Sudah tiga bulan, Yaman dan rekan-rekannya tak melaut. Para nelayan Pantai Matras, Desa Sinar Baru, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung ini memilih menyandarkan perahu mereka di tepi pantai. Cuaca buruk dan berkurangnya tangkapan ikan beberapa bulan terakhir memaksa para nelayan berhenti berlayar.

“Mau bagaimana lagi? Ikannya enggak ada, cuaca juga buruk,” ungkap Yaman, ditemui akhir September lalu di kawasan Pantai Matras.

Siang itu, Yaman dan sejumlah rekannya berkumpul di sebuah pondok di tepi pantai. “Kalau pas enggak melaut biasanya kerja di kebun atau buruh bangunan,” tutur lelaki berusia 45 tahun itu.

Yaman dan sejumlah rekannya di Pantai Matras adalah segelintir nelayan di perairan Bangka yang masih bertahan memilih menjadi nelayan di tengah gempuran tambang timah yang mulai merambah pesisir pantai. Sebagian besar rekan-rekan mereka yang dahulu bekerja sebagai nelayan kini sudah beralih pekerjaan menjadi penambang timah atau buruh kasar penambangan.

Kebanyakan mereka menambang timah di perairan Pantai Matras menggunakan kapal Ponton Isap Produksi (PIP). Lokasi penambangan itu berjarak tak sampai dua kilometer dari bibir Pantai Matras.

“Dulu Pantai Matras ini sangat terkenal dan ramai. Penyanyi Arafiq [penyanyi dangdut era 1980-an dan 1990-an] pernah manggung di sini. Sekarang di sini lebih banyak tambang,” ungkap Yaman, mengenang kejayaan Pantai Matras era 1990-an.

Penambangan timah di pesisir pantai itu mulai beroperasi sejak 2000-an dan semakin masif pada medio 2019-2020. Di kawasan Pantai Matras saja, puluhan hingga ratusan PIP bertebaran di laut, mengeruk pasir mengandung material timah. Jumlah tersebut belum termasuk Kapal Isap Produksi (KIP) dengan skala produksi lebih besar dari PIP, berjumlah sekitar 17-an unit.

Lumpur dari pengerukan pasir di laut itu mengalir ke wilayah tangkapan nelayan yang biasanya menjadi tempat berkumpul ikan. Yaman menyebut, sejak marak penambangan timah itu, tangkapan ikan menurun drastis karena daerah tangkapan ikan tercemar lumpur tambang.

Ia menyebut sebelum 2020, dalam semalam nelayan bisa memanen puluhan hingga 100 kilogram ikan atau cumi. Namun kini, untuk mendapatkan dua hingga tiga kilogram cumi saja sudah sulit.

“Dulu semalam bisa dapat 100 kilogram, kalikan saja Rp75.000 per kilogram. Sekarang ikan sudah enggak ada, gelombang tinggi, [daerah tangkapan ikan] terkena lumpur,” tutur dia.

Jumlah perahu nelayan penangkap ikan pun menurun drastis. Sebelum 2020, tercatat ada sekitar 70-an perahu nelayan di Pantai Matras, kini jumlahnya menyusut tinggal 20-an perahu.

Nelayan Pantai Matras sejatinya tak tinggal diam. Berkali-kali mereka berunjuk rasa ke kantor pemerintah di Bangka Belitung agar memperhatikan nasib mereka sebagai nelayan. Namun penambangan di laut tetap tak berkurang, justru semakin merajalela.

“Kami yang demo soal tambang bahkan ada yang ditangkap, ditahan tiga bulan, dituduh teroris. Itu Brimob yang bilang teroris,” tutur Taufik, nelayan lainnya.

Pemerintah sejatinya sudah menerbitkan Perda yang membagi zona tambang, zona pariwisata dan zona tangkapan ikan di perairan Bangka. Namun, kebijakan itu sulit diterapkan di wilayah perairan, karena lumpur atau limbah tambang timah tetap mengalir ke zona tangkapan ikan dan menghilangkan mata pencaharian nelayan.

Nelayan, kata Taufik, tak mampu bila harus melaut jauh ke lapas pantai hingga lebih dari satu mil laut atau di wilayah yang jauh dari zona produksi timah. Semakin jauh melaut, semakin besar pula biaya bahan bakar minyak (BBM) untuk operasional melaut. Belum lagi risiko keselamatan nelayan, karena perahu yang mereka miliki bukan kapal besar.

Tak mudah alih profesi

Konflik perebutan ruang hidup antara tambang timah dan nelayan tersebut bahkan memecah ikatan sosial warga pesisir di Bangka. “Sejak tambang masuk, sesama saudara, tetangga banyak yang tidak akur. Ada yang pro tambang, ada yang kontra,” ungkap Yaman.

Yaman, Taufik, dan segelintir rekannya sesama nelayan memilih untuk tetap memepertahankan pekerjaan mereka sebagai nelayan. Bagi Yaman, beralih profesi menjadi penambang atau profesi lainnya bukan semudah membalik telapak tangan. Keputusan memilih menjadi penambang butuh modal besar untuk membeli alat produksi seperti PIP dan mesin penyedot timah.

“Kalau mau kerja lain, mau kerja apa. Kami ini tidak sekolah,” kata dia.

Bagi Taufik, menjadi nelayan tak semata perkara ekonomi. Nelayan memang bukan sektor ekonomi primadona di Bangka bila dibandingkan dengan tambang timah. Namun menjadi nelayan bagianya adalah tradisi yang sudah melekat sejak ia lahir. Tak hanya ikatan emosional dan sejarah, menjadi nelayan bagi Taufik dan rekan-rekannya juga ikut merawat kelestarian pesisir dari kerusakan lingkungan.

