Kabut asap berdampak pada kesehatan, perekonomian, dan mengancam warisan budaya yang ada di Desa Bangsal di Sumatera Selatan.
Rusak alam, hilang peradaban. Mungkin kalimat itulah yang tepat menggambarkan kekhawatiran warga Desa Bangsal tatkala kabut asap melanda. Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut menyisakan cerita pahit bagi warga di Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan ini.
Selain berdampak pada kesehatan dan perekonomian warga, kabut asap juga mengancam warisan budaya yang ada di Desa Bangsal: gulo puan, kudapan khas peninggalan era Kesultanan Palembang.
Gulo puan diproduksi dari susu kerbau rawa–kerbau unik yang bisa berenang dan menyelam untuk mencari makan. Kerbau rawa juga dinilai punya peran penting menjaga ekosistem gambut.
Gunadi, peternak kerbau rawa di Desa Bangsal bercerita, kebakaran hutan dan lahan pada 2015 merusak rawa gambut yang menjadi tempat tumbuhnya pakan kerbau rawa. Walhasil, kerbau ternak warga harus menempuh jarak lebih jauh untuk mencari makan, yakni hingga 7-10 kilometer dari kandang.
“Kami para peternak juga harus mencari pakan tambahan ke tempat yang lebih jauh. Artinya, ada ongkos lebih yang harus kami keluarkan,” kata Gunadi, salah seorang warga desa Bangsal di Sumatera Selatan, diakses dari laman Greenpeace Indonesia, Kamis, 5 September 2024.
Saat terjadi kabut asap, ternak juga tak aman karena rawan pencurian. Pada 2015, Gunadi kehilangan 3 ekor kerbaunya–yang ia duga dicuri orang.
Dampak berikutnya dirasakan para perempuan yang banyak mengolah susu kerbau rawa menjadi gulo puan. Ini dikisahkan Marda Ellius alias Yeyen, seorang guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Desa Bangsal, yang juga menjadi penjual gulo puan. Selain menjadi guru dan menjual gulo puan, Yeyen juga menyadap karet dan mencari ikan untuk membantu ekonomi rumah tangganya.
“Musim kabut asap sangat mengganggu kesehatan, aktivitas, dan perekonomian warga. Jika kabut asap tebal di pagi hari, jarak pandang menjadi sangat terbatas. Warga harus menunggu agak siang untuk mulai beraktivitas, termasuk untuk memerah susu kerbau,” ujar Yeyen.
Gunadi dan Yeyen khawatir dengan kabut asap akibat karhutla yang acap menimpa mereka selama bertahun-tahun. Bersama Rohman, seorang warga Bangsal dan sembilan orang lainnya dari daerah lain di Sumatera Selatan, mereka menggugat tiga perusahaan penyebab kabut asap ke Pengadilan Negeri Palembang. Lewat gugatan ini, mereka menuntut penggantian kerugian atas kabut asap akibat karhutla di konsesi tiga perusahaan tersebut.
Kabut asap akibat karhutla yang terjadi Sumatera Selatan sebenarnya tak terlepas dari persoalan besar kerusakan lanskap gambut akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan. Gunadi pun menaruh harapan kepada pemerintah untuk lebih peduli akan kelestarian lingkungan. Ia ingin tak ada lagi kabut asap karhutla yang muncul hampir setiap tahun dan mengganggu kesehatan serta perekonomian. Ia ingin lingkungan tempat tinggalnya bebas dari polusi kabut asap.
“Saya juga meminta agar pemerintah lebih peduli dengan lingkungan, terutama di desa-desa wilayah Pampangan. Kalau lahan dialihfungsikan menjadi perkebunan, tidak mustahil gulo puan yang sudah didaftarkan menjadi warisan budaya tak benda pada 2020 akan punah,” tutup Gunadi. (Foto: Abriansyah Liberto. Teks: Abriansyah Liberto, Budiarti Putri, Haris Prabowo)