Anak muda Indonesia semakin mengadopsi gaya hidup ramah lingkungan, didorong oleh kesadaran akan krisis iklim dan pengaruh media sosial, mengubah kepedulian terhadap bumi menjadi praktik keren sehari-hari seperti thrifting dan zero waste.
Pernah nggak sih, kamu merasa resah lihat tumpukan sampah plastik di sudut kota, atau khawatir soal perubahan iklim yang makin terasa dampaknya? Tenang, kamu nggak sendirian! Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, ada sebuah pergeseran menarik yang sedang terjadi di kalangan anak muda Indonesia. Dulu, mungkin slogan “YOLO” (You Only Live Once) yang identik dengan gaya hidup serba cepat dan konsumtif begitu menggema. Tapi kini, angin perubahan mulai berhembus. Semakin banyak Generasi Z dan Milenial yang sadar bahwa bumi ini cuma satu, dan masa depan kita bergantung padanya.
Kesadaran ini bukan lagi sekadar obrolan warung kopi atau tagar di media sosial. Gaya hidup ramah lingkungan, atau sustainable living, kini menjelma menjadi sebuah gerakan nyata yang diadopsi oleh anak muda Indonesia. Mereka melihat langsung dampak kerusakan lingkungan—mulai dari kualitas udara yang menurun hingga krisis air bersih—dan menyadari bahwa generasi merekalah yang akan menanggung akibat terbesar jika tidak ada perubahan. Ini bukan lagi sekadar tren sesaat, melainkan sebuah pilihan sadar yang menjadi bagian penting dari identitas dan gaya hidup mereka.
Kami akan mengajakmu menyelami dunia gaya hidup hijau ala anak muda Indonesia: apa saja tren yang sedang hits, siapa sosok inspiratif di baliknya, apa motivasi mereka, tantangan apa yang dihadapi, dan bagaimana kamu juga bisa ikut ambil bagian dalam gerakan keren ini.
Tren hijau yang lagi hits
Lupakan kesan kuno atau ribet. Gaya hidup ramah lingkungan di tangan anak muda Indonesia justru tampil stylish, kreatif, dan penuh semangat. Mereka berhasil mengubah kepedulian terhadap bumi menjadi serangkaian praktik sehari-hari yang tidak hanya berdampak positif, tapi juga dianggap keren dan relevan dengan zaman. Ini bukan lagi soal pengorbanan, tapi tentang pilihan cerdas untuk hidup yang lebih baik dan seimbang.
Gerakan sustainable living atau gaya hidup berkelanjutan kini semakin marak. Bagi sebagian anak muda, ini adalah kewajiban moral, sementara bagi yang lain, ini adalah lifestyle keren yang patut diikuti. Data menunjukkan tren positif ini; survei mencatat bahwa mayoritas masyarakat Indonesia pernah membeli produk ramah lingkungan, dengan Generasi Z menjadi kelompok yang dominan dalam penggunaannya. Ini menandakan bahwa keberlanjutan mulai merasuk ke berbagai aspek kehidupan, mulai dari pilihan produk sehari-hari hingga cara mereka berinteraksi dengan lingkungan.
Salah satu bintang utama dalam tren ini adalah Zero Waste Lifestyle atau gaya hidup minim sampah. Konsep ini mendorong kita untuk mengurangi produksi sampah seminimal mungkin, bahkan hingga nol, melalui prinsip 5R: Refuse (menolak yang tidak perlu), Reduce (mengurangi konsumsi), Reuse (menggunakan kembali), Recycle (mendaur ulang), dan Rot (mengomposkan sampah organik). Praktik nyata yang sering terlihat adalah kebiasaan membawa tas belanja kain sendiri, menggunakan botol minum isi ulang (tumbler), membawa wadah makanan sendiri, dan menolak penggunaan plastik sekali pakai seperti sedotan atau kantong kresek. Upaya ini didorong oleh kesadaran akan bahaya sampah plastik yang sulit terurai dan mencemari lingkungan, terutama lautan Indonesia yang kaya.
Di ranah fashion, Thrifting atau berburu pakaian bekas menjadi fenomena besar. Jauh dari kesan kumuh, thrifting kini digandrungi karena menawarkan gaya unik, vintage, dan anti-mainstream dengan harga yang jauh lebih terjangkau dibandingkan membeli baju baru. Sensasi “berburu harta karun” di tumpukan baju bekas memberikan kepuasan tersendiri. Lebih dari sekadar gaya dan hemat, thrifting adalah bentuk perlawanan terhadap industri fast fashion yang boros sumber daya dan menghasilkan banyak limbah tekstil. Dengan membeli barang bekas, anak muda turut memperpanjang usia pakai pakaian dan mengurangi dampak negatif produksi baru.
Secara umum, Mengurangi Sampah Plastik menjadi fokus utama. Selain membawa peralatan makan dan minum sendiri, anak muda juga mulai lebih selektif memilih produk dengan kemasan minimal atau yang mudah didaur ulang. Beberapa bahkan mulai melirik sistem isi ulang (refill) untuk produk kebutuhan sehari-hari seperti sabun atau deterjen, meskipun akses ke toko refill atau bulk store masih menjadi tantangan di beberapa tempat. Kesadaran akan volume sampah plastik yang masif di Indonesia menjadi pendorong kuat di balik gerakan ini.
