Perjalanan menuju mobil listrik yang benar-benar berkelanjutan masih panjang, menuntut perbaikan di setiap tahap siklus hidupnya.

Mobil listrik (EV) seringkali dipandang sebagai pahlawan dalam perang melawan perubahan iklim, sebuah kunci untuk membersihkan sektor transportasi yang menyumbang emisi signifikan. Pesona utamanya terletak pada janji nol emisi gas buang, menawarkan harapan udara kota yang lebih segar dan jejak karbon yang lebih ringan di jalanan. Namun, di balik citra hijaunya, tersembunyi sebuah pertanyaan kompleks: seberapa ramah lingkungan sesungguhnya mobil listrik jika kita melihat keseluruhan perjalanannya, dari tambang hingga akhir masa pakainya? 

Perjalanan sebuah EV dimulai dengan beban lingkungan yang tak terlihat. Proses produksinya, terutama pembuatan baterai lithium-ion berkapasitas besar, ternyata meninggalkan jejak karbon awal yang cukup besar, sering disebut sebagai “utang karbon”. Faktanya, emisi dari pembuatan baterai saja bisa menyumbang 40% hingga 60% dari total emisi produksi mobil listrik, bahkan bisa setara atau lebih besar dari emisi pembuatan seluruh komponen mobil lainnya. 

Yang Shao-Horn, Profesor Teknik di MIT, menjelaskan salah satu alasannya. “Untuk menyintesis material yang dibutuhkan untuk produksi, diperlukan panas antara 800 hingga 1.000 derajat Celsius—suhu yang hanya dapat dicapai secara hemat biaya dengan membakar bahan bakar fosil, yang kembali menambah emisi CO2,” ungkapnya.

Besarnya “utang” ini sangat bervariasi, tergantung pada sumber energi yang digunakan pabrik—produksi di Tiongkok yang bergantung pada batu bara, misalnya, cenderung menghasilkan emisi lebih tinggi daripada di Eropa dengan energi yang lebih bersih—serta proses penambangan dan pemurnian bahan baku seperti lithium, kobalt, dan nikel.

Lebih jauh ke hulu, penambangan material baterai ini membawa dampak lingkungan dan sosial yang serius. Ekstraksi lithium, terutama di Amerika Selatan, menguras sumber daya air yang langka di daerah kering, mengancam ekosistem dan kehidupan masyarakat adat. Penambangan kobalt di Republik Demokratik Kongo sering dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pekerja anak dan kondisi kerja berbahaya. 

Sementara itu, penambangan nikel dan mineral lainnya dapat menyebabkan polusi tanah dan air yang parah serta kerusakan ekosistem. Kumi Naidoo dari Amnesty International menekankan perlunya mengubah arah, atau mereka yang paling tidak bertanggung jawab atas perubahan iklim – masyarakat adat dan anak-anak – akan membayar harga untuk peralihan dari bahan bakar fosil. “Solusi energi masa depan tidak boleh didasarkan pada ketidakadilan masa lalu,” katanya. Isu-isu ini menggarisbawahi bahwa keramahan lingkungan EV tidak bisa diukur hanya dari emisi karbon.

Namun, begitu EV melaju di jalan raya, keunggulannya menjadi nyata. Ketiadaan emisi gas buang secara langsung berarti udara perkotaan yang lebih bersih dan lingkungan yang lebih tenang. Meski begitu, jejak karbonnya belum sepenuhnya hilang. Dari perspektif “well-to-wheel” (dari sumber energi hingga roda), emisi EV sangat bergantung pada sumber listrik yang digunakan untuk mengisi dayanya. 

David Keith, profesor di MIT Sloan School of Management, mengilustrasikan kendaraan listrik yang berjalan dengan [listrik yang dihasilkan dari] batu bara memiliki efisiensi bahan bakar setara sekitar 50 hingga 60 mil per galon. “Jadi EV paling kotor terlihat seperti mobil bensin terbaik kita yang tersedia saat ini,” katanya.

Sebaliknya, jika listrik berasal dari sumber terbarukan atau rendah karbon, emisi penggunaannya sangat minim. Keith menambahkan, “Di New England atau Pacific Northwest, efisiensi bahan bakar setara EV mencapai ratusan: 110-120 mil per galon setara”. 

