Dampak buruk penambangan pasir laut bagi lingkungan dan perempuan. Zakia, Perempuan Pulau Kodingareng, menyampaikan kerusakan lingkungan dan hak asasi manusia.

Dampak buruk penambangan pasir laut bagi lingkungan dan perempuan. Zakia, Perempuan Pulau Kodingareng, menyampaikan kerusakan lingkungan dan hak asasi manusia.
Ilustrasi. (Walhi)

Penambangan pasir laut berdampak buruk pada lingkungan laut dan pesisir. Zakia, Perempuan Pulau Kodingareng, menjelaskan meskipun aktivitas penambangan pasir laut sudah selesai beroperasi di daerahnya, namun dampaknya masih dirasakan sampai sekarang.

“Ombak yang semakin besar, banjir tiap musim penghujan, hingga air laut masih keruh ketika arus kencang. Ini semua berdampak sama perekonomian keluarga kami karena susah melaut. Akhirnya, banyak dari keluarga nelayan di Pulau Kodingareng keluar meninggalkan pulau untuk mencari penghidupan. Padahal mereka belum pernah sama sekali meninggalkan pulaunya,” ujar Zakia.

Zakia berbicara dalam Diskusi Publik yang merupakan rangkaian Pertemuan Perempuan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nusantara yang diselenggarakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan bersama dengan BothENDS dan GAGGA gelar Diskusi Publik.

Kegiatan diskusi publik ini mengambil tema Cerita Dari Laut: Daya Rusak Tambang Pasir Laut terhadap Lingkungan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Adapun para pembicara yang hadir dalam diskusi publik ini yakni Zakia Perempuan Pulau Kodingareng Makassar, Asmania Perempuan Pulau Pari Jakarta, Aklima Perempuan Pesisir Pasar Seluma Bengkulu, dan Nur Chayati Perempuan Pesisir Semarang Jawa Tengah.

Perwakilan Perempuan selanjutnya dari Pulau Pari Jakarta. Asmania dalam pernyataan awalnya menjelaskan bahwa jarak kami dari Pulau Pari ke Jakarta hanya sekitar dua jam namun sampai sekarang permasalahan kami belum selesai semenjak tahun 2014.

“Beberapa masalah yang kini tengah dihadapi oleh kami dari masyarakat Pulau Pari seperti abrasi yang sangat parah dan nyata. Bahkan, Pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu saat ini juga terdampak penambangan pasir laut asal Belanda (Kapal MV Vox Maxima). Namun kami tidak pernah berhenti berjuang. Saat ini, kami telah melakukan gugatan iklim ke Pengadilan Swiss dan juga mulai menanam Mangrove untuk menjaga pulau kami dari abrasi,” ujarnya.

Aklima, Perempuan Pesisir Pasar Seluma Bengkulu, menjelaskan bahwa tambang pasir besi masuk ke daerah kami mulai tahun 2010 dan sangat terasa dampaknya.

“Tambang pasir besi ini sangat berdampak bagi kehidupan nelayan, pencari udang, kepiting, dan remis. Padahal daerah kami itu merupakan daerah rawan bencana, tapi kenapa diberikan izin tambang. Namun, kami ibu-ibu disana tetap berjuang agar tambang pasir besi di pesisir kami tidak beroperasi,” ucapnya.

Pembicara terakhir ialah Nur Chayati, Perempuan dari Pesisir Semarang Jawa Tengah, mengatakan bahwa dulunya perkampungan kami hampir tenggelam akibat abrasi, namun kami sadar dan menanam mangrove.

“Sekarang, Mangrove yang kami tanam sudah layaknya hutan dan bisa melindungi kampung kami dari banjir rob dan angin kencang. Tapi setelah 20 tahun menanam sekarang malah mau direklamasi untuk pembangunan Tol Laut,” ujarnya.

Dalam sesi tanya jawab, Dg Bau Perempuan dari Pulau Lae Lae juga turut mengungkapkan kekhawatiran sekaligus penolakannya terhadap rencana reklamasi Pulau Lae-Lae.

“Kami meminta ke Pak Wali Kota agar membatalkan rencana reklamasi di Pulau Lae-Lae,” tutupnya.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.