Perubahan juga terlihat dalam mobilitas. Transportasi Hijau semakin diminati. Banyak anak muda yang mulai beralih menggunakan transportasi umum, bersepeda, atau berjalan kaki untuk aktivitas sehari-hari, terutama di perkotaan. Survei menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak muda menggunakan transportasi umum beberapa kali dalam seminggu. Pilihan ini tidak hanya mengurangi emisi karbon dari kendaraan pribadi tetapi juga seringkali lebih efisien dan menyehatkan.
Pemilihan Produk Ramah Lingkungan dalam keseharian juga meningkat. Mulai dari peralatan makan bambu, kosmetik organik atau vegan, pembersih rumah tangga berbahan alami, hingga lampu LED hemat energi, pilihan produk yang lebih bersahabat dengan bumi semakin beragam. Menariknya, cukup banyak anak muda yang bersedia membayar lebih mahal untuk produk ramah lingkungan, menunjukkan adanya komitmen nilai di balik pilihan konsumsi mereka. Meskipun begitu, frekuensi pembelian produk ramah lingkungan masih bervariasi, menunjukkan adanya ruang untuk pertumbuhan dan konsistensi.
Tren lainnya yang turut mewarnai gaya hidup hijau ini meliputi meningkatnya minat pada pola makan berbasis nabati (plant-based diet) karena alasan kesehatan dan lingkungan, praktik berkebun di perkotaan (urban farming), adopsi gaya hidup minimalis untuk mengurangi konsumsi berlebih, serta dukungan terhadap produk lokal yang dianggap lebih berkelanjutan.
Munculnya beragam tren ini, mulai dari fashion hingga pilihan makanan dan transportasi, menandakan bahwa keberlanjutan tidak lagi dipandang sebagai isu tunggal, melainkan telah terintegrasi secara holistik ke dalam berbagai aspek gaya hidup anak muda. Ini bukan hanya tentang melakukan satu tindakan ramah lingkungan, tetapi tentang membangun keseluruhan cara hidup yang lebih sadar dan bertanggung jawab.
Meskipun kepedulian lingkungan menjadi pendorong utama, faktor “keren” dan kesesuaian dengan identitas diri juga memainkan peran penting dalam adopsi massal di kalangan anak muda. Thrifting, misalnya, tidak hanya mengurangi limbah tetapi juga menawarkan keunikan gaya. Begitu pula dengan gerakan zero waste yang seringkali dikemas secara kreatif dan estetis di media sosial, menjadikan keberlanjutan sebagai sesuatu yang aspiratif, bukan sekadar kewajiban.
Namun, di tengah antusiasme ini, terdapat pula indikasi adanya kesenjangan antara kesadaran yang tinggi dan tindakan yang konsisten. Data survei menunjukkan dukungan yang kuat terhadap produk ramah lingkungan, namun praktiknya masih bervariasi. Hal ini mengisyaratkan bahwa menerjemahkan niat baik menjadi kebiasaan sehari-hari yang berkelanjutan masih menjadi tantangan tersendiri.
Kisah nyata dari anak bangsa
Di balik tren-tren keren tadi, ada cerita-cerita inspiratif dari anak muda Indonesia yang nggak cuma ngomong, tapi beneran bergerak. Mereka adalah bukti nyata bahwa usia muda bukanlah halangan untuk membuat perubahan. Aksi mereka, sekecil apapun, telah membawa dampak signifikan dan menginspirasi banyak orang.
Salah satu nama yang belakangan viral adalah Pandawara Group. Kelompok yang terdiri dari lima pemuda asal Bandung ini—Gilang, Ikhsan, Rafly, Rifqi, dan Agung—awalnya merasa resah karena lingkungan tempat tinggal mereka sering dilanda banjir akibat tumpukan sampah di sungai. Berangkat dari pengalaman pribadi yang tidak menyenangkan itu, mereka memutuskan untuk turun tangan membersihkan selokan dan sungai di sekitar mereka, awalnya hanya dengan peralatan sederhana dan modal pribadi.
Yang membuat Pandawara Group unik adalah cara mereka memanfaatkan kekuatan media sosial, terutama TikTok dan Instagram. Mereka merekam aksi bersih-bersih sampah mereka—seringkali di lokasi sungai atau pantai yang sangat kotor—dan mengunggahnya dengan gaya yang menarik perhatian anak muda. Konten mereka viral, tidak hanya menampilkan kondisi lingkungan yang memprihatinkan, tetapi juga mengajak masyarakat dan netizen untuk ikut serta dalam aksi bersih-bersih. Gerakan “one day one trash bag” dan program kunjungan ke sekolah (Pandawara go to school) juga mereka galakkan untuk menanamkan kepedulian lingkungan sejak dini.
Aksi mereka tak selalu mulus; terkadang mereka menghadapi penolakan dari warga setempat. Namun, kegigihan mereka membuahkan hasil. Pandawara Group meraih berbagai penghargaan, diundang bertemu Presiden, bahkan mendapat kesempatan belajar pengelolaan sampah di Denmark, membuktikan bahwa kepedulian yang diwujudkan dalam aksi nyata bisa menginspirasi dan membawa perubahan.
