Paslon presiden 2024 di Indonesia belum memiliki visi misi tentang tata kelola persampahan. AZWI menyarankan agar tata kelola persampahan menjadi prioritas.
Menjelang Pemilihan Presiden 2024, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) memandang bahwa visi misi pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden belum merujuk kepada akar masalah tata kelola persampahan di Indonesia. Pergantian administrasi pemerintahan di tingkat pemerintahan pusat pada tahun 2024 ini merupakan momen strategis yang dapat menentukan seberapa cepat kita memperbaiki tata kelola persampahan di Indonesia.
Berdasarkan visi dan misi paslon, tata kelola persampahan selama ini belum jadi isu arus utama dalam membangun kebijakan pemerintah, dibandingkan isu lingkungan hidup lainnya, seperti isu energi, tata kelola sumber daya alam dan perubahan iklim.
Kebijakan terkait tata kelola persampahan perlu dipahami sebagai isu multisektor, yang berkaitan dengan perubahan iklim, konservasi sumberdaya alam, penggunaan lahan, tata kota, kesehatan masyarakat, pendidikan dan budaya serta berbagai aspek lainnya.
Pendekatan untuk menyelesaikan permasalahan ini harus komprehensif dan tidak terbatas pada pembangunan infrastruktur dan hanya berfokus di hilir saja.
Dampak dari buruknya tata kelola sampah dirasakan oleh semua pihak dan beririsan dengan isu lingkungan hidup lainnya. Misalnya, sampah tercampur yang dibuang ke TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) open dumping menjadi penyebab kebakaran TPA di Indonesia.
Lalu terbatasnya sarana pengangkutan sampah, pencemaran plastik sekali pakai di lingkungan, hingga pencemaran yang diakibatkan oleh solusi-solusi semu seperti Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), Refuse-Derived Fuel (RDF), pirolisis, dan gasifikasi.
Meskipun sudah ada kemajuan tata kelola persampahan di Indonesia melalui penerbitan dan implementasi beberapa peraturan, namun hal ini masih belum mampu untuk mengatasi akar permasalahan dalam tata kelola sampah. Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2023, jumlah sampah terkelola saat ini hanya 66,74%, sisanya masih tidak terkelola sebesar 33,26%.
“Sejak ditetapkannya UU No. 18/2008, pengelolaan sampah perlu dilihat sebagai isu lingkungan, di mana pengelolaan sampah harus mendorong penghematan sumber daya alam, pengurangan emisi karbon dan polusi bahan beracun,” ujar Direktur Eksekutif Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), David Sutasurya, diakses dari laman Aliansi Zero Waste Indonesia, Kamis, 8 Februari 2024.
“Karena itu, perbaikan sistem pengelolaan sampah nasional harus dimulai dengan menetapkannya isu lingkungan sebagai prioritas utama pembangunan. Tentu saja sebuah kebijakan prioritas harus terwujud nyata, misalnya dalam skala prioritas anggaran dan konsistensi penegakan hukum,” lanjut David.
Pengurangan emisi karbon juga berkaitan pada upaya pengurangan timbulan sampah pangan. Namun saat ini, sampah pangan belum menjadi prioritas bagi pemerintah. Padahal, sampah pangan adalah salah satu jenis sampah organik yang menyumbang angka terbesar.
Menurut data SIPSN, sampah makanan yang masuk dalam rantai pangan menempati urutan pertama dengan total 43.3% pada tahun 2023. Hal ini menunjukkan perlu adanya mitigasi dalam bentuk kebijakan dan program pengurangan food loss dan food waste pada rantai produksi, distribusi dan konsumsi.
Direktur Yayasan Gita Pertiwi Surakarta, Titik Eka Sasanti, mengatakan penyebab kebakaran TPA adalah ledakan timbulan gas metana yang dipicu kemarau panjang dan sistem open dumping. Sumber gas metana di TPA, sebagian besar berasal dari timbulan sampah organik, salah satunya sampah pangan.
Data Bappenas (2021) menyatakan bahwa timbulan sampah pangan di Indonesia rata-rata 115 -184 kg/kapita/tahun yang berkontribusi 7,29% emisi GRK Indonesia. Perlu upaya mitigasi dalam bentuk kebijakan dan program pengurangan Food Loss dan Food waste pada rantai produksi, distribusi dan konsumsi.
“Untuk memperpanjang umur TPA, sampah organik juga sebaiknya tidak dikirim ke TPA dan dikelola di dekat sumber atau di kawasan. Dengan demikian pendekatan zero waste akan mendukung pencapaian low carbon development,” papar Titik Eka Sasanti.
Selain mitigasi pengurangan food waste dan food loss, Indonesia seharusnya juga memberhentikan kebijakan pembangunan Waste to Energy (WtE) untuk mendorong pengurangan emisi karbon dan polusi bahan berbahaya beracun karena kebijakan ini merupakan salah satu bentuk solusi semu.
WtE hanya mengalihkan masalah sampah menjadi polusi beracun dan meningkatkan emisi karbon. WtE juga menjadi disinsentif transformasi menuju sistem yang sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu pemilahan dan pengurangan sampah.
“(Tata kelola persampahan) pengelolaan sampah menjadi energi listrik melalui pembangunan PLTSa dan juga penggunaan RDF untuk cofiring di PLTU yang semakin gencar di tahun-tahun terakhir ini adalah pendekatan yang menyesatkan. Dari sisi transisi energi, opsi ini tidak signifikan dalam mengakhiri dominasi batubara. Sedangkan dari sisi pengelolaan kualitas udara, berpotensi meningkatkan dampak buruk terhadap kesehatan lingkungan, dan dari sisi pengelolaan sampahnya sendiri merupakan solusi semu. Jadi harus diakhiri,” ujar Country Director Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak.
