Dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan tampak semakin nyata di penghujung tahun ini. Hujan yang biasa turun di akhir tahun tak juga mengguyur, sehingga para petani terpaksa menghentikan aktivitas mereka di sawah.
Setidaknya, itulah yang terjadi di Kabupaten Pringsewu, salah satu sentra produksi pangan besar di Provinsi Lampung.
Para petani di wilayah tersebut tampak penuh harapan membajak sawah mereka di awal Desember, ketika hujan mulai turun dengan intensitas lumayan. Akan tetapi, memasuki pekan berikutnya dan hingga menjelang akhir tahun 2023 ini, tak setetes pun air jatuh dari langit.
Tanah yang mulai dibajak pun tak bisa dijadikan tempat bersemayam padi. Debit air yang mengaliri persawahan menurun, sehingga area tersebut tampak semakin mengering.
“Boro-boro mau tandur mbak, air di sumur rumah-rumah kami juga masih kering,” keluh Mira (41), petani warga Desa Wonokriyo Kidul, Pringsewu.
Karti, buruh pertanian, menambahkan bahwa biasanya di bulan Desember curah hujan cukup besar sehingga petani bisa menanam, lantas menikmati hasil panen pada awal-awal pergantian tahun.
“Bulan-bulan ini biasanya sudah tandurlah, tapi kok hujannya belum datang lagi,” kata dia.
Nurul (35) warga Wonodadi, desa lain di Pringsewu, mengatakan bahwa panen pada tahun ini bisa dibilang buruk. Pada awal-awal tahun 2023 petani masih bisa menikmati hasil panen mereka meskipun, menurutnya, tidak sebaik tahun sebelumnya.
“Tahun ini, meskipun ada kegiatan dua kali tanam, tetapi pada panen kedua tidak semua petani berhasil karena anomali cuaca,” ujar dia.
Anomali cuaca
Ancaman anomali cuaca, yang diakibatkan perubahan iklim, terhadap ketahanan pangan bukan isapan jempol belaka.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, an Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati telah memperingatkan kemungkinan terjadinya krisis pangan akibat krisis iklim.
“Jika ketahanan pangan negara-negara di dunia lemah, maka akan terjadi bencana kelaparan akibat jumlah produksi pangan yang terus menurun sebagai dampak dari perubahan iklim,” kata Dwikorita.
jika situasi iklim global dan proses mitigasinya tidak direspons secara serius, maka Indonesia bisa terlambat untuk mengantisipasi bencana kelaparan yang diperkirakan Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) berpeluang besar terjadi saat populasi mencapai 9,3 miliar manusia pada tahun 2050.
Namun Dwikorita mengakui bahwa saat ini ancaman tersebut belum terlalu terlihat nyata di Indonesia karena ketersediaan sumber daya alam masih cukup melimpah dan kondisi geografis Indonesia yang memungkinkan produksi pertanian tetap berjalan sepanjang tahun.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Pringsewu seperti mendukung pernyataan Kepala BMKG tersebut. Walau situasi di lapangan memperlihatkan mayoritas petani tampak kesulitan, data BPS Pringsewu justru menunjukkan produksi padi di kabupaten itu mengalami peningkatan 1,51% — dari 2,69 juta ton pada 2022 menjadi 2,73 ton tahun ini.
Luas lahan padi yang dipanen pun naik 2,8% dari 518,26 ribu hektare (ha) tahun lalu menjadi 532,77 ribu ha pada 2023.
Dwiyanto, Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Holtikultura Dinas Pertanian Kabupaten Pringsewu, menyebutkan ada peningkatan produktivitas pertanian rata-rata 5,5-5,8 persen per ha atau setara dengan 0,2 ton per ha.
Oleh karena itu, menurut Dwiyanto, ketersediaan pangan padi di tingkat masyarakat masih dikategorikan aman sampai menjelang musim panen raya berikutnya.
“Kalau prinsip masyarakat Pringsewu ini, yang penting punya gabah. Soal bagaimana mencukupi kebutuhan lainnya, bisa dicari lewat kegiatan lainnya,” kata dia pada awal Desember.
Saat itu Dwiyanto menyatakan curah hujan bulan Desember akan cukup baik dan menganjurkan para petani segera menebar benih.
Akan tetapi pola cuaca di akhir tahun ini kemudian berubah. Kemarau jadi berkepanjangan sehingga mengancam ketersediaan beras, makanan pokok mayoritas orang Indonesia.
Ketersediaan sayur-mayur dan bumbu, seperti cabai dan bawang, juga terancam. Stok menipis mengakibatkan harga cabai dan bawang terbilang mahal sepanjang dua bulan terakhir.
Cabai merah keriting berkisar antara Rp65.000/kilogram. Cabai merah caplak seharga Rp80.000/kilogram. Setelah sebelumnya sempat tembus diharga Rp100 ribu/kilogram.
Bagaimana mungkin kita akan berbicara tentang makanan yang sehat dan bergizi, saat isi piring makan kita tanpa lauk saja terbilang cukup mahal?
Data pemerintah dipertanyakan
Akademisi dari Universitas Lampung dalam bidang Klimatologi Pertanian, Rita Manik, mempertanyakan data yang dirilis pemerintah.
“Iklim kita sekarang sedang terganggu dengan adanya El Nino berkepanjangan. Ini pasti berdampak kacau terhadap produktivitas pertanian,” kata Rita Manik. “Ketahanan pangan di negeri ini, tidak mungkin aman-aman saja.”
Menurutnya, mungkin sampai saat ini distribusi pangan memang masih terus berlangsung. Akan tetapi, lanjut Rita, bagaimana dengan mutu pangan tersebut dan harganya yang terus naik.
Iklim yang tak menentu ini berdampak pada kerugian besar bagi dunia pertanian.
“Kalau hasil pertanian terus anjlok, petani yang dirugikan. Karena mereka tidak mampu melakukan tanam untuk berikutnya,” katanya lagi.
Oleh karena itu Rita berharap pemerintah bisa lebih mengedepankandan memerhatikan isu perubahan iklim, apapun rencana pembangunan yang mereka rancang. Selain itu, ada upaya mitigasi agar suhu dunia tidak naik lebih dari 1,5°C sampai tahun 2030 mendatang.
Petani juga dibantu untuk lebih cepat beradaptasi, lebih sensitif terhadap perubahan kondisi iklim, sehingga kerugian besar bisa dihindari.
Persoalan dampak perubahan iklim ini, harus terus didengungkan agar menjadi permasalahan yang diselesaikan bersama dan pemerintah harus mengambil langkah tepat dalam setiap kebijakannya.