Menurut Food Estate dikhawatirkan hanya bertujuan mengganti produsen pangan dari tangan petani ke tangan korporasi.

Merauke kembali menjadi playing fields para elit, baik elit kekuasaan maupun elit bisnis mengatasnamakan kepentingan ketahanan pangan nasional. Merauke sebagai area bidikan pemerintah untuk lokasi Food Estate (FE) sesungguhnya bukan hal baru.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyatakan, saat proyek kawasan ketahanan pangan dan energi terintegrasi di Merauke (MIFEE) diluncurkan Pemerintahan SBY, proyek ini tidak saja dianggap gagal, tetapi juga mengundang kontroversi dan menimbulkan segudang masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya bagi Masyarakat Papua.
Presiden Jokowi melanjutkan MIFEE dengan kemasan baru Food Estate (Lumbung Pangan), dan areanya diperluas tidak hanya di Papua. Maluku, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Sumatera dan Jawa turut menjadi target FE yang menempatkan korporasi dan tentara sebagai eksekutor proyek di lapangan.
KPA mencatat, tahun 2025 dianggarkan triliun rupiah untuk program ketahanan pangan, khususnya yang dikelola oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian.
“Hasilnya, segudang masalah di lokasi-lokasi food estate sejak perencanaan sampai pelaksanaannya, lalu setiap tahun pemerintah terus “menyanyikan lagu lama” tentang krisis pangan,” demikian pernyataan Konsorsium Pembaruan Agraria.
Menurut KPA, impor pangan menjadi bisnis di lingkaran pejabat, pengusaha, dan mafia pangan.
Food Estate Merauke dihidupkan kembali
Food Estate Merauke dihidupkan kembali sebagai target area FE dengan label proyek strategis nasional (PSN). Sebagai PSN, FE dinyatakan untuk meraih swasembada beras melalui cetak sawah baru, dan memenuhi kebutuhan gula serta bioethanol melalui perkebunan tebu.
Dari 3,13 juta hektar proyek FE di 21 lokasi dan 11 provinsi, FE Merauke ditargetkan seluas 2,29 juta hektar.
“Target di Merauke ini sama luas dengan monopoli tanah oleh PERHUTANI di seluruh Pulau Jawa, yang telah berhasil merampas tanah, menyebabkan konflik agraria dengan petani, memperparah ketimpangan tanah dan pemiskinan structural di pedesaan di Jawa,” kata KPA.
Lantas apa yang salah dari Food Estate? Ada bahaya Food Estate yang menjadi “bom waktu” yang siap meledak jika konsep, model dan praktek pertanian skala raksasa berbasis korporasi dan militer ini diteruskan oleh Presiden baru ke depan.
Apalagi ini menyangkut urusan perut rakyat, urusan masa depan pertanian rakyat dan pertanian rumah tangga yang ingin dipunahkan secara sistemik.
Bahaya tersebut antara lain, masalah politik pangan nasional. Secara konsep dan praktek Food Estate bertujuan mengganti produsen pangan kita dari tangan petani ke tangan korporasi.
“Ini berbahaya secara politik pangan, sebab pertanian berbasis korporasi akan menghancurakan sentra-sentra pertanian rakyat, dan selanjutnya pangan kita diserahkan kontrolnya ke tangan pengusaha,” kata KPA.
Sebagai perbandingan, Indonesia adalah penghasil CPO terbesar di dunia, dan kita tahu bahwa bisnis sawit selama ini dikuasai dan didominasi korporasi-korporasi raksasa.
“Akibatnya, pemerintah kita sangat dikontrol oleh para pelaku bisnis sawit, sampai tidak bisa mengontrol harga minyak goreng, orientasi pembangunan di sektor perkebunan pun kuat disetir kelompok pemodal, menjadikan jutaan Petani dan Masyarakat Adat vis a vis dengan perusahaan perkebunan,” kata KPA.
- Bahaya bahan kimia plastik pada kesehatan, peneliti Unpad kembangkan plastik ramah lingkunganLebih dari 13.000 jenis bahan kimia plastik digunakan secara global. Dari jumlah tersebut, lebih dari 3.200 bahan berbahaya bagi kesehatan.
- Warga Dairi mendesak KLHK patuh pada putusan Mahkamah AgungPerusahaan tambang di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara masih beroperasi tanpa persetujuan lingkungan yang sudah dibatalkan Mahkamah Agung.
- Masjid Al Muharram Brajan gunakan panel surya, teladan transisi energi bersihPanel-panel surya mampu mengurangi emisi karbon. Listrik yang ada saat ini dihasilkan energi kotor batu bara.
- Deforestasi Memicu Krisis Ekologis dan Merusak Keanekaragaman Hayatidi Sumatera UtaraKerusakan hutan di Sumatera Utara menunjukkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Daerah Sumatera Utara mengungkap bahwa deforestasi merupakan penyebab utama rusaknya ekosistem hutan di berbagai kabupaten. Dalam laporan berjudul “Ribak! Risalah Bumi Para Ketua”, WALHI Sumut mencatat kerusakan hutan terjadi di Tanah Karo, Tapanuli Selatan, Dairi, Tapanuli Utara, Toba, Simalungun,… Baca selengkapnya: Deforestasi Memicu Krisis Ekologis dan Merusak Keanekaragaman Hayatidi Sumatera Utara
- WALHI mengkritik proyek panas bumi tidak melibatkan rakyatWahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Timur (WALHI NTT) menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan pengembangan panas bumi (geothermal) yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Pulau Flores. WALHI menilai kebijakan tersebut tidak melibatkan masyarakat secara langsung dan sarat dengan pendekatan top-down yang bertentangan dengan semangat desentralisasi. Pernyataan ini disampaikan… Baca selengkapnya: WALHI mengkritik proyek panas bumi tidak melibatkan rakyat
- Food Estate, jalan lama yang mengkhawatirkan bagi para petaniPemerintah menempatkan ketahanan pangan sebagai prioritas utama dalam strategi pembangunan nasional. Indonesia ditargetkan mampu mencapai swasembada pangan dalam empat hingga lima tahun ke depan. Namun, langkah ambisius ini kembali menempatkan kebijakan food estate sebagai andalan utama, kebijakan yang justru menyimpan rekam jejak penuh masalah di masa lalu. Kebijakan food estate sejatinya bukan hal baru. Program… Baca selengkapnya: Food Estate, jalan lama yang mengkhawatirkan bagi para petani