Dulu desa para pembalak liar, kini berubah menjadi pelestari hutan. Inilah Desa Mekajaya di Jawa Barat, yang berusaha membangkitkan kembali hutan, menjernihkan sungai, dan memperbaiki panen mereka.

Gunung nu mawa linuhung, leuweung nu dipitineung, cai nu mawa hurip

” Gunung  adalah simbol keagungan, hutan tempat tautan rasa rindu, dan air sebagai sumber pembawa kehidupan.”

Namanya Mekarjaya, sebuah desa pertanian di kaki Gunung Simpang, di Cianjur Selatan, Jawa Barat. Tak mudah mencapai desa yang sejak 2012 mendapatkan sertifikat Lokasi Potensial Program Kampung Iklim atau Proklim, dari Kementerian Lingkungan Hidup. Sertifikat ini cukup membanggakan desa di Kecamatan Cidaun itu, karena mereka menjadi satu-satunya desa dari 5,242 yang ada di Jawa Barat yang mendapatkannya.

Perjalanan dimulai dari terminal bus Ciwidey di pusat kota Cianjur, lalu melintas dengan minibus selama empat jam melalui perkebunan tek Rancabalong ke Desa Lodok. Jalannya buruk, berlubang di sana-sini, belum aspal hanya dikeraskan makadam di beberapa ruas saja. Dari Lodok, bisa memilih jalan kaki delapan kilometer atau menyewa ojek.

Jalur terakhir ke Mekarjaya ini bahkan lebih buruk karena lubang-lubang di jalan yang dipenuhi lumpur tebal dan jurang dalam di kiri-kanan jalan.  Mekarjaya memiliki luas 1.458 hektar, menaungi enam dusun antara lain Pasirhuni, Cilemo,  Cibitung, Mekarjaya, Girijaya dan Cipareang. Menurut data sensus September 2013, Mekarjaya didiami 817 kepala keluarga dengan jumlah jiwa mencapai 2.626 orang. Rumah penduduk terpisah-pisah dan tersebar di antara teras-teras sawah dan tepi hutan yang berhawa dingin. 

Desa Mekarjaya terletak di dataran tinggi yang dikellingi perbukitan 800-1.823 meter dari atas permukaan laut. Orang-orang desa menyebut perbukitan itu Gunung Simpang. Tahun 1979, Menteri Pertanian mengeluarkan keputusan yang menetapkan Gunung Simpang seluas 15 ribu hektare sebagai cagar alam, dan  masuk ke dalam dua kabupaten, yaitu Cianjur dan Bandung. Walaupun cagar alam ini masih berstatus yang terluas di Jawa Barat, tetapi tahun 2003 luasnya berkurang 20 persen.  Bahkan, data citra satelit Landsat ETM Plus tahun 2001-2010 menunjukkan, areal non vegetasi di Gunung Simpang dan di sekitarnya meningkat menjadi  50 persen, termasuk di dalam kawasan cagar alam.

Panen Menurun, Sungai Mengeruh 

Pembalakan liar di cagar alam dimulai ketika terjadi gerakan perubahan politik nasional tahun 1998 atau orang mengenalnya sebagai gerakan reformasi. Saat itu, hampir semua kawasan hutan di Indonesia, terutama pulau Jawa, seolah-olah tanpa tuan, tanpa penjagaan, dan masyarakat boleh berbuat apa saja. Alhasil, dalam waktu beberapa tahun saja ribuan hektar hutan Gunung Simpang gundul.

Dan kehilangan hutan berarti bencana untuk desa itu. Tahun 2001, satu keluarga tertimbun tanah longsor, karena hujan lebat  menghanyutkan tanah.  Tahun 2011 bencana longsor menerjang lagi dan masih di tahun yang sama, tiba-tiba kekeringan selama tiga bulan datang, sehingga hampir seluruh sawah di desa itu gagal panen. Kerusakan cagar alam itu  mengakibatkan kerugian yang ditaksir mencapai 1,5 milyar per tahun. Sekitar 600 kincir air kecil milik masyarakat juga berhenti beroperasi karena debit air menurun drastis, sehingga 1.800 rumah tidak lagi berlistrik. 

Bencana juga menimpa panen mereka karena  berkurangnya air yang masuk ke sawah, dan padi menjadi puso. Air keruh karena berlumpur juga sulit untuk diminum, padahal semua rumah mengandalkan air sungai  sebagai sumber air minum.  “Pada tahun 2001-2002, sawah-sawah disini paling hanya bisa panen satu kali dalam setahun, bukit-bukit yang mengelilingi desa banyak sekali yang gundul,” ungkap Apep, warga Mekarjaya, kepada Ekuatorial (8/2).