Jauh sebelum Pandawara viral, ada kakak beradik asal Bali, Melati dan Isabel Wijsen. Saat mereka baru berusia 12 dan 10 tahun, terinspirasi dari pelajaran tentang tokoh-tokoh perubahan dunia, mereka memutuskan bahwa mereka tidak perlu menunggu dewasa untuk bertindak. Melihat masalah sampah plastik yang menggunung di pulau dewata, mereka mendirikan gerakan “Bye Bye Plastic Bags” (BBPB) dengan satu tujuan ambisius: menjadikan Bali pulau bebas plastik sekali pakai.
Selain mereka, masih banyak lagi anak muda inspiratif lainnya. Ada Salsabila Khairunnisa yang mendirikan platform Jaga Rimba untuk menyuarakan isu perlindungan hutan dan hak masyarakat adat, bahkan melakukan aksi ‘Mogok Sekolah untuk Hutan’ di depan gedung KLHK. Ada Rafa Jafar yang sejak kecil fokus pada bahaya sampah elektronik (e-waste), menulis buku, dan menciptakan Dropbox E-Waste. Ada juga Aeshnina Azzahra, aktivis cilik yang lantang menyuarakan isu sampah plastik, dan Zidane, penggagas Green Generation Indonesia di Balikpapan yang aktif menanam mangrove meski pernah dicibir teman-temannya. Komunitas seperti Pepelingasih, Sorong Peduli Sampah, dan Ourconservasea juga menunjukkan semangat kolektif anak muda di berbagai daerah untuk menjaga lingkungan mereka.
Kisah-kisah ini menunjukkan beberapa pola menarik. Banyak dari inisiatif ini lahir dari pengalaman pribadi yang bersentuhan langsung dengan masalah lingkungan. Keterhubungan personal ini tampaknya menjadi bahan bakar motivasi yang sangat kuat. Selain itu, para aktivis muda ini sangat mahir memanfaatkan platform digital. Mereka tidak hanya menggunakannya untuk menyebarkan kesadaran, tetapi juga untuk mengorganisir aksi nyata dan membangun komunitas. Ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang bagaimana menerjemahkan keterlibatan online menjadi dampak offline.
Terakhir, spektrum aksi mereka sangat luas, mulai dari perubahan gaya hidup individu seperti yang diadvokasi Rafa Jafar, mobilisasi komunitas ala Pandawara, hingga advokasi kebijakan seperti yang dilakukan Melati dan Isabel. Ini menunjukkan bahwa ada banyak jalan bagi anak muda untuk berkontribusi sesuai dengan minat dan kapasitas masing-masing.
Apa sebenarnya yang mendorong gelombang semangat hijau di kalangan anak muda Indonesia ini? Mengapa mereka rela meluangkan waktu, tenaga, bahkan kadang menghadapi cibiran, demi gaya hidup yang lebih ramah lingkungan? Jawabannya ternyata kompleks dan berlapis, merupakan perpaduan antara kesadaran global, pengaruh digital, hingga dorongan personal.
Motivasi paling mendasar adalah kesadaran akan krisis iklim dan lingkungan yang semakin nyata. Generasi Z tumbuh di era di mana isu pemanasan global, polusi plastik, dan kerusakan ekosistem bukan lagi berita jauh, melainkan kenyataan yang mereka lihat dan rasakan dampaknya. Mereka terpapar informasi tentang bagaimana gaya hidup konsumtif berkontribusi pada masalah ini dan menyadari bahwa masa depan merekalah yang paling terancam jika tidak ada perubahan. Kesadaran ini seringkali diperkuat oleh pendidikan lingkungan yang mereka dapatkan, baik formal maupun informal.
Pengaruh media sosial dan tren global memainkan peran yang sangat signifikan. Paparan terhadap informasi, kampanye lingkungan global, dan gaya hidup berkelanjutan yang dibagikan melalui platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube membentuk kesadaran dan menginspirasi tindakan. Influencer lingkungan dan gaya hidup sehat memiliki pengaruh besar dalam memotivasi pengikut mereka untuk mencoba praktik-praktik baru, mulai dari diet nabati hingga penggunaan produk ramah lingkungan. Media sosial menjadi jendela dunia yang memperlihatkan bahwa gerakan ini terjadi secara global, membuat anak muda Indonesia merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Ada pula keinginan kuat untuk berkontribusi dan menciptakan perubahan positif. Mereka tidak ingin hanya menjadi penonton pasif terhadap kerusakan lingkungan, melainkan ingin menjadi bagian dari solusi. Rasa tanggung jawab terhadap masa depan bumi mendorong mereka untuk mengambil tindakan nyata, sekecil apapun itu. Bagi sebagian, motivasi ini bahkan meluas ke pilihan karir, di mana mereka berharap bisa bekerja di perusahaan yang memiliki komitmen terhadap perubahan positif bagi dunia.
Aspek kesehatan dan kesejahteraan pribadi juga menjadi faktor pendorong. Banyak praktik ramah lingkungan yang sejalan dengan gaya hidup sehat, seperti lebih banyak berjalan kaki atau bersepeda, mengonsumsi makanan organik atau nabati, dan mengurangi paparan terhadap bahan kimia berbahaya. Di era di mana kesadaran akan kesehatan fisik dan mental semakin meningkat, gaya hidup berkelanjutan menawarkan pendekatan holistik untuk hidup lebih baik.