“Jadi nelayan ini dari hati nurani kami. Kami lahir dari orang tua nelayan. Selain itu, kami enggak nyampai [tidak mampu] untuk jadi penambang timah,” ungkap Taufik.

Taufik kini tak berharap banyak dari pemerintah. Segala upaya menolak tambang yang mereka lakukan tak bisa menggugah keputusan pemerintah memprioritaskan tambang timah dari pada sektor perikanan. “Enggak ada harapan lagi, sudah ikhlas [dengan kondisi saat ini], mau ke mana lagi kita [berjuang],” ungkap pria 36 tahun itu.

Logika kebijakan

Praktik pembangunan daerah di sektor pertambangan timah di wilayah pesisir dinilai menerapkan logika pembangunan yang keliru. Pemerintah daerah sudah membuat regulasi yang mengatur zona pariwisata, pertambangan, dan perikanan di pesisir Bangka. Namun pembagian zona tersebut dinilai hanya cocok diterapkan di darat bukan lautan, lantaran lumpur atau limbah tambang timah mengalir ke wilayah perikanan dan pariwisata alias tak mengenal pembatasan zona.

“Logika darat dipakai di laut. Di darat bisa dengan mudah memitigasi dampak dari zona tambang. Tapi kita gunakan batas itu di laut, itukan enggak bisa,” kata dosen Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Alfath Bagus Panuntun.

Sejatinya, kata dia, ada celah bagi pemerintah memberi ruang sektor pertambangan namun di sisi lain tidak menyingkirkan nelayan. Pemerintah bisa menempatkan lokasi penambangan jauh di lepas pantai yang tidak terjangkau nelayan.

Jadi nelayan ini dari hati nurani kami … Selain itu, kami ngga nyampai untuk jadi penambang timah

Taufik, Nelayan Pantai Matras

Namun dilemanya, hal tersebut butuh biaya dan infrastruktur pertambangan yang besar. Pengalaman era 1990-an, penambangan timah menggunakan kapal keruk di lepas pantai justru tak mengganggu wilayah perikanan nelayan alias lebih ramah lingkungan.

“Masalahnya kan pengelolaan timah ini faktanya banyak yang bocor. Kalau misalnya itu bisa diatasi, itu bisa menutupi tadi [biaya yang tinggi]. Bagaimana tambang digeser ke tempat-tempat yang enggak berdampak ke nelayan,” kata Alfath.

“Kapal keruk potensi kerugian [dampak lingkungan] lebih sedikit, masuknya jauh ke tengah laut. Itu bisa jadi alternatif. Bagi saya terpenting pengaturan. Orang diatur dikelola, zona wisata tetap, tambang zonanya dibuat agak jauh.”

Kebijakan penting lainnya menurut Alfath adalah pembangunan yang partisipatif. Apa yang terjadi dengan sebagian nelayan di Bangka adalah bentuk alienasi dan pembangunan oleh negara yang tidak partisipatif, lantaran kebijakan tambang dibuat dengan mengabaikan suara-suara masyarakat rentan.

“Orang-orang yang terlibat di pembangunan [penambangan timah] semakin besar kapitalnya, sementara orang-orang yang tersingkir semakin jauh [dari pembangunan]. Ini tidak hanya terjadi di Bangka saja, tapi juga di Rempang, di Lumajang kasus Salim Kancil,” katanya.

Sejatinya, kata dia, negara hadir memberi keadilan bagi kelompok marjinal atau kelompok rentan seperti nelayan pesisir yang rawan terdampak praktik penambangan. Negara wajib memproteksi kelompok rentan karena menurutnya perwujudan negara hadir di tengah masyarakat adalah dalam bentuk kebijakan yang memproteksi hajat hidup mereka.

“Kita sudah sering melihat kebijakan tapi bukan kebajikan. Kita sudah sering bertemu dengan manusia tapi bukan kemausiaan. Yang kita ingin hadirkan dan lihat wajah negara adalah kebijakan yang menghasilkan kebajikan. Dan yang kita inginkan adalah manusia yang penuh empati sehingga muncul kemanusiaan. Dalam kasus Indonesia itu enggak muncul,” tegasnya.

Selain itu, Alfath menambahkan, penting bagi pemerintah daerah di Bangka memikirkan diferensiasi atau keragaman ekonomi di wilayah ini sebelum sumber daya timah habis. Padahal menurutnya Bangka punya potensi keragaman ekonomi selain timah. Misalnya sektor perikanan dengan hasil laut berupa ikan, cumi dan udang.

“Apa iya, PAD [Pendapatan Asli Daerah] satu-satunya hanya mengandalkan timah saja. Dalam berbagai kajian yg saya tekuni misalnya kajian World Bank, negara yang hanya mengandalkan industri ekstraktif, ketika industri ekstraktif habis ia akan kehilangan kemampuan [ekonomi],” kata Alfath dia.

“Untuk mendiferensiasi ekonomi ini kan butuh waktu dan infrastruktur juga. Semuanya perlu disiapkan. Bukan model sekarang pembangunan yang enggak sporadis dan tidak terukur dan semua dilakukan atas nama kepentingan dan uang,” tegasnya.


Reportase ini merupakan bagian dari kegiatan fieldtrip mahasiswa program magister Departemen Politik dan Pemerintahan UGM bekerja sama dengan Norwegian University of Science and Technology (NTNU).


Baca juga:

About the writer

Bhekti Suryani

Bhekti Suryani has been working as a journalist/editor for Harian Jogja newspaper and Harianjogja.com since 2010. She has concerns with political and environmental issues, as also data journalism. Bhekti...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.