Siti Kharimah (45) warga Kampung Marilonga, Kelurahan Brang Biji, Kecamatan Sumbawa, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) tampak cemas dan gelisah pada Sabtu (10/2/2024) pagi itu. Ia khawatir banjir datang lagi akibat luapan air Sungai Brang Biji.
Sehari sebelumnya, Jumat (9/2/2024), banjir bandang melanda sejumlah wilayah di Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Dompu, Kabupaten Bima, dan Kota Bima, merendam puluhan ribu rumah warga. Bahkan di Kabupaten Sumbawa ada empat rumah di bantaran sungai turut hanyut.
“Saya tidak sempat selamatkan barang berharga. Tiba-tiba banjir datang dan langsung besar. Di pikiran saya saat itu bagaimana selamatkan diri dan keluarga,” kata Siti, Sabtu (10/2/2024).
Sebenarnya ada tempat penyimpanan barang yang sudah disiapkan di plafon rumahnya, tetapi Siti tak sempat melakukan itu. Ia harus bergegas menyelamatkan sang buah hati yang baru berumur satu tahun.
“Kami sudah siap jika sewaktu-waktu terjadi banjir, tapi kadang luput saat bencana datang. Tanpa tanda-tanda hujan deras, lalu tiba-tiba banjir bandang dan meluap ke pemukiman,” kisah Siti.
“Bayangkan saja, ketinggian air dari meluapnya sungai Brang Biji sampai dada orang dewasa,” kata perempuan yang rumahnya berjarak 100 meter dari bantaran sungai itu.
Ia dan keluarganya mengetahui bahaya bencana sewaktu-waktu bisa terjadi kapan saja. Namun kesulitan ekonomi membuat mereka tetap tinggal di bantaran sungai. Jika dihitung jarak rumah Siti dengan sungai Brang Biji hanya 100 meter.
Syahdan menderita bencana yang sama. Bahkan lelaki berusia 42 tahun itu sempat viral di media sosial saat video dirinya dan rumahnya hanyut terbawa arus sungai beredar di dunia maya.
Menurut Syahdan, saat ditemui di tenda pengungsian Karang Bage, Kelurahan Bugis, Kecamatan Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Minggu (10/2/2024), ia bertahan di atap rumahnya yang hanyut karena berusaha mengambil Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) yang ada di dalam.
Usahanya gagal. Ia hanyut bersama rumahnya selama 30 menit sebelum akhirnya terdampar di wilayah Kelurahan Lempeh, sekitar 2 kilometer dari lokasi awal rumahnya di Kampung Bage.
“Saya lihat ada dahan pohon jadi lompat untuk selamatkan diri. Setelah itu saya ditolong warga dan diantar ke lokasi rumah,” kata Syahdan. “Tidak ada yang bisa saya selamatkan, semua terbawa banjir.”
Sumber kehidupan jadi sumber bencana
Syahdan sehari-hari bekerja sebagai pegawai UPT Persampahan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sumbawa.
Sudah belasan tahun Syahdan dan keluarga tinggal di bantaran sungai yang dulunya dihiasi pohon dan tanaman yang tumbuh subur. Tapi sayang, kata dia, semua kenangan itu sudah berakhir.
Sungai yang dulunya adalah sumber kehidupan bagi warga setempat kini perlahan malah menjadi sumber bencana.
Banjir serupa juga dirasakan dampaknya oleh masyarakat Dompu, Bima dan Taliwang. Warga kini selalu was-was setiap kali hujan deras. Pengalaman bencana banjir bandang yang merusak jembatan, memutuskan jalan utama, menjebol bendungan, dan merusak puluhan rumah menjadi trauma yang membekas.
Kerugian materi yang diderita telah mencapai triliunan rupiah, aktivitas lumpuh, dan puluhan ribu jiwa terpaksa harus kehilangan harta benda mereka.
Banjir bandang yang kini selalu terjadi setiap musim hujan di Pulau Sumba, memperkuat anggapan telah terjadi kerusakan lingkungan secara besar-besaran.
Batang jagung pembuat gusar
Sebagian besar warga menduga kerusakan lingkungan pemicu banjir bandang disebabkan oleh alih fungsi lahan di perbukitan. Daerah yang dulunya dihiasi pepohonan, sebagian besar telah berubah menjadi ladang jagung.
Jagung adalah komoditas primadona dari lahan pertanian di NTB. Tahun 2022 total produksinya mencapai 2,4 juta ton. Hanya 400.000 ton yang dikonsumsi warga NTB, sisanya diekspor ke luar daerah. Sumbawa adalah penghasil jagung terbesar dengan hasil lebih dari 668 ribu ton pada 2022.
Dengan harga Rp4.500-Rp5.000 per kilogram, penghasilan dari pertanian jagung ini jelas menggiurkan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) NTB, Julmansyah, menyatakan banjir terjadi karena meluasnya lahan kritis atau rusak. Kerusakan tersebut disebabkan ekspansi perladangan liar untuk tanaman semusim, termasuk jagung. Kemudian pembukaan lahan dengan pembakaran dan perubahan tradisi pola tanam tumpangsari menjadi monokultur.
