Posted inArtikel / Dunia fauna

Pedagang sisik trenggiling dituntut ringan, kelompok masyarakat sipil geram

Koalisi masyarakat sipil menolak tuntutan ringan Jaksa Penuntut Umum di PN Sintang terhadap dua terdakwa perdagangan ilegal trenggiling.

Tuntutan ringan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap dua terdakwa perdagangan ilegal 337,88 kg sisik trenggiling (Manis javanicus) pada persidangan di Pengadilan Negeri Sintang, Kalimantan Barat, Senin (25/3/2024), memicu reaksi keras dari sejumlah penggiat lingkungan dan jurnalis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia.

JPU menjatuhkan tuntutan pidana 1 tahun 10 bulan penjara kepada terdakwa Budiyanto anak Bun Bun Kang dan 10 bulan bui kepada Adrianus Nyabang anak Yohanes Ladin. Kedua terdakwa juga dituntut untuk membayar denda Rp20 juta masing-masing.

Berdasarkan pasal 40 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, para pedagang satwa liar dilindungi bisa dibui maksimal 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.

Padahal trenggiling, berdasarkan Permen LHK No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018, termasuk satwa yang dilindungi karena sudah terancam punah. Hewan ini bahkan sudah masuk dalam kategori critically endangered (terancam punah) dalam Daftar Merah Lembaga Konservasi Alam Internasional (IUCN Red List).

CITES (Konvensi Perdagangan Internasional untuk Spesies Tumbuhan dan Satwa Liar yang Terancam Punah) juga telah memasukkan trenggiling dalam Appendix I. Artinya, perdagangan antar-negara secara langsung dari alam dilarang.

Tak heran jika tuntutan JPU yang jauh dari maksimal itu membuat Koalisi Masyarakat Sipil menjadi geram.

Ini merupakan kejahatan yang serius dan terorganisir, seharusnya JPU menuntut Budiyanto dan Adrianus dengan hukuman maksimal

Fiolita Berandhini, Ketua Animals Don’t Speak human

JPU berdalih tuntutan tersebut diberikan lantaran Adrianus Nyabang merupakan purnawirawan TNI dan hanya berperan sebagai perantara. Sedangkan untuk tuntutan terhadap terdakwa Budiyanto tidak ada penjelasan lebih lanjut dari jaksa.

Ketua Animals Don’t Speak Human Fiolita Berandhini menilai alasan peringanan hukuman tersebut merupakan hal yang tidak etis diupayakan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk menilai bahwa seseorang layak mendapatkan keringanan hukuman.

Dalam siaran pers yang diterima Ekuatorial pada Sabtu (30/3), Fiolita menjelaskan seharusnya pensiunan TNI yang melakukan tindak kejahatan diberikan hukuman berat.

“Sudah seharusnya sebagai mantan aparatur negara yang sudah purna-tugas selalu memberikan contoh positif kepada masyarakat dengan tidak terlibat segala bentuk tindak pidana,” kata dia.

“Kami menilai bahwa terdakwa seharusnya dapat dijatuhi hukuman maksimal oleh hakim dikarenakan kerugian lingkungan akibat perburuan dan perdagangan trenggiling sangat besar.”

Dirinya memaparkan trenggiling mempunyai peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem alam. Kejahatan perdagangan ilegal sisik trenggiling itu ditaksir merugikan negara puluhan miliar rupiah.

“Ini merupakan kejahatan yang serius dan terorganisir, seharusnya JPU menuntut Budiyanto dan Adrianus dengan hukuman maksimal yakni 5 tahun penjara dan denda 100 juta rupiah,” ujar Fiolita yang tengah berada di Bali.

Kejahatan serius

Menanggapi kasus tersebut, Ketua Umum Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) Joni Aswira Putra menekankan bahwa kejahatan terhadap satwa dan satwa dilindungi harus mendapat perhatian serius.

Joni menyatakan bahwa keberadaan satwa liar di habitat aslinya sebenarnya menjadi parameter bagi keberlanjutan ekosistem. Sebuah kawasan disebut baik, bila kelangsungan biodiversitasnya terlindungi. Keragaman flora dan fauna menjadi bagian dari rantai ekosistem kawasan.

“Kasus perburuan dan perdagangan satwa, merupakan tindak kejahatan serius,” tegas Joni.

“Perburuan membuka jalan untuk hancurnya habitat. Selain itu juga memungkinkan terjadinya potensi zoonosis, yaitu wabah penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia. Pada kejahatan yang lain, telah banyak lembaga merilis nilai kerugian negara, serta kerugian ekonomi negara dari perdagangan ilegal satwa liar,” tambah Joni di Jakarta.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan bahwa kerugian negara akibat perdagangan satwa liar mencapai Rp13 triliun per tahunnya.

