Meskipun bukan asli produk lokal Papua, piring gantung memiliki sejarah pajang dari interaksi antara pedagang Tiongkok dan masyarakat Papua.

Piring gantung, atau yang dikenal dalam bahasa Biak sebagai ben bepon, merupakan salah satu simbol budaya yang sangat penting bagi masyarakat Papua, khususnya suku Biak dan Serui. Meskipun bukan asli produk lokal Papua, piring gantung memiliki sejarah yang panjang dan kaya sebagai hasil dari interaksi antara pedagang Tiongkok dan masyarakat Papua berabad-abad yang lalu.
Mengutip EcoNusa, Piring ini lebih dari sekadar alat makan, ia merupakan simbol ikatan budaya, kekayaan, dan penghormatan dalam kehidupan masyarakat Biak.
Asal usul
Pada masa lalu, pedagang Tiongkok menjelajahi wilayah timur Indonesia, termasuk Papua, melalui jalur perdagangan yang melintasi Kesultanan Tidore hingga Teluk Cenderawasih. Mereka membawa berbagai barang, salah satunya adalah keramik yang kemudian dikenal sebagai piring gantung. Piring ini bukan hanya sekadar barang dagangan, tetapi juga menjadi bagian dari tradisi yang melekat erat dengan kehidupan sosial masyarakat Biak. Dalam beberapa kasus, pedagang Tiongkok bahkan menetap di Papua dan menikahi putri kepala suku setempat. Sebagai simbol ikatan dan penghormatan, mereka memberikan piring gantung kepada keluarga mempelai wanita, yang kemudian dijadikan bagian dari adat dan tradisi masyarakat.
Makna dan fungsi
Piring gantung memiliki makna yang sangat dalam dan beragam dalam kehidupan sosial dan adat masyarakat Biak. Salah satu fungsi utamanya adalah sebagai mas kawin dalam upacara pernikahan adat Biak. Piring ini menjadi salah satu simbol penghormatan dari pihak laki-laki kepada keluarga perempuan. Selain itu, keramik ini juga digunakan dalam berbagai upacara adat lainnya, seperti penyambutan tamu kehormatan, upacara pemotongan rambut bayi yang baru lahir, dan acara penyucian diri. Fungsi simbolik ini menjadikan benda ini lebih dari sekadar barang seni, tetapi juga bagian penting dari ritual dan kepercayaan masyarakat.
Simbol status sosial
Kepemilikan piring gantung juga memiliki makna sosial yang sangat kuat. Piring yang semakin banyak dan antik dianggap sebagai simbol status sosial yang tinggi. Semakin beragam dan langka piring yang dimiliki, semakin tinggi pula posisi sosial pemiliknya dalam masyarakat. Oleh karena itu, memiliki koleksi piring gantung yang berharga bukan hanya mencerminkan kekayaan material, tetapi juga menandakan kedudukan yang dihormati dalam struktur sosial adat
Keunikan
Piring gantung tidak hanya dihargai karena nilai sejarah dan fungsinya, tetapi juga karena keindahan dan kekayaan motif yang ada pada setiap piring. Biasanya, piring ini dihiasi dengan gambar-gambar yang kaya akan makna, seperti naga, burung cenderawasih, ikan, dan berbagai ornamen lainnya. Naga, yang merupakan simbol keberuntungan dalam budaya Tiongkok, diadopsi oleh masyarakat Biak dan dianggap sebagai pelindung serta pembawa keberuntungan bagi pemiliknya.
Tradisi ararem
Salah satu tradisi yang melibatkan piring gantung adalah ararem, yakni ritual pengantaran mas kawin dalam upacara pernikahan adat Biak. Dalam prosesi ini, keluarga pengantin laki-laki membawa piring gantung bersama dengan barang-barang lain, diiringi dengan tarian dan nyanyian tradisional menuju rumah keluarga pengantin perempuan. Tradisi ini tidak hanya memperkuat hubungan antar keluarga, tetapi juga melambangkan penyatuan dua keluarga dalam ikatan pernikahan yang sakral.
Pelestarian warisan budaya
Seiring berjalannya waktu, meskipun dunia terus berkembang dengan kemajuan teknologi, masyarakat Biak tetap menjaga dan melestarikan tradisi produk tradisi ini. Pelestarian warisan budaya ini sangat penting agar generasi mendatang tetap dapat memahami dan menghargai makna mendalam dari piring gantung sebagai simbol kehormatan, kekayaan, dan ikatan sosial dalam kehidupan masyarakat Papua.
- Laut, Identitas yang Terancam Tambang Emas di SangiheAktivitas tambang emas yang mulai beroperasi di pulau kecil Sangihe mengubah kehidupan masyarakat. Pola hidup warga terganggu.
- Menanti keberhasilan rehabilitasi macan tutulPredator terbesar di Pulau Jawa, macan tutul jawa (Panthera pardus melas) masih dalam status ‘terancam punah’
- Menguatkan pemenuhan hak atas tanah warga Sulawesi Tenggara melalui pendidikanKPA dan ForSDa Gelar Pendidikan Kader di Kolaka, Sulawesi Tenggara di tengah ketimpangan kepemilikan tanah.
- Persidangan gugatan warga terhadap perusahaan pemicu kabut asap terus bergulirHakim persidangan didesak tidak hanya menghukum para tergugat, tetapi memerintahkan pemulihan lahan gambut yang rusak karena terbakar.
- Menangkarkan kodok darah: upaya menambah indikator kesehatan lingkunganTaman Safari Indonesia menangkarkan kodok darah. Amfibi ini masuk dalam kategori kritis atau critically endangered menurut lembaga konservasi alam internasional, IUCN.
- Pergerakan magma dan kaitannya dengan bencana vulkanikDiperlukan metode analisis kimia beresolusi tinggi untuk memahami pergerakan magma dari dalam bumi hingga menimbulkan bencana vulkanik.