Selain itu, gaya hidup ramah lingkungan juga menjadi sarana ekspresi identitas dan nilai-nilai pribadi. Memilih thrifting bukan hanya soal hemat, tapi juga tentang menampilkan gaya unik yang berbeda dari mainstream. Mengadopsi zero waste bisa menjadi cara menunjukkan komitmen pada nilai-nilai keberlanjutan. Bagi sebagian anak muda, gaya hidup ini bahkan dianggap “keren” dan menjadi bagian dari citra diri yang ingin mereka proyeksikan. Kesesuaian dengan kelompok teman sebaya (peer group) juga bisa menjadi motivasi.
Terakhir, faktor ekonomi tidak bisa diabaikan. Meskipun beberapa produk ramah lingkungan bisa lebih mahal, banyak praktik berkelanjutan yang justru bisa menghemat uang. Thrifting jelas lebih murah daripada membeli baju baru. Mengurangi konsumsi secara umum, membawa bekal minum atau makanan sendiri, serta menghemat penggunaan energi dan air dapat memangkas pengeluaran bulanan. Bagi anak muda yang mungkin memiliki keterbatasan finansial, aspek penghematan ini menjadi daya tarik yang kuat.
Jalan terjal menuju lestari
Meskipun semangat untuk hidup lebih hijau begitu membara, perjalanannya tidak selalu mulus. Anak muda Indonesia yang mencoba menerapkan gaya hidup ramah lingkungan seringkali dihadapkan pada berbagai tantangan, baik yang berasal dari diri sendiri maupun dari lingkungan sekitar. Mengakui adanya hambatan ini penting, bukan untuk mematahkan semangat, tetapi untuk mencari solusi bersama.
Salah satu tantangan terbesar adalah keterbatasan akses dan infrastruktur pendukung. Tidak di semua tempat mudah menemukan produk ramah lingkungan atau toko yang menjual barang tanpa kemasan (bulk store). Infrastruktur pengelolaan sampah, terutama fasilitas pemilahan dan daur ulang yang memadai, juga masih kurang di banyak daerah. Kondisi ini membuat pilihan berkelanjutan menjadi lebih sulit untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan di daerah yang dianggap berhasil seperti Banyumas, tata kelola sampahnya dinilai masih memiliki kelemahan dalam hal regulasi, kelembagaan, dan pendanaan.
Biaya juga bisa menjadi penghalang. Meskipun beberapa praktik seperti thrifting atau mengurangi konsumsi bisa menghemat uang, produk ramah lingkungan spesifik (misalnya, makanan organik, peralatan hemat energi) terkadang memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan alternatif konvensionalnya. Bagi pelajar atau pekerja muda dengan anggaran terbatas, perbedaan harga ini bisa menjadi pertimbangan serius.
Faktor kenyamanan dan kerumitan seringkali menjadi batu sandungan. Kebiasaan lama yang mengandalkan produk sekali pakai memang terasa lebih praktis. Mengubah rutinitas, seperti harus selalu ingat membawa botol minum atau wadah makanan, memilah sampah, atau mencari tempat daur ulang, dianggap merepotkan oleh sebagian orang. Mengubah kebiasaan yang sudah mendarah daging memang membutuhkan usaha dan waktu.
Tekanan sosial dan kurangnya dukungan juga bisa menjadi tantangan. Tidak jarang anak muda yang mencoba hidup berbeda justru mendapat cibiran atau dianggap aneh (“sok suci” atau “sok pelestari lingkungan”) oleh teman sebaya atau bahkan keluarga. Di tingkat yang lebih luas, resistensi terhadap perubahan dari komunitas lokal atau kurangnya kebijakan pemerintah yang kuat dan mendukung dapat menghambat upaya kolektif.
Melihat tantangan-tantangan ini, menjadi jelas bahwa banyak hambatan terbesar bersifat sistemik, bukan sekadar kurangnya niat baik individu. Ketiadaan infrastruktur yang memadai, pilihan yang tidak nyaman karena desain sistem yang ada, dan kebijakan yang belum sepenuhnya mendukung menciptakan rintangan signifikan yang tidak dapat diatasi hanya dengan kemauan pribadi. Selain itu, ada kesenjangan antara persepsi tentang sulitnya memulai gaya hidup ini dengan kenyataan bahwa banyak langkah awal sebenarnya cukup sederhana (seperti membawa tas belanja atau botol minum).
Tantangan psikologis untuk mengubah kebiasaan dan mengatasi rasa “repot” seringkali lebih besar daripada kesulitan praktisnya itu sendiri. Faktor ekonomi juga memiliki dua sisi: biaya bisa menjadi penghalang untuk beberapa pilihan, tetapi juga bisa menjadi motivator kuat untuk pilihan lain seperti thrifting atau mengurangi konsumsi. Hal ini menyoroti pentingnya isu aksesibilitas dan keterjangkauan agar gerakan ini bisa lebih inklusif.
