Pelajari tantangan dan isu pengelolaan sumber daya air di Nusa Tenggara Barat (NTB). Masalah kerusakan ekosistem, pertambangan, dan kepadatan penduduk sedang menjadi sorotan.
Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian timur Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok. NTB memiliki iklim tropis dengan curah hujan yang relatif rendah, sehingga sering mengalami kekeringan pada musim kemarau.
Pengelolaan sumber daya air di NTB menjadi tantangan besar. Beberapa faktor yang mempengaruhi ini antara lain kerusakan ekosistem hutan dan daerah aliran sungai (DAS), penurunan debit air, dan peningkatan kepadatan penduduk akibat urbanisasi. Selain itu, aktivitas pertambangan dan perubahan musim juga berdampak pada ketersediaan air bersih.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Barat (WALHI) NTB telah memberikan kritik terhadap pengelolaan sumber daya air di NTB. Walhi NTB menyoroti kerusakan ekosistem, pembangunan tambang, pengelolaan sumber air, dan privatisasi sumber air sebagai beberapa isu utama yang perlu ditangani.
“Bahwa 60% atau sekitar 650,000 hektare dari 1,1 juta hektare kawasan hutan di NTB berada dalam kondisi kritis, yang berdampak pada tata kelola sumber daya air,” kata WALHI NTB dalam keterangan resmi yang diakses Minggu, 9 Juni 2024.
Kerusakan ekosistem dan ekologi ini disebabkan beberapa faktor. Salah satunya adalah aktivitas pertambangan, seperti PT AMNT yang berada di kawasan hutan (IPPKH) seluas 7000 Ha. Kemudian pertambangan PT STM memegang izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu seluas 19.260 hektar, penambangan pasir besi di Pesisir Dedalpak-Pringgabaya Lombok Timur seluas 1.438 Ha, serta tambak udang di sempadan pantai Pulau Sumbawa dan Lombok Timur bagian utara.
Secara umum, dengan total luasan 169.000 Ha berada di Kawasan hutan dan lahan-lahan produktif, belum lagi maraknya pertambangan ilegal di Pulau Lombok dan Sumbawa. Sementara pada sektor pariwisata, di kawasan pesisir salah satunya di KEK Mandalika seluas 1.250 Ha.
Kemudian rencana pembangunan Global Hub Bandar Kayangan di Lombok Utara seluas 7.030 Hektar, juga akan mengancam terjadinya kerusakan ekologi pesisir dan rencana pembangunan kereta gantung di kawasan Hutan Rinjani seluas 500 Ha yang tentu ini mengancam terjadinya kerusakan Mata Air di Nusa Tenggara Barat.
Walhi NTB Juga menyoroti konflik vertikal antara masyarakat dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lombok Timur (Lotim) terkait proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Pantai Selatan Lombok Timur. Proyek strategis nasional yang didanai oleh Pemerintah Pusat mengalami penundaan karena protes warga, termasuk demonstrasi dan pembakaran pipa SPAM di Desa Lendang Nangka Utara pada Kamis, 4 Januari 2024.
Alasan masyarakat, karena khawatir penggunaan air untuk SPAM itu dapat mengurangi debit air Tibu Krodet, Kecamatan Sikur sehingga menyebabkan kesulitan bagi petani dalam mengairi sawah, terutama selama musim kemarau.
Selain itu, Walhi NTB menduga konflik yang terjadi antara masyarakat dan Pemkab Lotim akibat dari belum ada titik temu antara kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintah Lotim. Apalagi sumber daya air merupakan kebutuhan orang banyak, sehingga wajar bila masyarakat mempertahankan hal sumber kehidupannya.
“Jika itu menjadi komersialisasi, maka sudah sepatutnya pemerintah mengakomodasi kepentingan masyarakat yang ada di sekitar mata air, terutama untuk sumber-sumber hidupnya, termasuk juga untuk pertanian, maka Pemkab Lotim haruslah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi konflik sumber daya air itu. Salah satunya, pemerintah terlebih dahulu harus berupaya untuk meningkatkan debit mata air,” kata WALHI NTB.
Kemudian, Pemkab perlu memiliki tata kelola sumber daya air yang baik. Lalu, melakukan konservasi-konservasi mata air ataupun kawasan perhutanan yang dapat meningkatkan debit air serta pemerintah juga harus melakukan rehabilitasi dan restorasi kawasan hutan yang mulai rusak.
Di tengah kondisi ini, Indonesia menjadi tuan rumah KTT World Water Forum (WWF) ke-10 yang akan diadakan di Bali, baru-baru ini. KTT ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga ekosistem sumber mata air dan konservasi.
Namun, WALHI NTB menilai bahwa KTT ini perlu memberikan perhatian lebih pada isu-isu pengelolaan sumber daya air termasuk di NTB. Walhi NTB mendorong agar pemerintah daerah dan pusat dapat mengambil langkah-langkah konkret dalam menangani permasalahan ini.
Untuk itu Walhi NTB dalam Momentum KTT World Water Forum yang dilaksanakan di Bali pada tanggal 18-25 Mei 2024 ini, Walhi NTB menegaskan beberapa hal, di antaranya:
Menolak Privatisasi Air, Bahwa Air bukanlah komoditi yang dapat dikomersialisasikan karena pasti akan berdampak pada berkurang sampai dengan hilangnya akses Masyarakat terhadap sumber-sumber daya air;
Pemerintah Harus menyelesaikan permasalahan SPAM dengan memperhatikan kepentingan Masyarakat setempat dengan tidak mengurangi akses penggunaan air;
Pemerintah harus memberikan Solusi kongkret terhadap pencemaran sampah plastic dan micro plastic yang mencemari Sungai-sungai di NTB, Negara dan Produsen harus bertanggung jawab;
Mengecam tindakan anarkis maupun tindakan refresif dan kriminalisasi terhadap masyarakat sipil yang tengah bersuara dan memperjuangkan akses rakyat untuk sumber daya air.
Pengelolaan sumber daya air di Nusa Tenggara Barat (NTB) menghadapi tantangan serius akibat kerusakan ekosistem, aktivitas pertambangan, dan urbanisasi yang menyebabkan penurunan debit air serta konflik dengan masyarakat lokal, seperti yang terlihat dalam kasus proyek SPAM di Lombok Timur.
WALHI NTB menyoroti perlunya penghentian privatisasi air, konservasi ekosistem, dan penyelesaian konflik kepentingan antara pemerintah dan masyarakat. Dalam konteks ini, KTT World Water Forum ke-10 di Bali diharapkan menjadi momentum untuk mengadvokasi kebijakan yang lebih inklusif dan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya air, yang seharusnya mengedepankan kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan daripada komersialisasi dan pembangunan eksploitatif.