Delegasi Indonesia pada CO30 di Brazil mempersiapkan kertas posisi nasional yang mencakup 20 kelompok kerja tematik dan diklastering jadi 13 agenda negosiasi utama.
Penyelenggaraan COP30 yang berlangsung di Belem, Brasil tinggal menunggu hitungan hari. Kota tersebut merupakan salah satu kota hutan di jantung Amazon. Sebagai salah satu negara peserta, seperti apa persiapan Indonesia jelang COP30?
Deputi Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon, Kementerian Lingkungan Hidup, Ari Sudijanto menerangkan COP30 bukan sekadar agenda diplomasi, melainkan menjadi peluang Indonesia untuk menjembatani negara maju dan negara berkembang dalam target iklim global yang adil dan inklusif.
“Dalam beberapa bulan terakhir, delegasi kami sudah mempersiapkan kertas posisi nasional yang mencakup pada 20 kelompok kerja tematik dan diklastering menjadi 13 agenda negosiasi utama,” katanya dalam Dialog Nasional bertajuk “Road to COP30 Improving Indonesia’s Position for Advancing the National Climate Action and Commitments” di Jakarta, Rabu (22/10/2025).
Ari memaparkan delegasi yang dikirim nantinya akan membawa enam fokus utama. Pertama, mengenai global stocktake in the Just Transition Work Programme (JTWP) yang tidak hanya menjadi evaluasi teknis, melainkan juga dikembangkan menjadi global emisi agar menjadi kerangka kolektif untuk memperkuat ambisi setiap negara dengan menyesuaikan kapasitas nasional.
“Dalam konteks just transition dalam konteks transisi energi bersih tetap memperhatikan keadilan khususnya kepada masyarakat kelompok rentan yang selama initergantung pada sektor tinggi emisi seperti sektor energi dan ekstraktif,” katanya.
Kedua, terkait program impelementasi teknologi, Indonesia menegaskan pentingnya transfer teknologi agar lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan negara berkembang.
Pihaknya juga akan turut mendorong terbentuknya Climate Technology Centre and Network dan Technology Executive Comitte agar dapat berperan aktif membantu bantuan teknis proyek dan memperkuat kapasitas building.
“Dalam hal ini Indonesia akan menjadi garda terdepan untuk menghubungkan kebutuhan domestik dengan dukungan internasional,” ujarnya.
Adapun agenda ketiga yakni perlunya tujuan adaptasi global dan rencana adaptasi nasional dengan mempertimbangkan indikator capaian yang terukur dan inklusif. Ia mencontohkan sejumlah sektor yang perlu diukur secara inklusif yakni di sektor pertanian, pengolahan pesisir dan tata air.
Keempat, mengenai pelaksanaan penetapan harga karbon di Indonesia. Sebagai negara yang pelopor dalam penerapan mekanisme pasar kabon, Indonesia pada September 2023 sudah meluncurkan bursa karbon untuk domestik di IDX.
Indonesia, kata Ari, juga telah menerbitkan sejumlah regulasi untuk memperkuat tata kelola transaksi karbon untuk domestik. Termasuk memastikan setiap kerja sama internasional yang berbasis karbon memiliki integritas lingkungan yang tinggi, transparan dan bermanfaat bagi masyarakat.
Sementara itu, kelima terkait pendanaan iklim, Indonesi akan memperjuangkan agar pendanaan iklim menjadi mudah diakses, dapat diprediksi dan berimbang antara mitigasi dan adaptasi.
“Kita juga perlu adanya peningkatan green based finance khususnya negara berkembang untuk menghadapi dampak krisis iklim ekstrem,” katanya.
Terakhir keenam, Indonesia akan fokus pada perjuangan agenda New Collective Quantified Goal (NCQG). Berdasarkan roadmap, kata Ari, para pihak negara menyepakati target pembiayaan iklim sebesar 1,3 triliun USD/tahun di tahun 2035 yang terdiri 300 miliar USD/tahun dari pembiayaan publik negara-negara maju, 1 triliun USD/tahun dari sumber lainnya dari sektor privat.
“Tujuannya untuk meningkatkan dukungan negara berkembang melalui pembiayaan konvensional, reformasi lembaga keuangan multilateral dan investasi campuran demi memenuhi kebutuhan kebutuhan aksi mitigasi dan aksi dan membangun kepercayaan dan mendorong aksi iklim yang adil,” katanya.
Direktur Lingkungan Hidup, Bappenas, Nizhar Marizi mengungkapkan di tengah target pertumbuhan ekonomi Indonesia, perubahan iklim menjadi tantangan serius. Krisis iklim turut memicu terjadinya bencana kekeringan, banjir dan gelombang panas di sejumlah daerah di Indonesia.
“Tekanan lingkunan ini bahwa menekankan bahwa model pembangunan konvensional tidak lagi relevan. Indonesia harus bertransformasi menuju pertumbuhan yang inklusif, inovatif, rendah karbon, dan berkelanjutan,” katanya.
