Bupati Kepulauan Mentawai menolak masuknya PBPH PT Sumber Permata Sipora karena menurutnya pembabatan hutan akan merugikan masyarakat adat.
Di atas bubungan atap gazebo dari daun sagu, seekor Siteut, beruk endemik Mentawai, menatap kami di bawahnya. Ia segera turun dari puncak atap yang sebagian berlubang karena aktivitasnya itu. Di lehernya terkalung rantai yang diikat dengan tali panjang yang ujungnya tertambat ke tiang gazebo.
Kini beruk Mentawai itu sejajar dengan kami. Matanya yang cokelat terang memandang dengan ramah. Ia terlihat terpelihara, karena bulunya bersih. Jambul di kepalanya berwarna cokelat pirang, bulu tubuhnya cokelat gelap, dan ekornya pendek lurus. Ia kembali melompat dan berayun dengan tangannya, lalu bertengger di tonggak gazebo.
“Namanya Boby, ini punya kenalan saya Carlos, seorang peselancar di Katiet, setahun lalu dia sudah pulang ke Australia sehingga Siteut ini dititipkan pada saya,” kata Mateus Sakaliu.
Mateus pemandu wisata alam minat khusus yang tinggal di Desa Goisooinan, Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai. Selain menjadi pemandu turis, Mateus juga aktif di Malinggai Uma, lembaga koservasi lokal yang berpusat di Siberut Selatan. Ia kerap mengantar turis asing dan peneliti yang mengamati primata, burung, katak, ular, dan pohon ke hutan Mentawai.
Etty, istri Mateus telah menyediakan sepiring makanan untuk Siteut. Piring itu berisi beberapa potong apel yang sudah dikupas kulitnya, pisang, dan tebu yang baru dikupas.
Melihat makan siangnya sudah datang, Siteut meluncur dari tonggak gazebo dari atas atap. Tangannya terjulur mengambil potongan apel yang disodorkan Etty, lalu berayun memanjat ke atas dan memakannya.
“Siteut ini bisa melepaskan tali di lehernya, sudah dua kali ia melepaskan diri karena pernah diganggu anak-anak, tapi pada malam hari dia kembali lagi ke sini, sepertinya ia sudah tidak bisa lagi hidup di alam liar, kalau bisa sudah saya lepasliarkan, karena saya tidak tahan melihat binatang yang diikat,” kata Mateus.
Siteut itu didapat Carlos dari warga lokal di Katiet. Carlos melihat di jalan ada warga yang membawa seekor anak beruk Mentawai, yaitu siteut. Juga seekor lutung yang dalam bahasa Mentawai disebut Atapaipai dan seekor Bilou atau Owa. Ketiganya primata endemik Mentawai.
“Saat itu Carlos melihat Bilou itu berhasil melarikan diri ke pohon, tetapi oleh orang yang membawanya dikejar dan ditembak dengan senapan, dan mati. Akhirnya Carlos meminta anak Siteut itu ia pelihara, mungkin juga ia terpaksa membelinya kepada orang itu,” kata Mateus.
Mateus menduga ketiga anak primata endemik Mentawai itu didapat orang yang membawannya dengan diburu. “Sudah pasti dari perburuan, dan pemburu itu telah membunuh induknya untuk mendapatkan anaknya,” katanya dengan wajah muram.
Siteut itu sempat tinggal tiga bulan bersama Carlos di homestay yang disewanya di Katiet. Setelah itu ia menyerahkannya kepada Mateus.
“Dia berpesan tidak boleh dilepaskan ke hutan, karena pasti akan diburu, jadi saya merencanakan akan membawanya ke Siberut, Malinggai Uma saat ini sedang membuat tempat rehabilitasi primata di Siberut dan saya akan membawa Siteut itu ke sana, Carlos sudah setuju,” kata Mateus.

Enam primata endemik
Kepulauan Mentawai memiliki enam jenis primata endemik. Selain Siteut, lima primata lainnya adalah Bokkoi, Simakobu, Joja, Atapaipai, dan Bilou.