Tahun 2000 Yayasan Pribumi Alam Lestari (YPAL), sebuah organisasi non-pemerintah dari  Bandung, datang ke Mekarjaya. Awalnya mereka ingin melakukan survei distribusi dan habitat burung Elang Jawa (Spizaetus bartelsi),  tetapi setelah melihat kerusakan cagar alam dan hutan yang masih dapat diselamatkan, mereka ingin mengajak warga menjaga sumber mata air itu.  Tak sedikit yang mencibir bahkan menentang langkah YPAL, karena aparat desa punya hubungan dengan para pembalak liar.

Untuk memperkuat basisnya di desa,  YPAL membentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang menjadi motor utama menggerakkan pelestarian lingkungan hidup dan rehabilitasi hutan di Mekarjaya. Sekitar 200 ribu batang  pohon albasiah (sengon), surian (suren), mahoni, gamelina (gamal), mereka tanam di kawasan cagar alam. Sebagian besar pohon itu ditanam di tanah warga, “Agar mereka punya sumber kayu sendiri, jadi tidak mencuri kayu lagi dari cagar alam,” Ridwan.

Kelompok swadaya itu juga rajin melakukan patroli hutan, dan berhasil menangkap beberapa penebang liar. Melihat aksi yang begitu frontal ini, kontan menimbulkan rasa tak suka dari masyarakat dan aparat desa, yang menurut Ridwan Soleh dari YPAL, memiliki kepentingan dengan sindikat penebang liar. “KSM diserang balik dengan dipertanyakan dasar hukumnya dan berbagai modus lain yang ingin melemahkan” kata Ridwan  diwawancarai Ekuatorial di Bandung (9/2).

Gerakan dari Akar Rumput

Kabar baik untuk KSM datang tahun 2003 ketika Gubenur Jawa Barat R.Nuriana menyerukan gerakan “Jeda Balak” atau penghentian sementara semua kegiatan menebang hutan.  Dengan peraturan otonomi daerah yang saat itu baru ditetapka, gubernur memang berhak melarang aktivitas di hutan mereka. Masyarkat lima desa di kawasan Gunung Simpang juga mendeklarasikan “Raksa Bumi”, sebuah satuan tugas para pelestari lingkungan. 

Menariknya, 90% anggota yang tergabung dalam Raksa Bumi adalah pelaku atau mereka yang pernah berhubungan dengan kegiatan pembalakan liar di cagar alam. “Mereka itu penting, karena mengetahui kondisi lapangan,”kata Ridwan soal alasannya merekrut mantan pembalak.  Saat peluncuran,  Raksa Bumi ini membuat acara cukup besar di ibukota Kecamatan Cidaun dan Kota Cianjur, dan berhasil menghadirkan tokoh Jawa Barat yang disegani yaitu Solichin G.P. dan tokoh lingkungan hidup nasional Emil Salim yang juga dikenal  luas sebagai mantan menteri lingkungan hidup.

Raksa Bumi tak ingin jadi macan kertas.Satuan ini segera bergerak  melawan para pembalak liar. Tahun 2003-2004 misalnya, mereka berhasil menyita sekurangnya 61 gergaji mesin (chainsaw) dari lima desa, membawa puluhan kasus pembalakan liar ke pengadilan, bahkan pernah mengarak dua pembalak liar yang membandel  dari Desa Cibuluh ke Polsek Cidaun yang berjarak 30 km. Saat yang sama, Raksa Bumi melakukan pembibitan dan reboisasi di lahan yang terlanjur gundul.

Gerakan pembibitan semakin digandrungi setelah warga melihat langsung hasil dari aktifitas ini. Pada pertengahan 2007, 1.000 kubik kayu sengon (Albizia chinensis) yang ditanam beberapa tahun sebelumnya diborong oleh pengusaha peti kemas dengan harga 250 ribu rupiah per kubik. Warga pun berlomba menanam di setiap lahan kosong. Masyarakat juga telah melakukan perencanaan tata guna lahan secara partisipatif, kemudian mendukung dikeluarkannya peraturan desa yang berisi berbagai kesepakatan mengenai pengelolaan sumber daya hutan.