Karena itu, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 menegaskan visi Indonesia sebagai negara yang bersatu, berdaulat, maju dan berkelanjutan. Komitmen tersebut menurutnya telah diintegrasikan dalam RPJMN 2025-2029.
“Dalam rencana tersebut pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim berperan penting sebagai penyeimbang antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan sosial lingkungan. Pembangunan tidak hanya berorientasi pada peningkatan produktifitas tapi juga memastikan pertumbuhan yang dicapai juga rendah emisi, inklusif dan berkelanjutan,” katanya.
Kepala Departemen Iklim dan Lingkungan, Kedutaan Besar Jerman, Maike Lorenz menilai Indonesia sebagai anggota G20 memiliki peran dan tanggung jawab besar untuk memimpin aksi iklim, serta turut memengaruhi pengambilan keputusan di forum politik tingkat tinggi.
Pemerintah Jerman, kata Maike, mengapresiasi inisiatif penting yang dilakukan Indonesia seperti peta jalan dekarbonisasi industri nikel dan pembentukan pasar karbon. Inisiatif ini menunjukan kesiapan awal dalam menyelaraskan komitmen nasional dengan prioritas global.
“Sebagaimana kita semua pahami langkah langkah ini masih dari cukup untuk memastikan batas suhu global sebesar 1,5 derajad. Karena itu kita butuh NDC yang lebih ambisius dibandingkan,” terangnya.
Di sisi lain, Maike turut menyayangkan mundurnya target penurunan emisi karbon nasional yang mengalami kemunduran target dari 2030 menjadi 2035. Maike mengkhawatirkan bila hal itu dilakukan akan menyulitkan Indonesia mencapai Nett Zero Emision (NZE) sebelum 2050 atau 2060.
“Menurut para analisis iklim skenario tersebut akan membutuhkan jalur penurunan emisi yang sangat drastis dalam waktu yang singkat dan berpotensi menimbulkan gangguan besar terhadap perekonomian. Karena itu kami mengusulkan untuk memundurkan target penurunan emisi ini,” paparnya.
Maike mencontohkan transformasi sosial yang terjadi di Jerman akibat peralihan energi batu bara ke energi terbarukan. Apabila hal itu tidak dilakukan melalui intervensi pemerintah, menurut Maike akan turut berdampak buruk bagi masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya di pertambangan dan produk olahan batu bara.
“Oleh karena itu sangat penting untuk menghentikan penggunaan batu bara secara bertahap. Pemerintah Jerman sangat menghargai upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia meski menghadapi tantangan negara berkepulauan yang luas. Penghentian total penggunaan batubara diperlukan untuk mencapai NZE,” jelasnya.
Sementara itu, Managing Director WRI Indonesia, Arief Wijaya menjelaskan dengan target pertumbuhan ekonomi 8%, Indonesia membutuhkan strategi agar pertumbuhan tersebut tidak memberikan kompensasi dampak negatif, karena eksternalitas dari sektor mineral ataupun pembukaan lahan pertanian.
Temuan awal WRI Indonesia menunjukkan bahwa melalui transisi hijau, Indonesia dapat menekan emisi hingga 1,04 miliar ton CO₂e per tahun – turun 81% dibandingkan proyeksi BAU sebesar 5,58 miliar ton CO₂e pada 2045. Untuk mencapai hal ini, pendanaan dalam proses transisi akan membutuhkan sekitar Rp 26.000 triliun, kumulatif hingga 2045.
“Dengan kebutuhan pendanaan yang cukup besar, berbagai pendekatan pendanaan, keterlibatan pihak swasta, Indonesia akan perlu mengadvokasikan pertumbuhan ekonomi hijau pada forum internasional, terutama dalam forum seperti COP30,” Arief menambahkan.
COP30 menandai satu dekade sejak Perjanjian Paris. COP tahun ini akan mempercepat dan meningkatkan aksi iklim kolektif dengan memamerkan kumpulan tindakan yang dapat direplikasi dan ditingkatkan. Namun demikian, percepatan dan replikasi aksi pengendalian perubahan iklim membutuhkan kapasitas institusi domestik yang kuat.
Menjadi penting bagi Indonesia untuk memastikan kesiapan sektoral dalam pengendalian perubahan iklim yang menjunjung tinggi transisi yang berkeadilan agar dukungan, pendanaan, kapasitas, dan alih teknologi dapat mengalirkan sumber daya yang dibutuhkan untuk komitmen dan aksi iklim Indonesia dengan leluasa dari internasional ke tingkat domestik.
- Bagaimana persiapan Indonesia menuju COP30 di Brazil?
- Siasat menyeimbangkan dekarbonisasi dengan pertumbuhan ekonomi
- Indonesia menuju COP30, antara janji dan realitas di lapangan
- COP30 di Amazon: Dunia butuh strategi lebih baik untuk lepas dari energi fosil
- 5 tuntutan anak muda untuk keadilan iklim menuju COP 30