- COP 30 menghadapi pertarungan sengit soal uang, minyak, dan keadilan iklim
Saat negosiasi COP 30 di Belém memasuki minggu kedua yang genting, pertarungan triliunan dolar untuk pendanaan iklim publik dan paradoks bahan bakar fosil - Senyum petani perempuan Bengkulu di kebun kopi tangguh iklim
Kebun kopi tangguh iklim jadi ekosistem, lumbung pangan keluarga, sekaligus benteng pertahanan menghadapi krisis iklim - Produksi batubara Kaltim melonjak, XR Kaltim sebut transisi energi “Proyek Tipu-Tipu”
Di tengah gemerlap Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP 30) di Belém, Brasil, delegasi Indonesia hadir dengan kekuatan besar. Sebanyak 450 orang, dipimpin langsung oleh Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusuma, membawa isu utama Transisi Energi dan perdagangan karbon. Komitmen untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan digaungkan oleh delegasi yang dipimpin adik… Baca Selengkapnya: Produksi batubara Kaltim melonjak, XR Kaltim sebut transisi energi “Proyek Tipu-Tipu” - Krisis air di lumbung nikel, warga Kawasi blokade jalur produksi Harita
Warga Kawasi di Halmahera Selatan kembali menuntut PT. Harita Group memenuhi hak dasar atas air bersih dan listrik. - Ngaseuk, cara Sarongge mengamalkan apa yang dinegosiasikan di Belém
Saat dunia menanti kesepakatan COP 30 dari Belém, di Sarongge, doa dan tembang bergema di antara hamparan hijau - Sandiwara hijau dari Indonesia di panggung COP 30
Pemerintah Indonesia mengklaim komitmen mengurangi batubara sambil memperluas energi terbarukan di panggung COP 30

![Jumat pagi di Belém, 14 November 2025. Udara di luar Hangar Convention Centre sudah terasa panas dan tegang, bukan hanya karena kelembaban Amazon. Di pintu masuk utama Blue Zone—area steril yang disediakan untuk para negosiator berjas—obrolan diplomatik yang biasa terdengar telah digantikan oleh nyanyian dan tuntutan. Sekitar 90 pengunjuk rasa dari masyarakat adat Munduruku memblokir akses, mengubah diri mereka dari sekadar penonton menjadi inti cerita. Ini bukan side event yang terjadwal; ini adalah intervensi. Masyarakat Munduruku, yang tanah leluhurnya di negara bagian Pará, Amazonas, dan Mato Grosso terancam, tidak datang untuk berfoto. Mereka menuntut satu hal yang mendasar: "diakhirinya proyek dan kegiatan ekstraktif yang mengancam wilayah adat," terutama di cekungan Sungai Tapajós dan Xingu. Adegan ini adalah ironi pertama dan paling tajam dari KTT iklim PBB ke-30 ini. Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, telah dengan lantang menjanjikan KTT ini sebagai "COP of Truth" ("COP Kebenaran"). Namun, ketika "kebenaran" dari garis depan krisis iklim tiba di gerbangnya, respons resmi bukanlah dialog, melainkan pemanggilan tentara untuk memperkuat keamanan. Di dalam, di balik barikade, dunianya terasa berbeda. Joni Aswira Putra Ketua Umum Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (The Society of Indonesian Environmental Journalist), melaporkan untuk Ekuatorial dari Belém. Ia menggambarkan negosiasi minggu pertama, yang berakhir pada Sabtu, 15 November 2025 , sebagai "cukup dinamis". "Dinamis" adalah kata yang sopan untuk "penuh konflik". Di balik "banyak side event" dan "pertemuan-pertemuan presidensi" yang diamati Joni, dua pertarungan fundamental sedang berkecamuk. Pertarungan pertama adalah soal uang: pertarungan triliunan dolar mengenai siapa yang membayar untuk transisi iklim. Pertarungan kedua adalah soal kredibilitas: pertarungan eksistensial mengenai integritas tuan rumah yang menjanjikan penyelamatan Amazon sambil berencana mengebor minyak di muaranya. Direktur Eksekutif COP30, Ana Toni, berusaha meredakan ketegangan, menyebut protes Munduruku sebagai "sah" dan meyakinkan media bahwa pemerintah "mendengarkan". Namun, tindakan memanggil tentara menceritakan kisah yang berbeda. Ini mengungkap adanya dua COP yang berjalan paralel di Belém: COP di dalam Blue Zone, dengan negosiasi steril dan bahasa teknis; dan COP di luar di jalanan, tempat "kebenaran" yang dituntut Lula sedang diperjuangkan secara fisik. Fakta bahwa masyarakat Munduruku harus memblokir pintu masuk hanya untuk diarahkan bertemu dengan menteri Sônia Guajajara dan Marina Silva membuktikan satu hal: mereka, pada awalnya, tidak didengar sama sekali. Pahlawan Iklim dan rencana pengeboran minyak Presiden Lula adalah pusat gravitasi dari COP30. Di panggung global, dia adalah pahlawan iklim. Dia membuka KTT Pemimpin dengan seruan penuh semangat untuk "kekalahan telak bagi penyangkal iklim". Seperti yang dicatat oleh Joni Aswira Putra, tuan rumah Brasil dan "Presiden Lula sendiri yang mendorong koalisi besar" untuk mengakhiri ketergantungan dunia pada bahan bakar fosil. Ada "kabar baik" yang nyata