Pemanasan global dan perubahan iklim mempengaruhi cuaca dan lingkungan sekitar kita. Diperlukan kebijakan mengurangi emisi.

Masyarakat sipil berkumpul bersama dengan elemen warga lain di Haluan Coffee, Denpasar, Bali, membicarakan “Menakar Masa Depan Transisi Energi di Indonesia”. (Walhi Bali)
Masyarakat sipil berkumpul bersama dengan elemen warga lain di Haluan Coffee, Denpasar, Bali, membicarakan dampak pemanasan global. (Walhi Bali)

Udara panas, anomali cuaca, dan kemarau panjang yang kita rasakan bulan belakangan ini, boleh jadi diakibatkan proses pemanasan global semakin dekat. Isu pemanasan suhu dunia terus mengemuka tiga dekade belakangan ini, yang mendorong lahirnya Konvensi Perubahan Iklim  tahun 1994 agar negara-negara di dunia melakukan kontrol atas emisi rumah kaca.

Konvensi tersebut telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 6 thn 1994 Jo UU No. 16 Tahun 2016 tentang Kesepakatan Paris (Paris Agreement).

Dana Tarigan dari Green Justice Indonesia mengatakan, Konvensi Perubahan Iklim (COP UNFCCC) yang ke-28 di Dubai 2023 lalu, menempatkan isu krusial yang tak kunjung mendapat kata sepakat dari semua negara. Yaitu adalah bagaimana suhu udara tidak memanas dengan memitigasi sumber nya yaitu gas-gas rumah kaca (CO2, Metan), dan menyiapkan masyarakat akan perubahan yang akan terjadi.

Kondisi ini juga memaksa negara-negara di dunia untuk mencari sumber energi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Transisi penggunaan energi dari energi kotor yang menghasilkan emisi rumah kaca (seperti batu bara maupun bahan bakar bebasis fosil) ke energi bersih (yang rendah emisi) ini menempatkan kendaraan listrik sebagai (calon) primadona di masa mendatang.

Pemerintah Indonesia, menyambut baik misi ini sebagai jalan menuju pembangunan rendah karbon. Apalagi sumber emisi terbesar adalah sektor transportasi –terutama transportasi darat– yang mencapai 23% dari total emisi.

Untuk mencapai nir-emisi perlu segera beralih dari bahan bakar fosil ke energi bersih di sektor tansportasi. Dalam NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia menargetkan, kendaraan roda dua listrik harus mencapai 1.8 juta di tahun 2025 dan 13 juta di tahun 2030, sementara kendaraan listrik roda empat harus mencapai 0.4 juta di tahun 2025, dan 2 juta di tahun 2030.

Namun, Made Krisna Dinata, Direktur Eksekutif Walhi Bali, mengatakan target tersebut masih jauh dari target Perjanjian Paris (the Paris Agreement) yang mencanangkan batas suhu 1.5 °C.

“Berdasarkan riset Institute for Essential Services Reform (IESR), untuk mencapai target tersebut, kendaraan listrik roda dua dan roda empat masing-masing harus sebanyak 110 juta di tahun 2030, diikuti oleh 3 juta kendaraan listrik Low Duty Vehicles (LDV) dan 2.4 juta bus,” tegas Made Krisna Dinata, diakses dari Walhi Bali, Kamis, 9 Mei 2024.

Pemanfaatan energi fosil sebisa mungkin dikurangi persentasenya, dengan mendorong ketersediaan energi baru (EBT) dan mendorong aktivitas ekonomi berbasis energi hijau seperti transportasi berbasis listrik.

“Pertanyaan besarnya adalah apakah pilihan membangun kendaraan listrik dan infrastrukturnya merupakan jalan terbaik bagi Indonesia untuk mengurangi secara signifikan emisi yang mendorong pemanasan global?”, tanya Made.

Arimbi Heroepoetri dari debtWATCH Indonesia mengatakan, Indonesia belum memiliki road map atau blueprint terkait kendaraan listrik dan inisiatifnya karena masih tersebar di beberapa jurisdiksi. Begitupun komitmen kerjasama, keuangan, dan lainnya sudah muncul tetapi koridornya belum jelas. 

“Peraturan terkait minerba yang dikeluarkan juga sangat banyak dan sering berubah-ubah sehingga berpotensi menjadi masalah dalam implementasi dan penegakan. Kondisi ini menunjukkan bahwa rencana pembangunan dan pengembangan terkait kendaraan listrik masih belum menyeluruh/komprehensif. Perlunya roadmap kendaraan listrik yang terintegrasi, transparan dan akuntabel, sehingga membuka peluang kontrol dari publik,” ungkap Arimbi Heroepoetri.

Penting adanya regulasi yang efektif, jelas, akuntabel dan terintegrasi antar kementerian/lembaga (K/L). Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mengembangkan peraturan yang spesifik dan partisipatif dengan melibatkan semua pemangku kepentingan untuk memastikan pengembangan industri yang berkelanjutan, inklusif, dan ramah lingkungan di Indonesia.

Pesan ini termaktub di dalam diskusi yang diinisiasi oleh WALHI Bali, Green Justice Indonesia, debtWATCH Indonesia, KEKAL (Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup) Bali, Frontier (Front Demokrasi Perjuangan Rakyat) Bali, serta didukung oleh seniman-seniman lokal Bali seperti Racun Timur Menggoda, Morphine, Gooblet, dan Nursery Rhymes.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.