Banyaknya prima endemik di Kepulauan Mentawai yang terdiri dari pulau-pulau yang termasuk kecil, terkait dengan sejarah geologisnya. Selama masa Pleistocen atau pada Zaman Es, kira-kira satu juta sampai 10.000 tahun yang lalu, ketika permukaan laut di daerah Asia Tenggara 200 meter lebih rendah dari sekarang, Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Benua Asia saling terhubung.
Hal ini menyebabkan adanya pertukaran bebas aneka jenis binatang yang menyebabkan persamaan umum fauna di antara ketiga pulau besar tersebut. Namun Kepulauan Mentawai, karena dipisahkan oleh selat yang lebih dalam, tetap terpisah dari daratan sekurang-kurangnya sejak masa Pleistocen Tengah.
Hal inilah yang membuat Kepulauan Mentawai menjadi pulau-pulau asli yang diperkirakan semenjak 500 ribu tahun lalu, serta membuat fauna dan floranya terpelihara dari perubahan-perubahan evolusi dinamis, seperti yang terjadi pada daerah di bagian Paparan Sunda lainnya.
Yang paling menarik dari fauna Mentawai, sebanyak 65 persen mamalianya endemik, di antaranya adalah primata. Sebelumnya di Kepulauan Mentawai disebut hanya memiliki empat spesies primata, yaitu Bilou (Hylobates klossii), Bokkoi (Macaca pagensis), Joja (Presbytis potenziani), dan Simakobu (Simias concolor).
Namun dalam perkembangan taksanomi terbaru, Macaca pagensis dipisah menjadi dua speies, yaitu Macaca siberu untuk yang tersebar di Pulau Siberut dan Macaca pagensis untuk yang penyebarannya yang ada di Pulau Pagai Utara, Pulau Pagai Selatan, dan Pulau Sipora. Penyebutan kedua Macaca ini disesuaikan dengan nama lokal, yaitu Bokoi di Siberut dan Siteuit di Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora.
Kemudian Lutung Mentawai (Presbytis Potenziani) menjadi dua spesies, yaitu Presbytis potenziani dengan nama lokal Atapaipai untuk lutung yang ada di Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora dan Presbytis potenziani potenziani atau Joja untuk lutung yang ada di Siberut.
Dengan pembagian itu, Pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan memiliki empat spesies primate endemik. Sedangkan Pulau Siberut juga memiliki empat primata endemik dengan dua spesies yang berbeda dari tiga pulau lainnya. Meski endemik dan dilindungi, namun status konservasi keenam primata ini terancam punah. Bahkan Simakobu sudah masuk kategori kritis dan tahun ini tercantum dalam daftar 25 primata paling terancam di dunia. Mateus mengatakan, kini keempat primata endemik itu semakin sulit dijumpai, kecuali jika masuk lebih jauh ke dalam hutan dan menunggunya beberapa hari.
“Kalau dulu masih sering turun dari hutan ke pantai, terutama Siteut, Atapaipai, dan Simakobu, kecuali bilou yang tidak mau turun ke tanah, tapi sekarang sudah jarang sekali terlihat, ini sangat mengkhawatirkan,” kata Mateus.
Nasib primata endemik di Hutan Berkat
Dua tahun lalu, pertengahan Juni 2022, saya juga diantar Mateus melihat habitat primata endemik Sipora di Hutan Berkat yang terletak di Dusun Berkat, Desa Tuapeijat, Sipora Utara.
Saya dan dua jurnalis rekan saya ingin mereportase empat primate endemik yang banyak terdapat di Hutan Berkat yang menurut Mateus salah satu kantong habitat penting primata di Pulau Sipora.
Saat perahu kami mendarat di pantai Pukakarayat yang merupakan jalan masuk ke Hutan Berkat, ternyata di tempat itu sedang ada aktivitas penebangan hutan besar-besaran. Ada kegiatan loading kayu di sana. Ratusan pohon telah ditebang, bersusun tinggi di logpond di pantai ittu. Dua kapal ponton terlihat sedang memuat sebagian kayu gelondongan.
