Izin pertambangan untuk ormas keagamaan menambah dampak buruk pada lingkungan

Agenda Pekan Rakyat Lingkungan Hidup 2024 yang diselenggarakan WALHI di Padarincang, Banten.
Agenda Pekan Rakyat Lingkungan Hidup 2024 yang diselenggarakan WALHI di Padarincang, Banten. (WALHI)

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menyatakan, pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tambang pada wilayah eks PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) kepada Ormas Keagamaan sebagai bentuk pembangkangan Konstitusi dan bahkan Undang-Undang yang ada.

Sebab, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara dengan jelas menyatakan bahwa prioritas pemberian IUPK hanya kepada Badan Usaha Milik Negara atau Daerah (BUMN/BUMD) dan badan usaha swasta pemberian IUPK diharuskan melalui proses lelang.

Menurut WALHI, Pemberian IUPK pada wilayah eks PKP2B kepada ormas keagamaan menunjukkan bahwa izin pertambangan bukanlah mekanisme untuk melakukan pembatasan, pengendalian dan perlindungan terhadap dampak lingkungan dari akibat yang bisa dimunculkan dari aktivitas pertambangan, melainkan hanya menjadi alat transaksi kekuasaan dan obral sumber daya alam terutama pada sektor tambang batubara.

“Hampir 5 juta hektar lahan telah diubah menjadi kawasan pertambangan batubara, dengan setidaknya hampir 2 juta hektarnya berada di kawasan hutan, dan tren perusakan ini tidak akan segera menurun karena Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sendiri terus mendorong peningkatan produksi batubara di Indonesia dari tahun ke tahun,” ungkap WALHI, dalam pernyataan resmi, diakses Selasa, 11 Juni 2024.

Tahun 2021, WALHI mencatat produksi batubara 609 juta ton, 2022 naik 618 juta ton; 2023 menjadi 625 juta ton, dan 2024 menjadi 628 juta ton. Menurut WALHI, kontribusi batubara pada sektor energi juga membawa Indonesia menjadi penghasil emisi terbesar kesembilan di dunia dengan 600 juta ton CO2 dari sektor energi pada tahun 2021.

Konsesi pertambangan batubara juga merupakan ancaman bagi budidaya agraris di Indonesia. Luasan tambang batubara dilaporkan mencakup 19 persen dari areal persawahan yang ada dan 23 persen lahan yang tersedia untuk budidaya padi baru. Hingga 15 persen kawasan yang diperuntukkan bagi budidaya perkebunan juga berisiko dibuka dan ditambang untuk produksi batubara, sehingga menimbulkan risiko terbesar bagi ketahanan pangan di masa mendatang.

Besarnya luasan pertambangan batubara, terutama yang berada pada wilayah yang penting baik secara ekologis maupun pada Wilayah Kelola Rakyat menyebabkan konflik pertambangan menjadi terus mengemuka.

Dalam catatan WALHI sepanjang periode pemerintahan Presiden Joko Widodo telah ada 827 kasus kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi yang dialami oleh rakyat dalam kasus-kasus terkait perjuangan lingkungan hidup, Sebagian besar dari kasus ini adalah pada wilayah-wilayah pertambangan.

“Pemberian izin tambang bagi ormas keagamaan justru akan membuat ormas-ormas ini nantinya berakhir bertikai dengan warga anggotanya sendiri. Adalah sesuatu yang ironis bagi ormas keagamaan yang dibentuk untuk tujuan mulia penyebaran ajaran kebaikan jika harus berakhir menyebabkan konflik baik dengan masyarakat secara umum, lebih-lebih dengan warga anggotanya sendiri karena pemberian izin tambang ini,” ungkap WALHI.

