti Jawa dan Bali, di mana buaya pernah ada tapi saat ini sebagian besar punah (kecuali populasi kecil di Banten),” tulis anggota grup spesialis buaya di International Union for Conservation of Nature (IUCN) itu dalam surel kepada tim Garda Animalia.

Namun, setelah panjang berbincang tentang konflik dan konservasi, pertanyaannya: memang ada yang tahu jumlah populasi buaya di Bangka?

Pertanyaan ini diajukan oleh Direktur Sekretariat Kewenangan Ilmiah Keanekaragaman Hayati Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Amir Hamidy.

“Artinya, yang naik itu populasinya atau intensitas [kegiatan] manusianya ke air? Kan itu yang harus kita jawab,” tegas Amir.

Di satu sisi, telah diketahui bahwa ada peningkatan aktivitas manusia di muara dengan merebaknya pertambangan rakyat, tetapi belum ada temuan komprehensif tentang populasi buaya itu sendiri.

Menurut Amir, tanpa survei populasi buaya terbaru, gerak konservasi berpotensi masuk ke trayek yang keliru.

“Buaya ini di dalam koridor internasional, status keterancamannya masih least concern. Kalau masih least concern, dia belum jadi pertimbangan di dalam konteks konservasi,” kata Amir.

Status tersebut diberikan oleh IUCN sejak 1996 dan belum berubah sampai hari ini. IUCN adalah organisasi internasional yang memberikan status keterancaman spesies satwa di seluruh dunia terhadap kepunahan.

Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) juga telah mengubah status perdagangan buaya muara asal Indonesia dari Appendiks I menjadi Appendiks II. Berarti, buaya muara asal Indonesia boleh dikomersialisasikan secara terbatas.

Apakah Provinsi Bangka Belitung dapat membuat penangkaran komersial untuk menangani jumlah buaya yang sudah membludak? Apakah jangan-jangan selama ini buaya muara tidak perlu lagi mendapatkan status dilindungi dari negara?

Saat ini belum ada yang bisa menjawab iya. Namun, tanpa pembaruan data populasi, tidak ada juga yang bisa menjawab tidak. Data yang ada sudah kelewat kuno untuk menjadi pijakan argumen.

Survei tak sekadar dilakukan kepada buaya karena konflik juga melibatkan manusia. Menurut Amir, survei terhadap masyarakat juga penting.

Sebagai contoh, di Parittiga, akses air yang sulit yang memaksa warga mengandalkan kulong. Di Puding Besar, warga diterkam di sungai yang menjadi sumber pengairan sawit. Di Simpang Rimba, serangan terjadi kepada nelayan yang jadi profesi andalan masyarakat.

Bahkan, ketika konflik punya ikatan erat dengan tambang, polanya pun berbagai rupa: ada yang di kulong, di sungai kawasan hutan lindung, bahkan di pantai.

Akarnya berbeda, tapi semuanya menimbulkan isu yang sama, konflik buaya.

Mengembalikan muara

Masalah ekonomi penambang ilegal, habitat yang terusik, tabiat buaya yang keras kepala, sampai absennya kebaruan data populasi–jawaban atas percabangan kompleks masalah ini ternyata bermuara pada kehadiran dua badan: PT Timah dan pemerintah daerah.

Sebagai perusahaan terdepan dalam praktik tambang timah yang baik (good mining practices), PT Timah punya posisi penting–dan genting–dalam merangkul penambang rakyat dalam skema kemitraan yang tidak hanya menjamin keselamatan kerja dan pemulihan lingkungan, tetapi juga menguntungkan bagi rakyat ketimbang penjualan melalui koridor ilegal.

Di samping itu, seperti yang dikatakan Anggi Siahaan, PT Timah barangkali satu-satunya BUMN di Indonesia yang berkontribusi terhadap kelangsungan fasilitas PPS. Namun, konservasi buaya di PPS Alobi sudah berada di titik kritis, sementara buaya dari penjuru Bangka masih tetap dikirim berbondong-bondong.

Jika kandang tak mampu lagi menerima penghuni baru dan pelepasliaran tak bisa jadi solusi, maka PT Timah dapat mendorong kontribusinya satu langkah lebih jauh lagi dengan memfasilitasikan lahan dari konsesi eks-tambang mereka untuk kawasan konservasi buaya in-situ.

Banyak buaya telah menganggap kulong peninggalan perusahaan–tak terkecuali milik PT Timah–sebagai habitat. Maka, mengapa tidak sekalian menjadikannya habitat buaya? Hal ini sesuai dengan yang Amir Hamidy katakan, “konflik bukan cuma karena kita merusak habitat, tapi karena kita juga membuat habitat baru.”

Yang terpenting, Amir mengingatkan, syarat pertama dan utama dari kawasan konservasi buaya: tak ada manusia!

Ini sejurus dengan mandat bagi Pemerintah Provinsi Bangka Belitung yang sudah sempat ambisius menggagas kawasan konservasi buaya di atas lahan eks-tambang di Kecamatan Merawang. Sayang, kabarnya saat ini justru mengawang.

Langka Sani, pendiri Alobi menegaskan, “Pemda harus menentukan suatu zona yang memang untuk [habitat] buaya.”

Berbagai pihak seperti Langka dan Brandon menekankan, tak ada waktu yang lebih tepat lagi untuk menggarangkan kembali rencana kawasan konservasi tersebut selain hari ini.

Di samping itu, pemerintah daerah perlu menginisiasi survei, baik untuk populasi buaya maupun perspektif masyarakat.

Amir mengakui, BRIN tidak dalam kapasitas untuk melakukannya sendirian. Survei dapat efektif jika publik terlibat secara dominan di dalamnya. Ditambah lagi, konflik buaya punya ciri khas masing-masing di setiap kecamatan, bahkan desa. Untuk menggerakkan masyarakat setempat, pemerintah daerah butuh hadir dengan utuh.

Titik-titik panas prioritas survei telah Garda Animalia tunjukkan pada peta di artikel ini.

Namun, berapa pun populasinya, sejanggal apa pun bentuk konfliknya, puaka tetap rajanya sungai dan rawa. Mereka secara alami memangsa ikan, bangau, hingga kera. Bagi Langka, itu adalah kodrat mereka–menjalankan fungsi sebagai predator puncak di ekosistem muara.

“Kalau mereka di kandang, mereka tidak menguntungkan lagi untuk ekosistem,” tegas Langka.

Pada akhirnya, seperti yang diakui semua pihak–dari pegiat konservasi sampai penambang liar: yang bisa diatur hanya manusia, buaya tidak. Maka, sisakanlah sebagian muara, kembalikan ruang hidup milik buaya.

Hormatilah takhta sang raja.

Liputan ini dukungan oleh Internews’ Earth Journalism Network melalui program hibah liputan untuk negara-negara kepulauan dan pertama kali terbit di Garda Animalia pada tanggal 18 Oktober 2023.
About the writer

Bayu Nanda

Bayu Nanda is a journalist based in West Java, Indonesia. She joined Garda Animalia–an organization focused on wildlife issues--while she was in college. At Garda Animalia, she started writing about...

Finlan Aldan

Finlan Aldan is a freelance journalist who focuses on the intersection (and conflict) between nature and humans. Among the stories he has written in the past are the encroachment of oil palm plantations...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.