Posted inArtikel / COP28

COP28: Indonesia butuh Rp 15.439T untuk transisi energi

Presiden Jokowi menyatakan Indonesia membutuhkan 1 triliun dollar AS untuk menjalankan transisi energi guna mencapai ”net zero emission” pada 2060.

Negara berkembang seperti Indonesia masih memerlukan pendanaan besar untuk meningkatkan transisi energi sebagai upaya mengatasi krisis iklim. Namun, komitmen pendanaan tanpa realisasi tidak akan cukup. Indonesia secara internal juga perlu menyiapkan kebijakan politiknya.

Presiden Joko Widodo, dalam pidato pembukaan agenda World Climate Action Summit (WCAS) di Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-28 (COP28) di Dubai, menyampaikan kebutuhan pendanaan transisi energi guna menyerap seluruh karbon yang dihasilkan aktivitas manusia ke atmosfer pada 37 tahun mendatang.

”Indonesia butuh investasi lebih dari 1 triliun dollar AS untuk net zero emission di 2060,” kata Presiden pada Jumat (1/12/2023) sore waktu Dubai, Uni Emirat Arab.

Dalam transisi energi, Presiden melanjutkan, Indonesia telah mempercepat transisi ke energi baru dan terbarukan, terutama energi surya, angin, air, panas bumi, dan arus laut. Indonesia juga mempercepat pengembangan biodiesel, bioetanol, dan bioavtur.

Baca juga: Presiden Jokowi bahas deforestasi dengan PM Norwegia

Di hadapan tuan rumah acara Uni Emirat Arab, Presiden juga menceritakan hasil kerja sama kedua negara berupa Cirata Floating Solar Power Plant yang baru diresmikan beberapa waktu lalu. Sumber listrik dari surya yang dapat menghasilkan 192 megawatt listrik itu disebut menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.

Indonesia juga mengambil pendekatan transisi lewat pengurangan produksi dan konsumsi batubara, sambil mengatasi konsekuensi sosial yang akan ditimbulkan akibat hilangnya sumber ekonomi dari energi fosil penyebab krisis iklim.

Indonesia melakukannya lewat mekanisme pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) bersama negara berkembang lain, seperti Afrika Selatan, Vietnam, dan Senegal. JETP diluncurkan pertama kali di COP26 di Glasgow.

Mekanisme pendanaan dari negara-negara maju itu menetapkan komitmen 21,5 miliar dollar AS atau Rp 333,8 triliun (dengan kurs Rp 15.527 per dollar AS). Sejak Indonesia mengambil pilihan ini, baru didapatkan sekitar 7 miliar juta dollar AS.

Target Perjanjian Paris dan net zero emission hanya bisa dicapai jika kita bisa menuntaskan masalah pendanaan transisi energi. Dari situlah masalah dunia bisa diselesaikan.

Joko ‘Jokowi’ Widodo

Dana yang didapat itu sebagian besar berupa pinjaman dengan persyaratan lunak daripada hibah (Kompas.id, 2/12/2023).

Dalam pidato kurang dari 10 menit, Presiden mengharapkan bank-bank pembangunan dunia bisa meningkatkan kapasitas pendanaan transisi energi dengan bunga rendah. Selain itu, ia juga mengundang kolaborasi dari mitra bilateral, investasi swasta, filantrop, dan negara-negara sahabat.

”Target Perjanjian Paris dan net zero emission hanya bisa dicapai jika kita bisa menuntaskan masalah pendanaan transisi energi. Dari situlah masalah dunia bisa diselesaikan,” ucapnya.

Bank Dunia, kemarin, mengumumkan komitmen terhadap pendanaan krisis iklim di negara-negara berkembang sebesar 40 miliar dollar AS dengan melepaskan 45 persen pendanaan tahunannya mulai 1 Juli 2024 hingga 30 Juni 2025. Komitmen ini meningkat sekitar 9 miliar dollar AS dari hanya 35 persen dari target sebelumnya.

Presiden Bank Dunia Ajay Banga mengatakan dalam sesi di COP28, pendanaan itu digunakan 50 persen untuk mitigasi dan 50 persen lainnya untuk adaptasi bagi mereka yang paling terkena dampak perubahan iklim. Proyek-proyek Grup Bank Dunia juga akan berfokus untuk menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati guna melindungi kesehatan manusia dan Bumi.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, kepada Kompas, mengatakan, Perjanjian Paris yang disepakati di COP21 pada 2015 mengamanatkan agar pendanaan krisis iklim disediakan terlebih oleh negara-negara maju.

Berdasarkan banyak kajian ilmiah, negara maju bertanggung jawab atas perubahan iklim karena telah lebih dulu mengeksploitasi sumber daya alam yang memicu krisis iklim.

Masalahnya kan, political will. Coba benahi subsidi BBM dan LPG. Kalau kita mengurangi sebagai aksi mitigasi konsumsi BBM-nya akan lebih rasional karena enggak disubsidi lagi.

Fabby Tumiwa, DIrektur Eksekutif, IESR

Negara-negara maju yang terdepan dengan industri energi terbarukan juga perlu mempercepat target net zero emission mereka daripada negara-negara berkembang. Apalagi menurut studi International Energy Agency (IEA), puncak emisi dari industri energi di negara maju akan tiba pada 2030.

Net zero emission mereka harus di tahun 2040, kalau 2050 terlalu lama. Kalau kita baca laporan IPCC, ini supaya memberikan ruang kepada negara-negara berkembang, yang ekonominya belum terdiversifikasi, masih bisa menggunakan energi fosilnya, untuk membangun, mengentaskan kemiskinan, sembari melakukan diversifikasi ekonomi,” tutur Fabby.

Baca juga: COP28: Dunia sepakati akselerasi aksi iklim bersama

Dalam hal ini, Fabby melanjutkan, Indonesia bisa menjadi pemimpin dalam menagih tanggung jawab pendanaan dari negara-negara maju. ”Saya kira Indonesia harus mengambil leadership itu (di COP28),” katanya.

Sementara itu, Indonesia juga harus membenahi komitmen di dalam negeri terkait transisi energi. Misalnya, pemerintah tidak kunjung membenahi subsidi energi yang saat ini masih memberlakukan harga murah dan tidak tepat sasaran. ”Kita, kan, masih memberi subsidi energi fosil subsidi BBM. Itu yang bikin BBM murah terus,” ujarnya.

Indonesia juga dinilai masih berat membenahi pendanaan dalam negeri untuk memperbanyak implementasi energi baru dan terbarukan. Sebagai contoh, pembenahan subsidi yang membuat masyarakat sulit lepas dari energi fosil.

”Masalahnya kan, political will. Coba benahi subsidi BBM dan LPG. Kalau kita mengurangi sebagai aksi mitigasi konsumsi BBM-nya akan lebih rasional karena enggak disubsidi lagi. Jadi, bukan malah menambah, seperti salah satu calon presiden yang bilang bahwa BBM nanti akan diberi gratis,” celetuknya.


Liputan ini diproduksi sebagai bagian dari Climate Change Media Partnership 2023, sebuah beasiswa jurnalisme yang diselenggarakan oleh Earth Journalism Network Internews dan Stanley Center for Peace and Security. Liputan in pertama kali terbit di Kompas pada tanggal 2 Desember 2023.

About the writer

Erika Kurnia is a dynamic journalist based in Jakarta, with more than five years of experience in online and daily newspaper media. She is experienced in writing about health, economic and metropolitan...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.