Taman Safari Indonesia menangkarkan kodok darah. Amfibi ini masuk dalam kategori kritis atau critically endangered menurut lembaga konservasi alam internasional, IUCN.

Kodok darah alias bleeding toad (Leptophryne cruentata) tampak di dalam akuarium penangkaran milik Taman Safari Indonesia, Bogor, Rabu, 16 April 2025. Kodok darah merupakan satu-satunya dari sedikitnya 400-an amfibi yang dilindungi di Indonesia dan status keterancamannya menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) masuk pada tahap kritis atau dua tahap jelang punah.
Kodok darah alias bleeding toad (Leptophryne cruentata) tampak di dalam akuarium penangkaran milik Taman Safari Indonesia, Bogor, Rabu, 16 April 2025. Kodok darah merupakan satu-satunya dari sedikitnya 400-an amfibi yang dilindungi di Indonesia dan status keterancamannya menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) masuk pada tahap kritis atau dua tahap jelang punah. Credit: Adi Marsiela Credit: Adi Marsiela

Indonesia, merupakan salah satu negara dengan spesies amfibi –binatang berdarah dingin yang dapat hidup di air dan di darat– terbanyak di dunia. Ironisnya, hanya ada satu spesies saja, kodok darah (Leptophryne cruentata) atau bleeding toad yang dilindungi secara hukum. Informasi mengenai spesies ini juga belum banyak. Harapan besar terbentang, seiring keberhasilan tim Taman Safari Indonesia (TSI) mengembangbiakkan kodok darah.

Asisten Kurator TSI, Arief Mutargan mengungkapkan, proses penangkaran atau pengembangbiakkan kodok tersebut bermula pada 2023. Awalnya, tim TSI melakukan survei lokasi untuk pelepasliaran elang jawa (Nisaetus bartelsi), burung endemik Pulau Jawa yang dianggap identik dengan lambang negara, Garuda. “Kami menemukannya (kodok darah),” ungkap Arief di depan lokasi penangkarannya, Bogor, Kamis, 17 April 2025.

Temuan itu, sambung dia, menggembirakan dan membuka pintu ke pengetahuan yang lebih mendalam mengenai kodok darah. Apalagi, amfibi ini masuk dalam kategori kritis atau critically endangered menurut lembaga konservasi alam internasional, IUCN (International Union for Conservation of Nature). Status kritis ini dua tahap menjelang punah atau extinct dari total tujuh status keterancaman yang ada.

Sebelumnya keberadaan kodok endemik Pulau Jawa ini tidak dilindungi. Pemerintah baru memasukkannya sebagai jenis satwa yang dilindungi pada 2018 mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor p.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018.

Penyebutan kodok darah, sebagian menyebutnya kodok merah, karena warna kulitnya yang dominan cokelat tua dengan bercak-bercak merah. Penggunaan kata cruentata di bagian belakang nama latin kodok ini berasal dari bahasa latin yang artinya berdarah.

Ukuran kodok betina lebih besar, antara 2,4-4,6 sentimeter, sedangkan jantan antara 2-3 sentimeter. Kodok ini juga punya kelenjar paratoid yang beracun pada tonjolan berwarna merah di kulitnya.

Upaya pengembangbiakkan kodok darah di luar habitat aslinya ini didokumentasikan dan dicatat oleh tim TSI.

Mulai dari proses kawin hingga metamorfosis kecebong jadi kodok muda. Yang awalnya menetas di air hingga kemudian bisa hidup di daratan. Pada rekaman video perkawinan, kodok mengeluarkan suara unik seperti suara jangkrik namun lebih melengking.

Kodok betina akan mengeluarkan telur di air dalam jumlah ratusan hingga ribuan. Telur-telur itu diselubungi lendir. Sementara kodok jantan menyemprotkan sperma ke telur di luar tubuhnya. Sperma yang masuk ke ovum sebelum terbentuk zigot atau sel pertama pasca pembuahan. Selanjutnya, zigot akan mengalami pembelahan dua sel anak identik secara genetik dari induknya. Dari dua jadi empat sel, kemudian delapan sel, dan seterusnya sebagai proses pembentukan jaringan tubuh.

Pembentukan embrio dengan struktur kepala, ekor kecebong mulai pada hari ke-3 dan ke-4 sejak pembuahan. “Tergantung suhu air dan kondisi lingkungan juga,” tambah Arief.