Dampak dari pembangunan dan praktek-praktek semu telah dialami masyarakat sekitar lokasi proyek dan terekam dalam berbagai hasil penelitian. Dengan solusi semu, persoalan sampah yang kasat mata menjadi lebih berbahaya bagi kesehatan warga, pemulung, dan lingkungan.
“Konversi sampah padat menjadi bahan bakar menimbulkan bahaya baru karena kimia-kimia berbahaya dan beracun yang digunakan dalam berbagai produk, terlepas ke lingkungan dan tersebar lebih luas. Saat ini, promosi penggunaan teknologi canggih untuk menyelesaikan masalah sampah tidak dibarengi dengan studi kelayakan teknis, kelayakan lingkungan, dan kelayakan finansial,” kata Yuyun Ismawati, Senior Advisor Nexus3 Foundation.
Kehadiran negara memegang peranan krusial dalam implementasi ekonomi sirkular. Lebih dari sekadar strategi untuk meningkatkan efisiensi tata kelola persampahan, ekonomi sirkular menjadi langkah progresif menuju keberlanjutan holistik. Oleh karena itu, esensial bagi seorang calon presiden untuk memiliki pandangan bahwa negara perlu merancang sistem yang tidak hanya menitikberatkan pada tanggung jawab produsen dalam mengurangi sampah, melainkan juga mendorong transisi menuju sistem guna ulang, dibanding mengandalkan daur ulang saja.
“Calon Presiden diharapkan menunjukkan pemahaman bahwa ekonomi sirkular bukan hanya daur ulang saja, karena kalau yang didaur ulang adalah produk sekali pakai, maka akan tetap menimbulkan masalah polusi dan emisi. Kehadiran negara untuk memberikan fasilitas dan sistem guna ulang yang komprehensif, serta pelarangan berbagai jenis plastik sekali pakai secara nasional, harus menjadi prioritas kebijakan bagi pemimpin negara,” jelas Tiza Mafira, Direktur Eksekutif Dietplastik Indonesia.
Penyebab mandeknya peningkatan kinerja pengelolaan sampah adalah buruknya tata kelola pengelolaan sampah pada semua tingkatan pemerintahan. AZWI menilai, pengelolaan sampah ke depan membutuhkan koordinasi lintas lembaga dan kementerian, serta sinergi kebijakan dan peraturan, termasuk kebijakan terkait pemantauan kesehatan dan lingkungan.
“Perbaikan tata kelola sampah yang signifikan, khususnya pada kelembagaan dan anggaran yang berfokus pada upaya pengurangan sampah sejak dari hulu atau produksi, serta kebijakan terkait tanggung jawab produsen dalam pengurangan produksi dan penggunaan kemasan plastik, harus menjadi prioritas dari para calon Presiden dan Wakil Presiden,” ucap Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup the Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
Penting bagi masyarakat Indonesia mendapatkan jaminan tata kelola persampahan
AZWI memandang perbaikan fundamental terhadap tata kelola persampahan yang perlu diusung oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden pada visi, misi, dan program kerjanya dengan berfokus pada:
Menetapkan target dan peta jalan pengurangan produksi dan konsumsi plastik nasional. Roadmap dimulai dengan pengurangan produksi polimer problematik dan sulit didaur ulang seperti PVC (Polyvinyl Chloride), dan substitusi dengan material yang lebih aman;
Membatasi rencana pembangunan industri petrokimia baru dan meninjau kembali kebijakan insentif tax holiday 100% untuk 20 tahun;
Memperketat standar pengendalian pencemaran dan emisi karbon industri petrokimia;
Mengatur desain dan pola produksi barang dan kemasan agar lebih mudah dipilah, didaur ulang, dan digunaulang;
Melarang dan mengontrol penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya dan beracun dalam berbagai produk terutama kemasan pangan;
Menetapkan pengelolaan sampah sebagai layanan dasar melalui perubahan UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta anggaran minimal yang layak untuk pengelolaan sampah di dalam Undang-Undang Pengelolaan Sampah;
Memperkuat kelembagaan pengelolaan sampah dengan:
Meningkatkan rentang kendali sistem penegakan hukum terhadap sumber sampah;
Memperjelas implementasi pembagian kewenangan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota;
Menetapkan target dan regulasi yang lebih ambisius untuk membatasi konsumsi plastik nasional dengan:
Melarang penggunaan plastik sekali pakai dan kemasan-kemasan yang problematik (berukuran kecil dan sulit didaur ulang);
Mempertegas tanggung jawab produsen dalam mengurangi plastik dari tahap produksi,
Mendorong transisi sistem guna ulang, daripada hanya mengandalkan metode daur ulang;
Menghentikan pembangunan dan/atau operasi teknologi penanganan sampah yang termasuk di dalam solusi semu namun tidak terbatas pada insinerator, pirolisis, gasifikasi, RDF;
Pemerintah pusat harus membina pemerintah daerah menyusun peta jalan dan transisi pengelolaan sampah menuju Kota Nir Sampah (Zero Waste Cities);
Warga negara Indonesia perlu memilih pemimpin yang mempunyai visi yang jelas untuk mencapai Indonesia bebas sampah dan terlepas dari racun berbahaya dalam pengelolaannya. Pemilu tidak hanya memilih pemimpin untuk warga negara, tapi juga untuk generasi yang akan datang dan lingkungan serta kualitas hidup yang lebih baik.
Penting bagi masyarakat Indonesia mendapatkan jaminan tata kelola persampahan agar krisis sampah berkurang.