Pemberian prioritas IUPK kepada Ormas Keagamaan juga berisiko besar akan berakhir menjadi bancakan para pemain tambang yang secara keahlian teknis dan tata niaganya telah memiliki pengalaman pada bisnis tambang. Kebutuhan kemampuan mobilisasi sumber daya untuk mendukung operasi teknis dalam bisnis tambang serta penguasaan terhadap tata niaga batubara bukanlah kemampuan yang sekarang dimiliki oleh ormas-ormas keagamaan, karena memang ormas keagamaan tidak dibentuk untuk tujuan bisnis tambang.

Kekosongan kemampuan ini bisa menjadi celah bagi pemain lama bisnis tambang untuk mengambil alih operasi pertambangan dari IUPK yang diberikan prioritasnya kepada ormas keagamaan. Pada akhirnya ini hanya akan berakhir menjadi operasi bisnis tambang pada umumnya yang berisiko tinggi memicu kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia, namun kali ini para pemain tambang yang mendapatkan keuntungan, dan ormas-ormas keagamaan yang mendapatkan getah dari lunturnya nama baik mereka akibat dampak yang ditimbulkan bisnis pertambangan.

Hal ini akan menjadi pukulan besar dari upaya berbagai tokoh dan kelompok-kelompok keagamaan yang secara tekun menjadi pendamping bagi advokasi lingkungan hidup di berbagai daerah di Indonesia.

Pekan Rakyat Lingkungan Hidup 2024

Pernyataan resmi WALHI terkait pemberian izin pertambangan pada ormas keagamaan mengemuka dalam Agenda Pekan Rakyat Lingkungan Hidup 2024 yang diselenggarakan WALHI di Padarincang, Banten. Acara ini menjadi momen untuk mengingatkan kembali betapa besarnya dominasi kekuatan ekonomi politik “pebisnis sumber daya alam” yang secara langsung akan mempengaruhi dinamika lingkungan hidup dan sosial di masyarakat.

Pada momen istighosah akbar yang merupakan bagian dari rangkaian Pekan Rakyat Lingkungan Hidup yang  digelar pada 5 Juni 2024, WALHI menyatakan bahwa kebijakan yang saat ini dijalankan oleh pemerintahan yang berkuasa telah mempercepat kerusakan lingkungan dan seringkali mengabaikan peri kehidupan rakyat dan malah membangkang amanat konstitusi dan perundang-undangan.

Menurut WALHI, selama ini ormas kegamaan justru aktif menjaga lingkungan dari perusakan. Di Padarincang, Banten, tempat di mana WALHI menyelenggarakan Pekan Rakyat Lingkungan Hidup, tokoh-tokoh dari pesantren menjadi tulang punggung perjuangan warga melawan ancaman perusakan sumber-sumber mata air baik dari proyek privatisasi air maupun dari proyek energi geothermal.

“Jika ormas-ormas keagamaan menerima tawaran pemerintah untuk mengelola bisnis pertambangan, ini akan bertolak belakang dengan semangat pelestarian lingkungan hidup yang diperjuangkan tokoh-tokoh agama di berbagai daerah, seperti yang ada di Padarincang ini,” kata WALHI.

Upaya pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan hanya akan menjadi pembenaran terhadap segala perusakan yang telah terjadi di Indonesia. Dengan implikasi yang besar terhadap lingkungan hidup dan kehidupan warga di Indoensia, WALHI mengajak ormas-ormas keagamaan untuk menolak pemberian izin pertambangan yang ditawarkan oleh pemerintah, dan justru berhimpun kembali dengan berbagai perjuangan pelestarian lingkungan yang juga digalang oleh tokoh-tokoh keagamaan di berbagai wilayah untuk memulihkan kembali Indonesia dari daya rusaknya lingkungan akibat dari rusaknya demokrasi dan sistem politik Indonesia.

Di antara semakin parahnya tatanan ekologis dan kepemimpinan politik yang semakin membawa kerusakan dalam kehidupan warga, kepemimpinan spiritual dari ormas-ormas keagamaan harusnya menjadi salah satu jawaban untuk mempertahankan dan memulihkan ruang hidup dan sumber-sumber penghidupan warga.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.