Meski Eramet menjalankan program community development yang komprehensif, tekanan terhadap sumber daya air dan lahan tetap jadi sumber kecemasan masyarakat

Cadangan nikel laterit Indonesia adalah yang terkaya di dunia, kunci tak terbantahkan untuk transisi global menuju kendaraan listrik. Eramet, sebuah perusahaan tambang asal Perancis melalui proyek Weda Bay Nickle (WBN) di Halmahera Tengah, Maluku Utara adalah pemain utama dalam perlombaan ini.

Di tengah booming nikel Indonesia yang sering kali mengabaikan daya dukung alam, Eramet menawarkan sebuah narasi yang berbeda. Sejak fase konstruksi dimulai, raksasa tambang Perancis ini secara konsisten menempatkan prinsip-prinsip responsible mining atau “pertambangan bertanggung jawab” sebagai inti dari strategi operasionalnya di Indonesia. Namun, apakah komitmen ini mampu bertahan menghadapi tekanan produksi dan kompleksitas ekosistem Halmahera?

Selama lebih dari satu dekade, frasa responsible mining digaungkan di ruang rapat perusahaan, dijanjikan kepada investor, dan ditawarkan kepada masyarakat lokal. Namun, di medan tambang nikel yang gersang dan memerah di Indonesia, konsep ini diuji dengan keras.

Inovasi teknologi

Berdasarkan data dalam Laporan Keberlanjutan Eramet 2023, investasi dalam teknologi menjadi pilar utama. Eramet mengklaim pabrik pengolahan feronikel WBN dirancang dengan sistem Zero Liquid Discharge atau nol pembuangan cairan yang canggih. Seluruh air proses didaur ulang dan diolah secara ketat, sehingga tidak ada limbah cair yang dibuang langsung ke perairan laut Halmahera yang dikenal memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Langkah ini jauh melampaui kepatuhan terhadap regulasi lokal dan mencerminkan standar internasional yang ketat.

Selain itu, untuk mengelola emisi, Eramet memilih menggunakan Electric Furnaces (tungku listrik) daripada teknologi yang lebih tradisional dan lebih berpolusi. Meskipun konsumsi listriknya tinggi, pilihan teknologi ini menunjukkan pertimbangan jangka panjang untuk mengurangi jejak karbon langsung dari operasionalnya.

“Target kami adalah menurunkan emisi CO2 sebesar 40 persen pada 2035,” tegas Jerome Baudelet, CEO Eramet Indonesia dalam  Eramet Journalist Class: Memahami Industri Nikel Indonesia – Perspektif Terkini dan Praktik Berkelanjutan di Jakarta, Senin, 25 Agustus 2025 lalu.

Namun, dari sudut pandang di lapangan, ceritanya lebih kompleks dan tidak sesederhana itu. Menurut Jalal, pengamat sustainability yang juga co-founder A+ CSR Indonesia, pertambangan yang bertanggung jawab berarti perusahaan tidak hanya melihat dampak operasional tambang terhadap lingkungan dan masyarakat, tetapi juga mengelola isu-isu eksternal yang memengaruhi bisnis mereka, yang disebut sebagai pendekatan double materiality. Ini mencakup praktik etis, pengelolaan lingkungan, dan keterlibatan masyarakat untuk mencapai keseimbangan antara produktivitas dan keberlanjutan serta tanggung jawab sosial. 

Tantangan yang membayangi

Jalan menuju pertambangan yang benar-benar bertanggung jawab masih panjang. Tantangan terberat justru datang dari luar pagar operasi langsung Eramet. Pertama, jejak karbon tidak langsung. Smelter di Kawasan Industri Weda Bay (IWIP) masih sangat bergantung pada pembangkit listrik tenaga batu bara. Data dari Institute for Essential Services Reform (IESR) 2024 menyoroti kontradiksi ini: logam yang ditujukan untuk ekonomi hijau masih digerakkan oleh energi fosil.

Kedua, dampak sosial tidak langsung. Kehadiran kawasan industri skala besar telah mengubah lanskap sosial-ekonomi Halmahera secara drastis. Eramet melaporkan program pemberdayaan masyarakat lokal melalui penyediaan lapangan kerja, pelatihan, hingga keterlibatan komunitas dalam proses perencanaan. Perusahaan juga menjalankan rekultivasi lahan pasca-tambang dengan penanaman vegetasi lokal, upaya kecil namun penting untuk mengembalikan fungsi ekosistem.

Meski Eramet menjalankan program community development yang komprehensif, tekanan terhadap sumber daya air dan lahan dari seluruh kawasan industri tetap menjadi sumber kecemasan bagi masyarakat adat setempat.

Kepemimpinan melalui akuntabilitas

Perjalanan Eramet di Indonesia adalah miniatur dari tantangan terbesar yang dihadapi industri ekstraktif saat ini. Ini membuktikan bahwa “pertambangan bertanggung jawab” tidak bisa lagi hanya dibatasi pada pagar operasi satu perusahaan. Tetapi harus mencakup seluruh rantai pasokan—dari sumber energi smelter hingga ke tujuan akhir logam tersebut.

Eramet mengklaim telah meletakkan fondasi yang kuat untuk responsible mining di Indonesia. Langkah-langkah nyata dalam pengelolaan air, konservasi biodiversitas, dan penerapan teknologi bersih patut dijadikan tolok ukur. Tantangan ke depan adalah meningkatkan akuntabilitas beyond compliance. Tekanan harus diberikan untuk mendorong transisi energi hijau di seluruh kawasan industri dan memperkuat keterlibatan masyarakat lokal yang inklusif dan transparan.

Jika Eramet berhasil mengatasi paradoks ini, mereka tidak hanya akan membuktikan komitmennya pada “pertambangan bertanggung jawab”, tetapi juga menjadi katalis untuk perubahan standar industri pertambangan di Indonesia secara keseluruhan. Masa depan nikel Indonesia tidak harus hitam atau merah; ia bisa tetap hijau.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses