Minimnya perhatian media pada perdagangan ilegal trenggiling, Yayasan Kolase menggelar pelatihan investigasi untuk jurnalis guna mempertajam kemampuan peliputan isu kritis ini.

Perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar dilindungi, khususnya trenggiling, menunjukkan tren yang mengkhawatirkan di Kalimantan Barat. Ironisnya, peningkatan kasus ini belum diimbangi dengan perhatian yang memadai dari media massa untuk mengangkat isu kritis tersebut ke permukaan.

Data yang dihimpun oleh tim kerja Yayasan Kolase melukiskan gambaran suram: sepanjang tahun 2024 saja, tercatat tujuh kasus perdagangan trenggiling yang berhasil diungkap dan bergulir hingga ke meja hijau. Dari kasus-kasus tersebut, pengadilan negeri menyita barang bukti berupa sisik trenggiling dengan total berat mencapai sekitar 624,68 kilogram.

Namun, angka kasus yang tinggi ini tampaknya luput dari radar pemberitaan. Yayasan Kolase mencatat hanya ada 52 berita yang menyentuh isu trenggiling di media Kalimantan Barat selama periode tersebut. Jumlah ini baru mencerminkan kuantitas, belum menyentuh aspek kualitas dan kedalaman liputan yang diperlukan untuk isu sepenting ini.

Menyadari kesenjangan tersebut, Yayasan Kolase mengambil inisiatif dengan menggelar pelatihan investigasi jurnalistik bertema trenggiling pada 29-30 April 2024. Sebanyak 30 jurnalis dari berbagai penjuru Kalimantan Barat diundang untuk berpartisipasi dalam forum penting ini.

“Kami mengundang kawan-kawan jurnalis dari berbagai platform media, baik cetak maupun digital, termasuk radio dan televisi untuk mengikuti pelatihan itu,” ungkap Andi Fachrizal, Co-Founder Yayasan Kolase.

Pria yang akrab disapa Rizal Daeng ini menjelaskan bahwa pelatihan dirancang untuk membekali para jurnalis dengan kemampuan investigasi dan pelaporan yang lebih tajam terkait kasus trenggiling. Selain itu, pelatihan ini juga bertujuan membangun jaringan kerja yang solid antara jurnalis, aktivis lingkungan, dan pihak berwenang untuk bersama-sama mengatasi maraknya perdagangan satwa dilindungi ini.

“Bagian penting dari pelatihan ini adalah konsolidasi pikiran, agar kerja-kerja jurnalistik dapat menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik, termasuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perlindungan trenggiling,” jelas Rizal Daeng.

Untuk memastikan kualitas pelatihan, Yayasan Kolase menghadirkan narasumber dan pelatih yang kompeten di bidangnya. Di antaranya adalah Joni Aswira Putra, Ketua Umum The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), dan Arief Nugroho, jurnalis senior dari Pontianak Post.

Materi yang disajikan selama dua hari pelatihan mencakup spektrum yang luas, mulai dari Pengenalan Satwa Liar Trenggiling, Gambaran Umum Perdagangan Satwa Liar di Indonesia, Jurnalisme Investigasi, hingga teknik-teknik spesifik seperti Perencanaan dan Pembuatan ToR Investigasi, Teknik Peliputan, Penyamaran, Observasi, Pengemasan Laporan Investigasi, serta Kode Etik Liputan Investigasi.

“Semua materi itu tertuang dalam silabus agar kami dapat mengukur indikator keberhasilan sebuah pelatihan. Semoga ke depan para jurnalis dapat mengalihkan perhatiannya pada isu trenggiling. Satwa lindung yang sepi sentuhan, kendati kasusnya terus menanjak,” urai Rizal Daeng penuh harap.

Respon positif datang dari para peserta. Maria, jurnalis Suara.com, menyampaikan apresiasinya. Ia merasa pengetahuannya tentang satwa bernama Latin Manis javanica itu meningkat drastis berkat pelatihan ini. “Selama ini saya hanya mengenal nama trenggiling. Belum paham betul manfaatnya di alam, perilakunya, termasuk ancamannya. Sekarang saya paham. Semoga ke depan berkesempatan meliput. Terima kasih Yayasan Kolase,” kata Maria.

Senada dengan Maria, Doris Pardede dari Kompas TV Pontianak juga merasakan manfaat besar dari pelatihan tersebut. “Sangat bermanfaat bagi jurnalis yang selama ini hanya terbiasa dengan liputan reguler. Pelatihan ini mengajarkan tidak sekadar meliput peristiwa, tetapi bagaimana mendalami kasusnya, teknik, etika, dan perencanaannya,” katanya.

Melalui pelatihan ini, Yayasan Kolase berharap para jurnalis kini memiliki pemahaman yang lebih tajam dan mendalam mengenai kompleksitas kasus trenggiling. Lebih dari itu, diharapkan para pewarta menyadari peran vital mereka sebagai penjaga akurasi informasi, memastikan fakta yang utuh dan mendalam sampai ke ruang baca dan ruang dengar publik, demi kelestarian trenggiling dan ekosistemnya.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.