Ketika kami memasuki hutan, alat berat terlihat sedang bekerja menebang pohon kruing, meranti, dan katuka yang besar dan tinggi.
“Pohon-pohon itulah yang menjadi rumah primata endemik,” kata Mateus.
Hanya seekor Simakobu yang terlihat di sebuah pohon meranti yang belum ditebang. Saat melihat kedatangan kami, ia segera melompat dan menghilang dengan berayun ke pohon lain yang tersisa.
“Kini primata di Hutan Berkat sudah tidak ada lagi karena rumahnya sudah digusur, mereka pindah ke hutan yang lebih jauh,” kata Mateus mengenang perjalanan kami.
Penebangan hutan yang sedang dilakukan saat itu adalah penebangan di kawasan Arel Penggunaan Lain (APL) milik masyarakat melalui hak akses Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) yang dikeluarkan Balai Pengelolaan Hutan Lestarii (BPHL) Wilayah III di Pekanbaru.
Masyarakat pemilik lahan sebagai PHAT (Pemegang Hak Atas Tanah) dimodali investor untuk mengajukan hak akses penebangan hutan alam kepada BPHL Wilayah III Pekanbaru. Kayu bulat hasil tebangan dijual investor ke Semarang dan Surabaya.
Modus pengambilan kayu dengan memanfaatkan akses SIPUHH ini dalam tiga tahun terakhir telah menghabiskan ribuan pohon yang menjadi target penebangan, yaitu pohon-pohon besar seperti pohon Keruing, Meranti, dan Katuka.
Dari data Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat pohon yang sudah ditebang sejak 2022 hingga Juli 2025 di Pulau Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora mencapai 62.049 ribu batang pohon atau 181.683 kubik kayu. Pada 2 Juli 2025 Kementerian Kehutanan mengevaluasi PHAT dan menutup layanan pemberian hak akses SIPUHH yang baru. Salah satu alasannya karena PHAT diduga melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan pemanfaatna kayu.
“Sudah ditutup Menteri Kehutanan, kami di Dinas Kehutanan juga sejak awal tidak terlibat dalam pemberian akses SIPPUH ini, semua prosesnya oleh Balai Pengelolaan Hutan Lestari Wilayah 3,” Kata Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Barat, 1 September 2025.
Namun ancaman lain bagi primata endemik Mentawai di Pulau Sipora kembali mengintai. Kali ini jauh lebih besar. Pemerintah telah memberikan izin persetujuan komitmen untuk Perizinan Berusaha Pemanfataan Hutan (PBPH) seluas 20.706 hektare atau sepertiga luas Pulau Sipora kepada PT Sumber Permata Sipora. Saat ini perusahaan tersebut sedang memperbaiki Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) untuk mendapatkan izin beroperasi menebang hutan Sipora.
Ahli primata khawatir
Dr. Rizaldi, ahli primata di Departemen Biologi Universitas Andalas, sangat khawatir dengan maraknya pembukaan hutan di Pulau Sipora dalam tiga tahun terakhir. Apalagi ditambah dengan izin baru untuk PBPH PT Sumber Permata Sipora yang sedang diproses.
Rizaldi mengatakan kondisi primata di Mentawai saat ini sangat mendesak untuk diperhatikan karena primata itu telah kehilangan habitat yang begitu parah.
“Yang paling urgent sekarang adalah primata-primata yang ada di Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan, karena tidak ada kawasan perlindungan seperti di Siberut yang ada taman nasional, sepanjang tidak ada hutan konservasi habitat primata di Sipoa ini akan hilang,” katanya.
Apalagi, tambahnya, IUNC saat ini sudah memisahkan jenis spesies Joja dan Bokoi yang ada di Pulau Siberut berbeda dengan yang ada di Pulau Pagai dan Sipora.