untuk mendukung retorikanya. Pemerintahannya telah mencapai kemajuan yang mengesankan dalam menekan laju perusakan hutan. Angka deforestasi di Amazon Brasil telah turun sebesar 50% selama tiga tahun masa jabatannya. Ini adalah pencapaian signifikan yang dipamerkan di KTT. Inisiatif utamanya adalah 'Tropical Forest Forever Facility' (TFFF), sebuah mekanisme pendanaan baru yang dirancang untuk membuat "hutan yang berdiri lebih berharga daripada lahan yang gundul". TFFF bertujuan mengumpulkan $125 miliar untuk perlindungan hutan, dan telah mendapatkan komitmen awal $5,5 miliar, termasuk dari Norwegia dan kontribusi dari Brasil sendiri. Namun, seperti yang diakui Lula sendiri dalam pidatonya, ada "kesulitan dan kontradiksi". Kontradiksi-kontradiksi ini begitu mencolok sehingga mengancam kredibilitas seluruh KTT. Kontradiksi Minyak. Hanya beberapa minggu sebelum COP30 dimulai, pemerintahannya menyetujui lisensi pengeboran minyak dan gas di Foz do Amazonas, sebuah wilayah sensitif di lepas pantai muara Sungai Amazon. Ini adalah langkah yang dikecam para kritikus sebagai kemunafikan yang mencengangkan. Kontradiksi Infrastruktur: Secara bersamaan, pemerintahannya mendorong "peningkatan" jalan raya BR-319, sebuah proyek yang akan membelah wilayah barat Amazon yang masih utuh. Para ilmuwan memperingatkan ini akan memberikan "tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya" dari agribisnis dan ekstraktivisme. Ada pula rencana untuk "de-statise" (privatisasi) sungai-sungai utama seperti Tapajós untuk menciptakan "hydrovia" (jalur air) bagi pengiriman kedelai. Kontradiksi Politik Lula harus melakukan "tindakan penyeimbangan" politik yang berbahaya. Untuk memerintah, ia bergantung pada dukungan lobi "Ruralista" (agribisnis) yang kuat, yang mendominasi Kongres dan mendorong agenda ekstraktif yang berlawanan langsung dengan konservasi. Kontradiksi Ambisi Brasil, yang memposisikan diri sebagai pemimpin iklim global, secara bersamaan adalah salah satu emiten teratas dunia dan secara aktif mempertimbangkan untuk bergabung dengan OPEC+, aliansi negara-negara produsen minyak. Ini bukan sekadar "tindakan penyeimbangan"; ini adalah strategi ganda yang terkompartementalisasi. Lula tidak sedang menyeimbangkan; dia sedang mencoba memiliki keduanya. Di satu sisi, dia memperlakukan Amazon sebagai aset karbon global yang bisa dijual (melalui TFFF) kepada donor internasional untuk pendanaan iklim. Di sisi lain, dia memperlakukannya sebagai aset sumber daya domestik (minyak, tanah, jalur sungai) yang bisa dijual kepada sekutu politik (Ruralista, industri minyak) untuk stabilitas politik dan pembangunan ekonomi "abad ke-20". Paradoks Lula bukanlah kegagalan pribadi; ini adalah model bisnis "Ekstraktivisme Hijau". "COP Kebenaran" adalah panggung global untuk memasarkan kedua strategi yang saling bertentangan ini secara bersamaan. Ini adalah preseden berbahaya yang menunjukkan bahwa perlindungan iklim dan ekstraktivisme dapat berjalan beriringan, padahal kenyataannya keduanya saling meniadakan. Keuangan transisi Di jantung "dinamika" minggu pertama yang dilaporkan Joni Aswira Putra untuk Ekuatorial adalah satu isu yang selalu menjadi kunci: "keuangan transisi". Ini adalah medan pertempuran utama yang memecah belah Global Utara dan Global Selatan, dan di Belém, pertarungan ini berpusat pada dua mekanisme yang saling terkait: "Pasal 9 dari Perjanjian Paris" dan "Peta Jalan Baku-Belem" yang baru. Pasal 9 adalah inti dari ketidakpercayaan. Secara hukum, pasal ini mewajibkan negara-negara maju untuk menyediakan sumber daya keuangan bagi negara-negara berkembang untuk mitigasi dan adaptasi. Kata kerja yang digunakan adalah "shall provide" (harus menyediakan), sebuah kewajiban, bukan saran. Konflik teknis yang sangat politis terjadi pada perbedaan antara Pasal 9.1 dan 9.3. Negara-negara berkembang, yang dipimpin oleh blok G77 dan Tiongkok, berargumen bahwa COP29 di Baku tahun lalu gagal total. Mengapa? Karena kesepakatan di Baku hanya berfokus pada Pasal 9.3: "mobilisasi" keuangan, sebuah istilah yang memungkinkan negara maju menghitung pinjaman swasta dan modal komersial sebagai bagian dari kontribusi mereka. Negara-negara berkembang berargumen bahwa kewajiban inti Pasal 9.1—"penyediaan" dana publik (yaitu, hibah, bukan pinjaman) dari kas negara maju—telah diabaikan dan "masih terutang". Negara-negara maju, khususnya Uni Eropa (UE), diidentifikasi sebagai "penghalang utama" kemajuan dalam perdebatan ini, menghalangi fokus khusus pada pendanaan publik Pasal 9.1. Ke dalam kekacauan inilah "Peta Jalan Baku-Belém" diluncurkan. Ini adalah proposal besar di atas meja: sebuah rencana untuk memobilisasi $1,3 triliun USD per tahun pada tahun 2035. Seperti