Salah satu jasa lingkungan yang diberikan oleh hutan adalah air bersih.  Itu sebabnya, YPAL bersama dengan warga  Mekarjaya bertekda menjadi desa mandiri energi, ditambah pula listrik dari Perusahaan Listrik negara (PLN) belum masuk desa.  Saat ini, dengan mengambil aliran air dari Sungai Cimaragang, telah beroperasi 1 unit turbin 22 Kilowatt (kW) hibah dari International Union for the Conservation of Nature (IUCN) Belanda, serta 2 unit turbin berkapasitas produksi 5 kW sumbangan dari PLN. Listrik ini kemudian dikelola swadaya oleh warga-tanpa dijual terlebih dahulu ke PLN- dengan tagihan  Rp 20 ribu setiap rumah/bulan. Pasokan listrik bagi warga enam dusun di Mekarjaya bergantung pada ketiga pembangkit mikrohidro ini selain panel surya yang telah diinstalasi pada 46 rumah.

YPAL bersama warga juga pernah membangun jaringan radio komunitas sebagai sistem peringatan dini bencana, pendidikan, pencegahan tindak kriminal dan berbagai kebutuhan insidentil. Sayangnya, karena keterbatasan dana perawatan dan sumber daya yang fokus mengurus, saat ini radio ini sudah tidak lagi beroperasi 

Menuju Kampung Iklim

Program Kampung Iklim atau Proklim pertama kali dicanangkan KLH bertepatan dengan peringatan Hari Cinta Puspa dan Satwa yang digelar di Istana Wakil Presiden, pada tanggal 19 November 2012. Pada saat itu, anugerah Sertifikat Proklim diserahkan pada 7  lokasi, dan 4 lokasi mendapat Sertifikat Pengembangan ProKlim.  Dalam pelaksanaannya, tim dari KLH memiliki pedoman dan panduan teknis penilaian lokasi, dan kemudian akan bekerjasama untuk melakukan verifikasi ke lokasi yang diusulkan.

“Kita berharap dengan adanya lokasi yang memperoleh penghargaan ProKlim ini, bisa menjadi panutan atau role model bagi daerah lain terkait kesiapan dalam menghadapi perubahan iklim,” kata  Sri Tantri Arundhati, Asisten Deputi Perubahan Iklim KLH saat dihubungi Ekuatorial, Kamis (13/2). Tantri lebih lanjut menerangkan bahwa dalam mengelola lokasi-lokasi ProKlim, KLH memberikan dukungan teknis dalam bentuk peningkatan kapasitas (capacity building) serta menjadi penghubung kebutuhan masyarakat dengan perusahaan atau departemen terkait. Beberapa sektor swasta seperti Astra, Indocement, dan Pertamina saat ini telah memberikan dukungan konkritnya pada beberapa lokasi ProKlim.

Setelah melalui beberapa kriteria seleksi, Mekarjaya akhirnya lolos sebagai satu-satunya lokasi di Jawa Barat yang memenuhi persyaratan mendapat Sertifikat Pengembangan ProKlim. Pertimbangan dalam penetapan lokasi ProKlim ditinjau dari tiga komponen, yakninya kegiatan adaptasi, kegiatan mitigasi perubahan iklim serta kelompok masyarakat dan dukungan berkelanjutan.

Terkait signifikansi pengurangan emisi di lokasi-lokasi yang dianugerahi sertifikat Proklim, Tri Widayati, dari Asisten Deputi Adaptasi Perubahan Iklim menjelaskan bahwa saat ini KLH sedang mengembangkan pedoman penghitungan teknis sederhana, dengan maksud agar penghitungan emisi GRK kedepannya bisa dilakukan secara “self assessment” oleh masyarakat setempat dan atau Badan Lingkungan Hidup (BLH) di tiap kabupaten/kota.

Visi ke Depan

Saat ditanya perubahan apa yang dirasakan paling signifikan setelah melakukan pendampingan masyarakat selama kurun 13 tahun, Ridwan dari YPAL menyatakan kegembiraannya terhadap perubahan positif pada perilaku warga. “Pelestarian lingkungan Cagar Alam Gunung Simpang saat ini telah menjadi gerakan sosial, sehingga masyarakat enggan merusak hutan dan lingkungan, karena akan dikenai sanksi sosial yang notebene lebih mengena dibanding sanksi hukum,” ujarnya saat ditemui di  Markas YPAL  di kawasan Cibeureum, Bandung. Beragam program lingkungan yang dijalankan juga dirasakan telah berhasil mengubah pola hubungan sosial masyarakat dengan hutan, dimana masyarakat yang tadinya eksploitatif terhadap sumber daya hutan, menjadi lebih arif dalam memanfaatkan hutan dan memaksimalkan nilai gunanya. Ia berharap dengan penghargaan Proklim dari KLH dan makin meluasnya publikasi mengenai Desa Mekarjaya ini dapat terus menjaga semangat warga dalam mewariskan alam lestari bagi anak cucu. Azhari Fauzi, IGG Maha Adi

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.