Ia mengatakan, berdasarkan data, peningkatan kerusakan hutan sejalan dengan peningkatan produktivitas jagung. Ekspansi tanaman monokultur tersebut juga seiring dengan pembukaan lahan untuk pembangunan pabrik pengering jagung (corn dryer) di Sumbawa, Dompu, dan Bima.
Yang menjadi masalah, menurut Julmansyah, tidak ada peraturan yang mewajibkan pabrik untuk memiliki lahan inti, sehingga mereka bisa menerima jagung dari mana saja, tanpa batasan.
“Dampaknya petani kita merambah kawasan hutan untuk menanam jagung dengan harapan memperoleh keuntungan ekonomi sebesar-besarnya,” kata Julmansyah saat ditemui Jumat (17/2/2024).
Perambahan tersebut memperluas area hutan gundul. DLHK mencatat kawasan hutan gundul seluas 96.238,24 hektare tersebar di sembilan kabupaten — Lombok Barat 12.330 ha, Lombok Tengah 6.686 ha, Lombok Utara 4.299 ha, Lombok Timur 9.002 ha, Sumbawa Barat 53 ha, Sumbawa 30.291 ha, Dompu 16.690 ha, Bima 15.790 ha, dan Kota Bima 1.093 ha.
Julmansyah memberi contoh, dari 202.000 ha total luas hutan di Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, sebanyak 58 ribu ha sudah menjadi lahan jagung.
“Secara keseluruhan dari 400 ribu hektare lebih kawasan hutan di wilayah NTB, 190 ribu hektare sudah ditanami jagung di NTB,” katanya.
“Kita tidak membenci penanaman jagung namun jangan jadikan monokultur atau satu-satunya. Kalau hanya sebagai tanaman tumpang sari yang dipadukan dengan tanaman buah dan pepohonan itu bisa,” lanjutnya.
Selain itu, kata Julmansyah, perlu dilihat dulu lokasinya. Jangan sampai merusak hutan atau hulu daripada kawasan bendungan Daerah Aliran Sungai (DAS).
“Sebenarnya tidak ada masalah dengan jagung. Yang menjadi masalah ketika jagung masuk ke kawasan hutan,” tegas Julmansyah. “Semua sudah menyentuh hutan lindung dan sampai ke kawasan konservasi.”
Perambahan hutan akan mengancam hulu DAS yang akhirnya berpengaruh kepada bendungan-bendungan sebagai sumber mata air. Debit air di bendungan bakal berkurang.
Hal tersebut akan mengubah pola tanam sehingga akhirnya mempengaruhi dan merugikan kehidupan masyarakat itu sendiri.
Reboisasi daerah hulu, menurut Julmansyah adalah solusi terbaik untuk memitigasi ancaman banjir di masa depan.
Ia mendorong bupati atau walikota mengeluarkan surat edaran pada wilayah desa yang berada di DAS untuk mengalokasikan anggaran pengadaan bibit tanaman buah atau pohon untuk reboisasi. Pun memerintahkan agar pabrik pengering jagung tak lagi menerima jagung yang ditanam di kawasan hutan.
Julmansyah berpendapat bahwa itu adalah cara yang paling mudah dan murah karena tidak mungkin untuk menindak pidana, atau memenjarakan, warga yang merambah hutan. “Itu tidak mungkin,” tegasnya.
Selain itu, Julmansyah mendorong agar pemerintah, melalui Dinas Pertanian mengedukasi masyarakat untuk tidak menanam jagung di dataran tinggi atau kawasan penyangga air, seperti DAS Batulanteh.
“Wilayah itu penyangga air dan berada di ketinggian 1000 Mdpl sehingga tidak cocok untuk ditanami tanaman monokultur tetapi mesti gunakan sistem tumpang sari,” kata dia.
Moratorium penanaman jagung
Direktur Lembaga Olah Hidup (LOH), Yani Sagarwa mengatakan, laju deforestasi di Pulau Sumbawa semakin mempengaruhi iklim mikro, bahkan cuaca menjadi semakin panas.
“Semestinya pemerintah lakukan moratorium penanaman jagung. Tidak perlu ditambah perluasan. Diversifikasi pertanian dan tanaman pangan seharusnya dilakukan,” kata Yani saat ditemui Senin (12/2/2024).
Ia mendorong pemerintah daerah lebih serius melakukan mitigasi dampak anomali iklim El Nino bagi petani. Menurutnya, tidak ada kebijakan mitigasi maupun adaptasi yang sistematis dilakukan pemda, apalagi di sektor pertanian.
Sementara, Ketua Forum Daerah Aliran Sungai dan Lingkungan Hidup (FORDAS-LH) NTB, Markum mengatakan Jagung menjadi produk politik, karena sejalan dengan kebijakan nasional. Implikasinya, setiap daerah diberikan target produksi yang kadang melampaui kapasitas lahan.
Lebih jauh, kebijakan yang tumpang tindih semakin memperparah kondisi hutan, hadirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menjadikan pengelolaan kehutanan kewenangan pusat dan sebagian diberikan kepada provinsi, sedangkan kabupaten memiliki kewenangan pertanian.