yang dicatat Joni, tujuannya ambisius: "reformasi arsitektur keuangan dan penghapusan subsidi fosil". Peta jalan ini memang menyerukan "perombakan" sistem keuangan dan "penyaluran kembali" subsidi bahan bakar fosil, yang menurut IMF mencapai angka mengejutkan $7 TRILIUN pada tahun 2022. Namun, peta jalan ini segera dilihat melalui dua lensa yang sangat berbeda. Bagi lembaga-lembaga seperti World Resources Institute (WRI), ini adalah "strategi holistik yang cerdas". WRI memuji "kombinasi pragmatisme dengan fokus pada skala dan perubahan sistem" dan memujinya karena "secara tepat menggeser lensa" dari dana publik yang "sederhana" untuk "membuka aliran yang jauh lebih besar dari investor swasta". Bagi negara-negara Global Selatan, pernyataan WRI adalah perwujudan dari ketakutan terbesar mereka. "Pergeseran lensa" ini, bagi mereka, adalah pengkhianatan terhadap kewajiban hukum Pasal 9.1. Mereka melihatnya sebagai "melemahkan" kewajiban negara maju dan mengganti hibah publik yang mereka butuhkan dengan pinjaman swasta yang hanya akan memperburuk krisis utang. Ini adalah perangkap utang iklim. Negara-negara berkembang, yang sudah menghabiskan 20-30% dari PDB mereka hanya untuk membayar utang, kini dipaksa masuk ke dalam skema di mana mereka harus meminjam uang (modal swasta 9.3) dari negara-negara Utara yang menyebabkan krisis iklim, untuk memperbaiki masalah yang disebabkan oleh negara-negara Utara tersebut, alih-alih menerima dana kewajiban (hibah publik 9.1). Ini adalah bentuk baru kolonialisme iklim. Tanpa penyelesaian kewajiban Pasal 9.1, Peta Jalan $1,3 Triliun berisiko menjadi "laporan yang tidak mengikat dengan dampak terbatas". Ambisi di atas kertas Pertarungan soal uang secara langsung terkait dengan pertarungan soal aksi. Joni Aswira Putra menyoroti fokus utama pada "transition away from fossil fuel" (transisi meninggalkan bahan bakar fosil) dan "peningkatan ambisi NDC" (Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional). COP30 adalah tenggat waktu krusial bagi negara-negara untuk menyerahkan rencana iklim baru mereka (dikenal sebagai NDC 3.0) yang akan menentukan nasib target 1,5°C. Kebutuhan akan ambisi ini sangat mendesak. Laporan PBB sebelum KTT telah mengkonfirmasi adanya "jurang ambisi yang luas" antara janji-janji saat ini dan apa yang diperlukan. Menanggapi hal ini, sebuah "koalisi yang berkemauan" telah terbentuk. Joni menyebutkan adanya "Belém declaration on fossil fuel" yang didukung oleh 62 negara. Ini merujuk pada "koalisi yang berkembang pesat" dari 62 negara yang kini mendukung "peta jalan transisi bahan bakar fosil (TAFF) yang terstruktur". Ini adalah "koalisi besar" yang didorong oleh Lula, dan cakupannya luas: mencakup Brasil, negara-negara Eropa seperti Prancis dan Jerman, Kenya, dan blok-blok negosiasi penting seperti Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (AOSIS). Namun, koalisi 62 negara ini menghadapi kekuatan penentang yang masif. Secara formal, mereka menghadapi perlawanan dari negara-negara seperti Arab Saudi 29 dan produsen batu bara besar seperti Tiongkok dan India, yang menentang bahasa spesifik tentang penghapusan bahan bakar fosil. Namun, perlawanan yang lebih kuat dan lebih meresap bersifat informal. Sebuah analisis baru dari koalisi Kick Big Polluters Out (KBPO) menemukan bahwa lebih dari 1.600 pelobi bahan bakar fosil telah diberikan akses resmi ke COP30. Angka ini sangat mengejutkan: itu berarti satu dari setiap 25 peserta di Belém adalah seorang pelobi industri fosil. Jumlah mereka jauh melampaui delegasi negara mana pun selain tuan rumah Brasil. Selama lima tahun terakhir, 7.000 pelobi fosil telah menghadiri KTT iklim. Konteks ini menjelaskan mengapa peluncuran "Deklarasi Belém tentang Integritas Informasi tentang Perubahan Iklim" menjadi begitu penting. Deklarasi ini, yang didukung oleh 12 negara termasuk Brasil, Prancis, dan Jerman, adalah pengakuan resmi di tingkat COP bahwa negosiasi tidak hanya dirusak oleh lobi, tetapi juga oleh kampanye "disinformasi, pelecehan terhadap suara ahli, [dan] ruang gema yang terpolarisasi". Kampanye ini dirancang khusus untuk "mengulur dan menyabotase aksi" iklim. Pertarungan di Belém bukan lagi sekadar negosiasi kebijakan; ini adalah perang informasi. Para pelobi tidak hanya hadir untuk memengaruhi teks; mereka hadir untuk menciptakan kabut keraguan yang membenarkan kelambanan. Seperti yang dikatakan oleh Lien Vandamme dari Center for International Environmental Law (CIEL), ini bukanlah tata kelola iklim. "Ini adalah penangkapan korporat, bukan tata kelola iklim," tegasnya. Koalisi 62 negara mungkin memiliki otoritas moral, tetapi 1.600 pelobi memiliki anggaran untuk membeli narasi. Indonesia dan dilema 'solusi palsu' Di