“Ditambah lagi tahun ini ahli primata di dunia juga memasukkan Simakobu sebagai 25 primata paling terancam di dunia, seharusnya pemerintah Indonesia malu dan membuat upaya agar Simakobu keluar dari daftar itu,” ujarnya.
Menurut Rizaldi, dua spesies utama yang paling terdampak penebangan hutan di Sipora adalah Bilou dan Simakobu. Selanjutnya berurutan Atapaipai dan Siteut.
Bilou paling terdampak karena sangat tergantung pada tegakan pohon yang paling tinggi, karena ia tidak pernah turun ke lantai hutan, seperti tiga primata lainnya.
“Bilou hanya memakan buah, terutama buah ara. Kalau tegakan hutan dibuka akan menghambatnya untuk berpindah ke pohon lain mencari makanan,” katanya.
Simakobu juga tinggal di pohon yang tinggi, memakan buah dan daun. Tidak seperti Atapaipai dan Siteut yang pilihan makanannya lebih banyak dan bisa turun ke lantai hutan.
“Siteut lebih opurtunis, karena bisa hidup dekat dengan aktivitas manusia seperti di ladang, tetapi itu menjadikannya berkonflik dengan manusia karena dianggap hama,” katanya.
Rizaldi mengingatkan, ketika alat berat mulai beroperasi dan masuk ke kawasan primata-primata tersebut, kemudian menebangi pohon-pohon yang besar dan kecil dengan melakukan ‘land clearing’, dalam kurun yang singkat primata tersebut akan kehilangan potensi makanan.
“Jangan lagi ada logging, sudah terlalu banyak eksploitasi hutan di Mentawai sejak 1970 sampai sekarang, pohon ditebang menjadi kayu log dan dibawa keluar Mentawai, harusnya itu tidak lagi dilakukan, karena Sipora termasuk pulau kecil yang rentan dan rapuh, bisa kekurangan air tawar,” ujarnya.
Menurut Rizaldi, jika penebangan hutan di Pulau Sipora tetap berlanjut, Sipora akan kehilangan biodiversiti hutannya. Ekosisitemnya akan terganggu, karena banyak satwa besar seperti rusa, babi hutan, dan primata akan lenyap.
“Kalau ditebang lagi, hutan bisa saja recovery untuk lima puluh tahun ke depannya, tapi faunanya bagaimana mau recovery kalau sudah hilang,” katanya.
Kalau serangga kecil, jelasnya, mungkin masih akan kembali. Namun hewan besar tidak akan kembali.
“Padahal suatu ekosistem itu butuh hewan besar, butuh predator, satu saja ada yang hilang, jelas akan ada yang terganggu, bisa menjadi hutan yang ada pohon tapi lahannya kering seperti gurun, seperti di kebun sawit,” katanya.
Ia berharap eksploitasi hutan di Kepulauan Mentawai sudah harus dihentikan sekarang.
Bupati Mentawai menolak PBPHPT SPS
Bupati Kepulauan Mentawai Rinto Wardana Samaloisa menyatakan dengan tegas menolak masuknya PBPH PT Sumber Permata Sipora karena menurutnya pembabatan hutan akan merugikan masyarakat adat.
“Saya sudah menyampaikan langsung kepada Menteri Kehutanan dan Gubenur Sumatera Barat untuk tidak meloloskan izin ini, karena banyak penolakan dari masyarakat,” kata Rinto.
Untuk penyelamatan primata Mentawai Bupati sudah memiliki rencana untuk membuat ekowisata di hutan Siberut dan Sipora untuk tempat pengamatan satwa Mentawai bagi turis asing yang banyak datang ke Mentawai. Kawasan itu akan dilengkapi dengan jalur treking masu ke dalam hutan.
“Tidak saja tempat pengamatan primata endemik Mentawai, tetapi juga satwa Mentawai lainnya seperti tupai terbang endemik, buung hantu endemik, burung beo, dan rangkong,” katanya di Tuapeijat pada 2 Agustus 2025. Rinto juga ingin mendorong masyarakat adat untuk membuat ekowisata di hutan adat.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Barat Tasliatul Fuadi yang diberi mandat membahas ANDAL (Analisa Dampak Lingkungan) PT.Sumber Permata Sipora mengatakan untuk perlindungan satwa dalam konsesi kawasan PBPH PT Sumber Permata Sipora, selain ada hutan lindung seluas 661 hektare, juga akan ditambah minimal 100 hektare untuk areal satwa dan plasma nutfah.
