Greenpeace menyerukan #PollutersPay di COP29. Bahwa perdagangan karbon di Indonesia solusi palsu dalam mengurangi dampak krisis iklim.

Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah negara-negara yang berkumpul di COP29 untuk memberikan pendanaan langsung ke masyarakat adat atau komunitas lokal yang melakukan kerja nyata dalam melindungi keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup. Greenpeace juga mendesak pemerintah Indonesia berhenti mempromosikan dan melanjutkan skema perdagangan karbon, yang memungkinkan para pencemar lingkungan terus membawa Bumi ke arah krisis iklim yang lebih brutal.
Sudah saatnya para pencemar membayar dampak dari kerusakan-kerusakan yang mereka timbulkan, atau yang Greenpeace serukan dengan #PollutersPay.
“Cara tercepat dan yang paling bisa diandalkan untuk mengurangi karbon dari atmosfer adalah dengan melindungi dan memulihkan hutan-hutan primer. Masyarakat adat dan komunitas lokal adalah orang-orang yang tepat melakukan ini. Dana untuk mendukung kerja-kerja ini harus berasal dari mereka yang mampu membiayainya, dan langsung disalurkan ke mereka yang membutuhkan,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, langsung dari Azerbaijan, dalam keterangan resmi diakses Sabtu, 23 November 2024.
Saat negosiasi soal panduan untuk jual-beli karbon sedang berlangsung di pekan kedua COP29, Greenpeace mewanti-wanti bahwa perdagangan karbon adalah solusi palsu. Sebab, skema perdagangan karbon ini bisa jadi celah untuk para pencemar melakukan ragam modus operandi, termasuk memakai jasa akuntan keuangan, untuk lari dari tanggung jawab dan akhirnya membahayakan iklim serta keanekaragaman hayati.
Studi terbaru menemukan bahwa dari 2.346 proyek dagang karbon di dunia, ternyata hanya 16 persen yang mencapai pengurangan emisi. Ini juga alasan yang sama bagi Greenpeace untuk khawatir dengan solusi perdagangan karbon (carbon capture & storage/CCS) dan bioenergi yang diusulkan oleh Hashim Djojohadikusumo, adik Presiden Prabowo Subianto. Belakangan Hashim ditunjuk sebagai Utusan Khusus Presiden RI bidang Iklim dan Energi sekaligus menjadi Ketua Delegasi Indonesia di agenda COP29.
“Premis dasar perdagangan karbon ini sendiri sudah sesat. Ini skema curang para pencemar lingkungan yang seharusnya segera menghentikan emisi, bukan mencari solusi palsu seperti perdagangan karbon. Walau perdagangan karbon sudah masuk ke dalam draf pembahasan soal iklim di Baku, perlu dicatat bahwa masih ada ketidakpastian yang cukup serius soal metodologi dan definisi yang digunakan untuk menghitung dan memantau skema ini,” lanjut Iqbal.
Greenpeace Indonesia sudah mengamati sejumlah pengalaman buruk dari percobaan penerapan perdagangan karbon di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
“Misalnya masalah legalitas dan penguasaan lahan di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Selain itu, ada juga klaim berlebihan soal penyimpanan karbon sebuah proyek di Kalimantan Tengah, kekhawatiran greenwashing sejumlah proyek di Riau dan Kalimantan Barat karena keterlibatan perusahaan atas deforestasi di daerah lain, hingga potensi pelanggaran hak-hak masyarakat adat lewat perampasan lahan dan kegagalan saat sosialisasi atau berupaya mendapat persetujuan dari komunitas lokal oleh sebuah proyek di Kepulauan Aru,” kata Kiki Taufik, Kepala Global Kampanye Hutan Indonesia Greenpeace.
Kredit dari proyek-proyek ini seolah digunakan untuk membenarkan emisi yang terus diproduksi oleh para pencemar, seperti Shell atau perusahaan terbesar minyak dan gas Australia, Woodside Energy.
Dari 53 proyek kredit karbon yang masuk identifikasi awal penelitian Greenpeace, 15 proyek sedang berjalan, sedangkan 26 di antaranya sedang dalam pengembangan atau menunggu dimulai. Sisanya, ada yang proyeknya belum dimulai, ada yang berakhir sebelum dimulai, atau ada yang sangat minim informasi sehingga status proyek tersebut tidak jelas.
Sejak tahun lalu, koalisi masyarakat sipil Indonesia sudah mengkritik proyek kredit karbon ini karena rentan merampas tanah dan ruang hidup masyarakat adat, yang sebagian besar justru belum diakui negara.
“Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia sedang ‘demam karbon’ lewat 41 proyek kredit karbon yang sedang berlangsung atau sedang dalam pengembangan. Sedangkan ‘para makelar karbon’ ini mendatangi komunitas lokal atau masyarakat adat yang rentan, mempromosikan proyek yang terlihat menjanjikan tanpa menjelaskan lebih rinci apa kekurangan dan kelebihannya,” lanjut Kiki.
Kiki menjelaskan, masalah umum dalam proyek karbon yang sudah berjalan di Indonesia ialah kegagalan dalam memenuhi hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal, dan keserakahan karena ada motif mencari keuntungan lewat perdagangan karbon ini.
Solusi menyelamatkan iklim dan keanekaragaman hayati perlu dimulai dengan tidak mengulangi dua kesalahan ini, yakni dengan menghormati hak-hak masyarakat adat dan lokal, serta memastikan tak ada motif mencari profit.
“Kita perlu mencari cara lain jika memang tujuannya melindungi hak ulayat masyarakat adat, lingkungan hidup dan wilayah keanekaragaman hayati yang kaya karbon, serta pendanaan yang langsung diberikan ke komunitas lokal dan masyarakat adat yang perlu dukungan, tanpa greenwashing dagang karbon tapi kerusakan iklim karena emisi tetap lanjut.”