“Saya lihat provinsi tidak berikan bantuan benih jagung, ada moratorium. Sementara kabupaten terus genjot produksi jagung karena ditekan oleh pemerintah pusat. Tidak akan efektif proses rehabilitasi kawasan, pantas saja jika hutan semakin rusak,” kata Markum Senin (5/2/2024).
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB mencatat, laju kerusakan hutan di NTB mencapai 60 persen dari total kawasan hutan 1.071.722 juta hektare.
Direktur Walhi NTB Amri Nuryadin, Senin (5/2/2024), memaparkan bahwa jumlah laju kerusakan hutan NTB disebabkan beberapa faktor seperti aktivitas pertambangan, perambahan hutan dan alih fungsi lahan untuk kepentingan pembangunan pariwisata dan pertanian.
Amri meminta pemerintah lebih serius dalam melihat dampak dari kerusakan lingkungan karena maraknya alih fungsi lahan di NTB. Hal itu terjadi karena belum ada konsepsi tata kelola pencanangan kawasan hutan yang dibuat pemerintah. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) memang ada, namun menurut Amri seringkali diterabas.
Seluruh wilayah kepulauan di NTB berbatasan langsung dengan pesisir dan laut sehingga, menurut Amri, dalam pembangunannya mesti mempertimbangkan UU No 27/2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Hal itu agar pembangunan ataupun investasi yang tengah dilakukan oleh pemerintah saat ini tidak sekedar pro investasi tapi juga pro rakyat serta menjaga ekologi terutama feasibility (kelayakan) dan certainty (kepastian) secara ekonomi serta properti kepatuhan secara sosial budaya.
“Jadi ada 403 pulau-pulau kecil yang tersebar di NTB. Ini harus kita selamatkan,” tutup Amri.
Banyak faktor penyebab banjir
Sementara itu, menurut Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB, Ahmadi, banjir bandang di empat kabupaten tersebut disebabkan oleh banyak faktor, bukan hanya alih fungsi lahan.
Ada faktor topografi Pulau Sumba yang berbukit-bukit sehingga limpasan air bergerak cepat dan juga kesalahan konstruksi tanggul di wilayah DAS.
“Tanggul penahan banjir jika saya lihat di Sumbawa banyak yang rendah. Seharusnya dibangun lebih tinggi lagi,” katanya Sabtu (17/2/2024).
Selain itu, ada juga tanggul, atau bronjong, yang menurutnya salah konstruksi, sehingga cepat rusak dihantam banjir.
Ahmadi juga menyoroti tutupan vegetasi hutan yang semakin menipis, sehingga tidak lagi mampu menahan air dan menjadi salah satu faktor penyebab banjir.
Ia meminta banyak pihak mulai evaluasi apa yang perlu dibenahi ke depan dalam penanganan bencana hidrometeorologis.
Upaya pemerintah NTB
Pemerintah NTB tidak diam saja melihat kondisi kerusakan hutan. Pada era Gubernur Zulkieflimansyah, dikeluarkan moratorium penebangan dan peredaran hasil hutan kayu di wilayah NTB melalui Instruksi Gubernur Nomor: 188.4.5-75/Kum Tahun 2020.
Instruksi tersebut lantas ditindaklanjuti oleh DLHK dengan surat Nomor 522/02/PH/DISLHK/2021 yang ditujukan ke Kepala Balai KPH/Tahura se-NTB.
Moratorium tersebut dirilis setelah melihat tindak perusakan hutan semakin mengkhawatirkan. Perladangan liar dan pembalakan liar menyebabkan ekosistem hutan dan sumber daya yang ada di dalamnya mengalami kerusakan yang cukup parah.
Selain itu juga dilakukan patroli bersama TNI-Polri dan mengedukasi masyarakat sebagai garda terdepan dalam pelestarian hutan.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman saat kunjungan kerja di Pulau Sumbawa juga mengingatkan petani tetap memperhatikan lingkungan ketika menanam jagung.
“Kita tanam jagung tetapi harus tetap memperhatikan lingkungan. Karena akan lebih indah jika petani sejahtera dan lingkungan juga terjaga,” kata Amran usai menanam jagung bersama di Lahan Gapoktan Kedawan, Sumbawa, NTB, Kamis (25/1/2024).
BPDAS, DLHK dan BPBD juga melakukan kegiatan rehabilitasi tahunan untuk memperbaiki lingkungan. Para petani juga mulai digerakan dengan pertanian cerdas iklim yaitu tumpang sari.
Kepala Bidang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Rehabilitasi dan Pemberdayaan Masyarakat Dinas LHK NTB, Burhan saat ditemui Senin (5/2/2024), mengatakan, proses rehabilitasi hutan butuh waktu yang lama. Tidak bisa langsung petik hasil.
“Kita dorong desa menyiapkan anggaran pengadaan bibit pohon buah untuk program agroforestri. Pemerintah desa perlu buat kontrak dengan petani. Kelompok Tani mengelola dana desa untuk pengadaan bibit buah dan pohon, konsep berinvestasi untuk masyarakat,” kata Burhan.