tengah pertarungan antara Global Utara dan Selatan ini, dalam laporanya kepada Ekuatorial, Joni secara spesifik menyebut Indonesia sebagai negara "Selatan-Selatan" yang, seperti Brasil, berada di posisi kunci untuk menerima pendanaan iklim yang diperdebatkan di bawah Pasal 9. Indonesia datang ke Belém dengan proposal andalannya: "Kebijakan Industri Hijau". Sebagai bagian dari kebijakan ini, pemerintah mempresentasikan 14 proyek pengurangan emisi, yang bertujuan untuk menarik investasi internasional di bawah mekanisme Perjanjian Paris. Namun, para pengamat yang mengikuti kampanye COP Indonesia sebelumnya mencatat adanya "pola yang berulang". Proyek-proyek yang dipresentasikan "seringkali kurang transparan, tidak memiliki jadwal yang jelas, atau strategi implementasi yang terperinci". Kritik paling tajam datang dari dalam negeri. Siaran pers dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada 11 November 2025, yang berjudul "Pemerintah Indonesia Gagal Membawa Kepentingan Rakyat Indonesia di COP 30", memberikan analisis yang memberatkan. WALHI mengecam paviliun Indonesia yang baru dibuka sebagai sesuatu yang menyerupai "pasar dagang untuk hutan Indonesia dan sumber daya alamnya". Kritik utamanya ditujukan pada dua pilar strategi Indonesia. Perdagangan karbon sebagai perampasan lahan, dan dekarbonisasi beracun. Analisis WALHI menyimpulkan bahwa komitmen iklim Indonesia (SNDC) "ditakdirkan untuk gagal sejak awal" karena seluruh strukturnya dibangun di atas "skema ekstraktif". Ironisnya, saat Indonesia mempromosikan "solusi" berbasis lahan yang kontroversial, sebuah janji besar lainnya di COP30 menuai kritik serupa. "Belém 4X Pledge on Sustainable Fuels"—sebuah janji yang didukung oleh tuan rumah Brasil, India, Italia, dan Jepang untuk melipatgandakan penggunaan "bahan bakar berkelanjutan" seperti biofuel dan biogas—ditolak mentah-mentah oleh jaringan masyarakat sipil. Climate Action Network (CAN) dan Greenpeace secara eksplisit "Menolak Ikrar Belém 4X". Mereka memperingatkan bahwa ini adalah "distraksi berbahaya" yang akan memicu gelombang baru "penghancuran hutan" global untuk memenuhi permintaan bioenergi. Di sini, Indonesia dan Brasil terlihat sebagai cerminan satu sama lain. Keduanya mempraktikkan model "Ekstraktivisme Hijau". Keduanya menggunakan bahasa "hijau"—baik itu 'Kebijakan Industri Hijau', perdagangan karbon, atau 'Bahan Bakar Berkelanjutan'—untuk menarik pendanaan iklim internasional. Namun, pendanaan tersebut kemudian digunakan untuk melanggengkan model ekonomi ekstraktif yang sama (gas, pertambangan, perkebunan) yang menjadi akar penyebab krisis, dan yang secara konsisten mengorbankan masyarakat adat dan lokal, baik itu Suku Anak Dalam di Jambi maupun masyarakat Munduruku di Belém. Minggu pertama COP30 ditutup dengan "tekanan yang meningkat". Seperti yang dilaporkan Joni Aswira Putra, negosiasinya "dinamis", tetapi para ahli di lapangan, seperti Dr. Rachel Cleetus dari Union of Concerned Scientists (UCS), memperingatkan bahwa "terobosan besar pada topik-topik kritis belum terwujud". Para menteri yang kini tiba di Belém untuk negosiasi tingkat tinggi di minggu kedua mewarisi beban untuk menyelesaikan serangkaian pertanyaan yang belum terjawab. Bagaimana cara menutup "jurang ambisi" emisi untuk menjaga target 1,5°C tetap hidup? Bagaimana cara menyepakati penghapusan bahan bakar fosil yang adil dan didanai—bukan sekadar retorika? Bagaimana cara mengatasi kebuntuan fundamental antara pendanaan publik (Pasal 9.1) dan mobilisasi swasta (Pasal 9.3)? Ada ketakutan yang nyata bahwa proses COP itu sendiri "rusak" dan "tidak lagi sesuai dengan tujuannya". Kekecewaan negara-negara berkembang terhadap hasil tahun lalu di Baku digambarkan sebagai "pengkhianatan yang mengejutkan". Di tengah krisis kredibilitas inilah, Kepala Iklim PBB Simon Stiell memberikan pidato pembukaan yang tajam. Dia memohon kepada para delegasi: "Pekerjaan Anda di sini bukan untuk bertarung satu sama lain – pekerjaan Anda di sini adalah untuk melawan krisis iklim ini, bersama-sama". Saat para menteri mengambil alih negosiasi, "COP Kebenaran" dihadapkan pada pilihan terakhirnya. Kebenaran siapa yang akan mereka wujudkan? Kebenaran yang nyaman dari para pelobi dan solusi palsu mereka? Kebenaran yang dikompromikan dari tuan rumah mereka yang paradoksal? Atau kebenaran yang tidak nyaman dari masyarakat adat Munduruku, yang tuntutannya—jika benar-benar didengarkan—akan memaksa perubahan sistemik yang sebenarnya? Jawabannya akan menentukan apakah Belém dikenang sebagai titik balik, atau hanya sebagai "pasar dagang" lain untuk masa depan planet ini.](https://www.ekuatorial.com/wp-content/uploads/2025/11/COP-30-Brasil-COP-Kebenaran-150x150.avif)