Dalam catatan Financial Action Task Force (FATF), keuntungan akibat perdagangan ilegal satwa liar secara global mencapai miliaran dolar tiap tahunnya. Di Indonesia, kondisi tersebut diperparah dengan perdagangan ilegal satwa liar sebagai modus pencucian uang.

“Tidak hanya terkait TPPU, data PPATK juga menemukan Kejahatan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) terkait dengan pendanaan terorisme, narkoba, dan kejahatan transnasional lainnya,” terang Joni.

Revisi UU No. 5/1990

Direktur Eksekutif Yayasan Titian Martin Gilang mengatakan perlu segera dilakukan revisi terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yang sudah tidak lagi mampu mengakomodasi modus, pola, dan ketentuan pidana kejahatan perdagangan satwa liar.

Rendahnya upaya penegakan hukum dan vonis terhadap pelaku kejahatan beserta jaringannya juga dipengaruhi oleh sejumlah faktor.

“Salah satu faktornya yaitu masih minimnya kesadaran dan wawasan masyarakat terhadap regulasi dan sanksi hukum terhadap kegiatan ilegal perdagangan satwa liar. Oleh karena itu penyadartahuan kepada masyarakat sipil secara sistematis dan reguler masih sangat dibutuhkan,” kata Martin di Pontianak.

Selain itu, lanjutnya, belum adanya upaya menggunakan undang-undang tindak pidana pencucian uang sebagai salah instrumen untuk memberikan vonis pada terdakwa, menjadi tantangan tersendiri. Padahal, menurut dia, jelas telah terjadi kerugian negara.

“Tentunya masih banyak kendala dan dibutuhkan sinergitas para pihak untuk saling memberikan dukungan dalam upaya menekan tindak kejahatan satwa liar di Indonesia dan Kalimantan Barat khususnya. Hal ini agar setimpal menjadi efek jera bagi pelaku,” bebernya.

Mengganggu keseimbangan ekosistem

Sementara itu akademisi Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Hari Prayogo menilai, maraknya kasus perburuan dan perdagangan sisik Trenggiling di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat terhadap status konservasi trenggiling masih sangat minim.

Menurutnya, trenggiling banyak diburu terutama karena sisik dan dagingnya. Sisiknya digunakan untuk bahan obat-obatan tradisional yang dapat meningkatkan kesehatan tubuh dan dagingnya dikonsumsi sebagai hidangan mewah atau sumber protein lokal.

Perburuan massif trenggiling juga, kata Hari, Padahal, akan menghilangkan sumber plasma nutfah, mengganggu keseimbangan ekosistem hutan hujan dataran rendah, dan mengganggu kestabilan rantai ekologis di wilayah hutan.

Pengadilan (harus) memberikan hukuman … yang setimpal terhadap pelaku kejahatan agar bisa memberi efek jera

Hari Prayogo, Dosen Universitas Tanjungpura

Hari juga menyoroti vonis ringan yang kerap diberikan kepada para pelaku kejahatan terhadap satwa liar, sehingga tak memberikan efek jera.

“Untuk mencegah hal tersebut berulang kembali sebaiknya pihak berwenang, dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah, memfokuskan perhatian yang lebih besar untuk proses perlindungan populasi satwa ini, melakukan sosialisasi yang tepat terhadap masyarakat,” kata Hari Prayogo di Pontianak.

“Pihak pengadilan (harus) memberikan hukuman serta sanksi yang setimpal terhadap pelaku kejahatan agar bisa memberi efek jera bagi pelaku.”

Pernyataan Sikap Koalisi Masyarakat Sipil:

  1. Menolak tuntutan hukuman yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada para terdakwa dalam perkara Nomor 8/Pid.B/LH/2024/PN Stg dan Nomor 9/Pid.B/LH/2024/PN Stg. Tuntutan hukum kepada para terdakwa jelas telah mengabaikan prinsip-prinsip keadilan lingkungan dan tidak berpihak pada kaidah keberlanjutan ekologis;
  2. Mendesak Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat untuk meninjau ulang dan memberikan tuntutan hukuman yang maksimal kepada para terdakwa dalam perkara Nomor 8/Pid.B/LH/2024/PN Stg dan Nomor 9/Pid.B/LH/2024/PN Stg. Mendorong agar proses penegakan hukum dilakukan secara serius serta menjunjung tinggi prinsip-prinsip etika lingkungan dan keadilan ekologis;
  3. Kejahatan terhadap satwa liar (wildlife crime) merupakan delik serious crime, maka sanksi yang diberikan harus bisa lebih berat dari kejahatan pada umumnya. Memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa untuk dapat menghukum berat para pelaku sehingga dapat memberikan efek jera bagi para terdakwa dan menjadi contoh bagi masyarakat.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.