Studi Analisis Siklus Hidup (LCA) secara konsisten menunjukkan bahwa EV tetap lebih unggul dalam jangka panjang di hampir semua wilayah. Nikolas Hill, manajer proyek di konsultan Ricardo, menyimpulkan dari studi mereka. “Penilaian kami menunjukkan bahwa sepanjang siklus hidup mereka di Uni Eropa, kendaraan listrik baru diharapkan memiliki dampak iklim yang jauh lebih rendah dibandingkan kendaraan mesin pembakaran konvensional”.

Di Eropa dan AS, misalnya, mobil listrik yang terdaftar pada tahun 2021 memiliki emisi siklus hidup 60-69% lebih rendah dibandingkan mobil bensin, sementara di Tiongkok dan India angka ini lebih rendah (19-45%) karena jaringan listrik yang lebih padat karbon. Kabar baiknya, seiring dekarbonisasi jaringan listrik global, keunggulan EV ini diproyeksikan akan terus meningkat. 

Titik impas, di mana EV menjadi lebih bersih secara keseluruhan dibandingkan mobil bensin setelah memperhitungkan “utang karbon” produksinya, umumnya tercapai dalam jarak tempuh yang wajar, terutama dengan listrik bersih. Klaim bahwa titik impas ini sangat jauh seringkali didasarkan pada asumsi yang keliru, seperti yang ditunjukkan oleh Auke Hoekstra dari TU Eindhoven yang mengoreksi perkiraan titik impas Volvo C40 dari 68.400 mil menjadi sekitar 16.000 mil berdasarkan data yang lebih realistis.

Akhir perjalanan EV menghadirkan tantangan baru: pengelolaan baterai bekas pakai. Dengan lonjakan jumlah EV, volume limbah baterai akan meningkat drastis. Daur ulang adalah solusi kunci, memungkinkan pemulihan material berharga seperti lithium dan kobalt, mengurangi kebutuhan penambangan baru, dan mencegah polusi. Secara teknis, lebih dari 90-95% material baterai dapat didaur ulang.

Namun, saat ini, tingkat daur ulang global masih sangat rendah, diperkirakan hanya 5-10%, terhambat oleh biaya yang tinggi, logistik yang rumit, kurangnya standardisasi desain baterai, dan tantangan teknologi. Jika baterai ini berakhir di tempat pembuangan sampah, logam berat dan bahan kimia beracun di dalamnya dapat mencemari tanah dan air tanah (lindi), sementara lithium yang reaktif menimbulkan risiko kebakaran serius. Kumi Naidoo mengingatkan, “Setiap tahap siklus hidup baterai, dari ekstraksi mineral hingga pembuangan, membawa risiko hak asasi manusia dan lingkungan”.

Aplikasi “kehidupan kedua” (second life), seperti menggunakan baterai bekas untuk penyimpanan energi stasioner, dapat memperpanjang masa pakainya sebelum didaur ulang, namun kelayakan ekonominya dalam skala besar masih perlu dibuktikan.

Jadi, apakah kendaraan listrik benar-benar ramah lingkungan? Jawabannya adalah ya, secara umum lebih baik daripada alternatif bensin atau diesel, terutama dalam jangka panjang. Namun, predikat “hijau” ini datang dengan catatan penting. Untuk memaksimalkan potensi keberlanjutannya, diperlukan upaya bersama. Dekarbonisasi jaringan listrik adalah kunci utama. Selain itu, industri perlu mengurangi jejak karbon produksi baterai melalui energi terbarukan dan inovasi, memastikan sumber material yang etis dan bertanggung jawab, serta mengembangkan ekonomi sirkular yang efektif untuk daur ulang dan penggunaan kembali baterai. 

Auke Hoekstra menegaskan, “…Anda memahami bahwa transportasi listrik adalah satu-satunya jalan ke depan”, namun perjalanan ini harus dilakukan secara bertanggung jawab.

Pemerintah memegang peran penting dalam menetapkan regulasi yang mendukung transisi ini, sementara konsumen dapat membuat pilihan yang terinformasi dan mendukung praktik berkelanjutan. Perjalanan menuju mobilitas listrik yang benar-benar berkelanjutan masih panjang, menuntut perbaikan terus-menerus di setiap tahap siklus hidupnya.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.