“Akan ada tambahan 100 hektare di dekat hutan lindung di sekitar Saureinuk, selain itu kami juga mengusulkan agar ada penebangan selektif, minimal kayu yang diameternya 50 sentimeter ke atas, tidak 40 up seperti sekarang,” katanya.
Saat ditanya tentang kemungkinan membuat koridor satwa dari utara hingga selatan, ia mengatakan itu akan menghabiskan areal.
“Kalau di semua tempat ya habis, atau kita jadikan hutan lindung ,atau dijadikan taman nasional, harus di-SK-kan oleh Menteri, apa mau begitu, saya setuju saja, kalau mau dijadikan hutan adat itu bertahap dan prosesnya lama,” katanya pada 19 Agustus 2025 usai pertemuan dengan Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat yang menolak masuknya PBPH PT Sumbar Permata Sipora di DPRD Sumatera Barat.
Saya kembali mengunjungi Hutan Berkat pada 22 Agustus 2025 untuk melihat kembali hutan yang saya saksikan sedang ditebang tiga tahun silam.
Kami masuk hutan pagi hari, melewati jalan tanah merah berlumpur dan tergenang air. Jalan bekas loading di tengah hutan menuju pantai Pukarayat masih diperkeras dengan batu dan jembatan dari balok-balok pohon. Di beberapa tempat bekas tebangan sudah berubah menjadi kebun pisang dan ladang masyarakat. Sebagian besar masih hutan dengan sisa pohon yang tidak ditebang.
Seekor ular king kobra melintas cepat, masuk ke semak begitu mengetahui kami lewat. Di dekat sungai telihat seekor biawak. Beberapa burung melintas. Seekor rangkong dan seekor elang terlihat di pohon. Sedangkan burung sriguntung kelabu terbang melintas.
Sedangkan bajing terbang endemik Mentawai dan burung hantu endemik Mentawai yang dulu pernah terlihat di tempat itu, kini tak terlihat lagi.
Hutan telah menjadi sunyi. Tidak terdengar suara seekor pun primata Mentawai di tempat itu. Siteut, simakobu, Atapaipai, atau pekikan bilou tak lagi terlihat atau bersuara dari kejauhan. Pohon-pohon yang dulu menutupi hutan dengan rapat kini sudah jarang dan tempat itu semakin terang.
“Saya rasa semua primata yang ada di sini dulu sudah pindah ke hutan yang terlindungi dari tebing batu ke arah selatan sana,” kata Mateus.
Mateus menceritakan sudah pernah melihat ke lokasi itu dan menyaksikan ada primata di sana. “Di sana penebangan hutan akan sulit dilakukan, semoga primata itu bisa aman,” kata Mateus yang kembali mendampingi saya ke Hutan Berkat,
Dia tetap mencoba optimistis dengan ancaman penebangan hutan yang mengintai habitat terakhir primata di Sipora. “Tidak semua orang mau menyerahkan tanahnya untuk digarap, ada juga yang masih memikirkan dampak lingkungannya, mereka akan kesulitan air dan dapat bencana, semoga perusahaan tidak jadi beroperasi di sini,” ujar Mateus.
- TBC dan malnutrisi mengancam anak-anak, berkaca dari kasus kematian Raya di Sukabumi
- Hutan Sipora yang semakin sunyi
- Di balik janji “pertambangan bertanggung jawab”: Ujian bagi Eramet di Indonesia
- Orang muda dan masyarakat adat menanam mangrove, benteng alami dari bahaya krisis iklim
- Kesaksian, peluncuran buku foto Surga yang Dibisukan
- Akankah China jadi sekutu nuklir Indonesia?