Pada rentang pekan ke-6 hingga ke-9, telur menetas jadi kecebong atau berudu. Masih hidup di air dan bernafas dengan insang. Setelah itu, kecebong akan terlihat memiliki kaki belakang diikuti kaki depan. Insang mulai menghilang digantikan paru-paru untuk pernafasan.

Pada hari ke-95 hingga 100, kodok akan menyelesaikan seluruh metamorfosisnya dan sepenuhnya beradaptasi hidup di darat namun tetap bisa berenang.

Seluruh prosesnya, ungkap Arief, didokumentasikan tim sebagai informasi dan penunjang keberhasilan pengembangbiakkan kodok darah tersebut. Total populasinya di penangkaran saat ini tercatat 16 kodok dewasa, 7 kodok usia muda, dan seratusan anakan.

“BBKSDA (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam) memercayakan kami buat pengembangbiakkan,” tutur Arief.

Upaya serius pengembangbiakkan itu terlihat pada penyediaan tujuh akuarium dalam ruangan berukuran sekitar 3×4 meter di bagian depan lokasi penangkaran macan tutul pada komplek TSI. Setiap akuarium punya peran berbeda. Ada untuk penyimpanan telur, berudu, kodok muda, hingga tempat kawin, dan tempat karantina. Semuanya dilengkapi dengan tanaman agar menyerupai habitat asli kodok.

Tingkat asam dan basa air dalam akuarium itu juga dijaga antara 6,8-7,5. “Kita usahakan tetap seperti habitat aslinya. Kalau kurang atau lebih (asam dan basa), ganti air. Suhu di bawah 20 derajat, paling rendah 15 derajat. Di habitat alami antara 15-17 derajat,” tambah Arief.

Soal makanan, tim TSI menyiapkan beragam menu seperti layaknya di habitat asli seperti kelompok hymenoptera atau ordo dalam klasifikasi ilmiah serangga yang mencakup semut, lebah, dan tawon. Khususnya yang masih berbentuk larva. Selain itu ada juga isopoda atau hewan kecil kelas Crustacea (kerabat udang dan kepiting) yang ada di lingkungan lembap seperti bawah batu, tumpukan daun, atau kayu lapuk. “Kami juga coba berikan lalat buah,” kata Zaky, rekan kerja Arief.

Beragam spesifikasi yang nampak rumit ini guna memastikan kodok darah tetap bisa hidup. Secara alami, sambung Arief, kodok darah itu sangat sensitif terhadap perubahan kondisi alam. Makanya, keberadaan kodok darah di habitat asli jadi indikator lingkungan yang asri, terjaga dan tidak tercemar.

Riset atau penelitian mengenai kodok darah ini memang belum banyak. Setidaknya demikian temuan dari Rizki Kurnia Tohir, Mirza Dikari Kusrini, Ani Mardiastuti, dan Dede Aulia Rahman yang dipublikasikan dalam Jurnal Keanekaragaman Hayati dan Bioteknologi Tropis pada 9 Januari 2025 lalu.

Pada saat menuliskan artikel ilmiah bertajuk Understanding The Current Knowledge and Potential Research of Indonesia’s Only Protected Amphibian: The Bleeding Toad (Leptophryne cruentata), para penulis secara tidak langsung menyatakan masih kurangnya data terkait spesies tersebut.

Misalnya, mereka hanya menemukan 20 publikasi terkait kodok darah. Sebagian besar berasal dari karya ilmiah itu masuk kategori grey literature atau karya ilmiah yang tidak diterbitkan lewat jalur akademik formal atau jalur penerbitan komersial. Pada 11 topik penelitian, mereka hanya mendapati dua penelitian yang memiliki data memadai.

Temuan lainnya, para peneliti menyatakan kurangnya data mengenai taksonomi, morfologi, distribusi geografis, karakteristik habitat, hingga perilaku spesies tersebut.

Kepala BBKSDA Jawa Barat, Agus Haryanto menyambut baik pengembangbiakkan kodok darah di luar habitatnya. Apalagi, spesies itu sudah sangat jarang ditemukan di habitat aslinya. “Ini dapat bantu meningkatkan populasi satwa liar di alam,” ujar Agus yang berharap kodok darah bisa dilepasliarkan ke habitatnya saat populasi di penangkaran sudah meningkat.

About the writer

Adi Marsiela

Adi has been working as a journalist since 2003. He started at Suara Pembaruan daily until it closed in 2021. He's been writing and taking photos for The Jakarta Post and several other news agencies. Currently...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.