Aksi damai pelaut migran Indonesia di Istana Kepresidenan. SBMI-Greenpeace dorong perlindungan pelaut migran Indonesia sesuai UUD 1945.

Serikat Pekerja Migran Indonesia (SBMI) bersama Greenpeace Indonesia menuntut perlindungan bagi pelaut migran. (Adhi Wicaksono/Greenpeace)

Serikat Pekerja Migran Indonesia (SBMI) bersama Greenpeace Indonesia melakukan aksi damai di depan Istana Kepresidenan Jakarta, beberapa waktu lalu. Massa aksi mendorong presiden segera mengesahkan rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Migran Nelayan Indonesia.

Berdasarkan Kertas Laporan Investigasi SBMI-Greenpeace mengenai data selama 2015-2020, setidaknya ada 11 anak buah kapal WNI yang menjadi korban kerja paksa bahkan meninggal di kapal asing. Tak jarang jenazah mereka dibuang ke laut lepas.

Sejalan dengan aksi itu, pelaut migran adalah pekerja migran dan hal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945, demikian argumentasi Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI) sebagai “Pihak Terkait” dalam uji materi atau judicial review (JR) di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor perkara 127/PUU-XXI/2023.

TAPMI telah menyampaikan keterangannya secara langsung di hadapan Majelis Hakim MK pada persidangan Rabu, 6 Februari 2024 lalu. TAPMI dalam persidangan MK tersebut menegaskan kerangka argumentasinya itu.

Kuasa Hukum TAPMI, Matthew Michele Lenggu mewakili TAPMI dalam penyampaian keterangan sebagai “Pihak Terkait”, sekaligus menegaskan bahwa “Pemohon” tidak memiliki kerugian konstitusional atas keberadaan norma Pasal 4 ayat 1 huruf c UU PPMI No. 18/2017 [4].

TAPMI turut menerangkan bahwa ketentuan pasal terkait justru telah memberikan kedudukan dan kepastian hukum yang jelas bagi awak kapal niaga migran dan awak kapal perikanan migran sebagai pekerja migran Indonesia.

TAPMI selanjutnya menjelaskan ketentuan pasal terkait telah memberikan kejelasan norma dan lingkup pelindungan bagi pelaut migran Indonesia, baik pelaut yang bekerja di kapal niaga ataupun di kapal perikanan berbendera asing di luar negeri, dengan kontrol dan pengawasan menyeluruh dari pemerintah pada proses bisnis perekrutan dan penempatan yang melibatkan pemerintah pusat, perwakilan pemerintah di luar negeri, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, hingga pemerintah desa.

“Kami berpendapat bahwa ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU No. 18/2017 telah sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) dan telah memberikan kepastian dan pelindungan hukum bagi awak kapal niaga migran dan awak kapal perikanan migran sebagai Pekerja Migran Indonesia,” terang Matthew Michele Lenggu, dari keterangan resmi, Kamis, 15 Februari 2024.

TAPMI juga turut meluruskan bahwa dalam hukum internasional, awak kapal niaga dan perikanan migran yang bekerja di kapal ikan berbendera asing di luar negeri juga dikategorikan sebagai pekerja migran.

Para “Pemohon” telah keliru dalam menafsirkan definisi pekerja migran dan pelaut yang diatur dalam Pasal 2 International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families (ICRMW), sebagaimana telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012.

Pekerja migran diartikan oleh Pasal 2 ayat 1 ICRMW sebagai seseorang yang akan, tengah, atau telah melakukan aktifitas yang dibayar di suatu negara di mana ia bukan merupakan warga negara. Selanjutnya, Pasal 2 (c) ICRMW menyebutkan bahwasanya ‘the term “seafarer”, which includes a fisherman, refers to a migrant worker employed on board a vessel registered in a State of which he or she is not a national’.

Atau dalam Bahasa Indonesia adalah “istilah “pelaut” yang mencakup nelayan, mengacu pada seorang pekerja migran yang dipekerjakan di atas kapal yang terdaftar di suatu Negara yang ia bukan merupakan warga negaranya”. Berdasarkan definisi di atas, pelaut, termasuk awak kapal perikanan, jelas dimasukkan sebagai bagian pekerja migran.

Menurut TAPMI, “Pemohon” juga keliru dalam menafsirkan pengecualian Pasal 3 (f) ICRMW, yang menyebutkan bahwa ‘Konvensi ini tidak berlaku bagi: pelaut dan pekerja pada suatu instalasi lepas pantai yang belum memperoleh izin tinggal dan melakukan aktivitas yang dibayar di negara tujuan kerja’.

Artinya, norma-norma pelindungan dalam Konvensi ini jelas berlaku bagi pelaut yang telah memperoleh izin tinggal dan melakukan aktivitas yang dibayar di negara tujuan kerja.

Lebih lanjut, TAPMI juga berpandangan adanya pengecualian pada Pasal 3 (f) ICRMW tersebut tidak mengeluarkan atau menggugurkan pelaut migran sebagai pekerja migran sebagaimana yang telah ditegaskan dan dimaksudkan pada Pasal 2 (c) dari konvensi tersebut. Sangat penting untuk memahami kerangka dan substansi sebuah perundang-undangan termasuk dari suatu konvensi secara komprehensif, bukan parsial.

Dalam petitumnya, TAPMI memohon kepada MK untuk menolak permohonan “Pemohon” yang menginginkan agar Pasal 4 ayat 1 huruf c UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Penolakan tersebut sangat penting untuk membangun landasan normatif konstitusional sekaligus penegasan yang konklusif bahwa norma dari pasal yang disengketakan tersebut hakikinya tidak bertentangan dengan UUD 1945, bahkan turut memberikan kepastian hukum dan pelindungan yang menyeluruh, adil dan tidak diskriminatif bagi seluruh pekerja migran Indonesia, termasuk bagi pelaut niaga migran dan pelaut perikanan migran Indonesia.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.