Langsa, Ekuatorial – Lembaga Pengelola Pesisir Meuseuraya (LP2M) Kota Langsa, mendorong pemerintah daerah Kota Langsa untuk segera membuat suatu peraturan khusus tentang pengelolaan dan tata ruang hutan mangrove. Karena diklaim akar penyebab kerusakan hutan mangrove di Kota Langsa, akibat belum adanya regulasi khusus yang mengatur hal tersebut.

Yusmadi Yusuf, ketua LP2M Kota Langsa mengatakan kerusakan hutan mangrove di pesisir kota Langsa sudah sangat memprihatinkan. Banyaknya masalah yang timbul akibat tidak ada satu aturan yang tegas kawasan mana yang dapat dimanfaatkan dan yang tidak.

“Untuk menyelamatkan hutan mangrove di Kota Langsa sangat perlu ada suatu peraturan khusus tentang pembagian kawasan Hutan Lindung Manggrove, Hutan Produksi dan Hutan Areal Penggunaan Lain,” kata Yusmadi.

Saat ini hingga Minggu (19/4) luas hutan mangrove di kota Langsa tersisa sekitar 17 ribu hektare (ha). Kawasan tersebut terbagi menjadi tambak konvensional, areal Penggunaan Lain, Hutan Produksi dan Hutan Lindung. Namun yang masih benar-benar hutan hanya sekitar 9 ribu ha.

Banyak masalah terjadi yang berakibat pada kerusakan hutan mangrove di Kota Langsa. Meski konversi lahan sedikit, namun aksi penebangan liar tidak dapat dihentikan. Sedikitnya 2000 masyarakat masing-masing menggantungkan hidup dari hasil produksi arang bakau. Setiap hari mereka menebang kayu bakau yang digunakan sebagai bahan baku membuat arang. Khususnya warga yang tinggal di lima desa di wilayah pesisir Kota Langsa. Sehingga hutan mangrove yang ada makin rusak parah.

Wakil bidang Pengelolaan Pesisir LP2M, Syaifullah mengungkapkan masyarakat tidak terima dituduh pelaku kejahatan pengrusak hutan mangrove. Pekerjaan sebagai penebang kayu bakau sudah dilakukan secara turun temurun bahkan jauh sebelum ada izin HPH PT.Bakau Selat Malaka tahun 1980 – 1990 melakukan penebangan di hutan mangrove tersebut.
Selain itu karena lokasi hutan bakau tersebut berada di wilayah desa-desa tempat tinggal warga, jadi secara adat dianggap sebagai hutan milik masyarakat setempat.

“Memang berdasarkan hasil Judicial review Mahkamah Konstitusi masalah hutan adat, hal ini bisa dikatagorikan termasuk dalam status hutan adat,” ungkap Syaifullah.

Melihat kondisi kawasan hutan yang semakin sempit, LP2M Kota Langsa telah merumuskan program penanganan mangrove yang berkelanjutan. Penanganan yang dibenarkan adalah pemanfaatan dan pengelolaan di areal Hutan Produksi (HP) oleh masyarakat.

Syaifullah menjelaskan LP2M sudah membuat kesepakatan dengan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dinas Kehutanan Aceh untuk membuat satu pola pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Tujuannya untuk mengontrol dan membina sekaligus mengawasi pelaksanaan pola-pola yang akan dilakukan. Misalnya pola tanam, rawat dan tebang.

Namun katanya, untuk tekniknya belum selesai dibuat karena masih perlu penelitian lanjutan seperti berapa luas hutan, berapa kuota dari hasil produksi arang sesuai dengan daya metrik ton bahan baku dan berapa lama jangka waktunya.
“Semua ini perlu ada survey dan penelitian lebih lanjut dengan lembaga-lembaga dan tenaga ahli yang terlibat dalam program penyelamatan hutan mangrove kota Langsa,” ucap Syaifullah.

Semua cara dilakukan dalam upaya penyelamatan hutan mangrove ini. Termasuk meminta Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membantu terwujudnya arboretum mangrove di pulau Telaga Tujuh wilayah pesisir Timur Kota Langsa. Selain arboretum ( Pengembangan Jenis ) mangrove LP2M juga mendorong lahirnya Master Plan pengelolaan mangrove di pantai Timur Aceh.

Pengembangan arboretum mangrove di pulau Telaga Tujuh Kota Langsa merupakan yang pertama ada untuk seluruh propinsi Aceh dan pemerintah kota Langsa berkomitmen program ini akan dilaksanakan.

“ Nomenklatur qanun inisiatif Rencana Zona Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sudah masuk ke DPRK Kota Langsa dan diharapkan tahun 2016 sudah selesai,” ucap Syaifullah.

Saat ini LP2M terus melakukan kampanye penyadaran akan pentingnya melestarikan hutan mangrove. Melalui berbagai seminar dan diskusi publik dengan menggandeng seniman budaya Aceh Rafli dan grup musik Kandee, rencananya mereka akan menggelar acara musik budaya Aceh pada 22 April mendatang.

Upaya LP2M mendapat dukungan dari masyarakat, tokoh adat dan mahasiswa yang tergabung dalam Komunitas Pencinta Lingkungan dan Hutan Kota Langsa. Desi, mahasiswi Universitas Samudra salah seorang relawan dari Lintas Komunitas Pencinta Lingkungan dan Hutan Kota Langsa, mengatakan saat ini sedikitnya ada 42 jenis mangrove yang tumbuh di wilayah sepanjang garis pantai Timur Langsa. Sebagian besarnya telah rusak karena penebangan yang serampangan tanpa peraturan.

“ Diharapkan hutan mangrove ini dapat di lestarikan, apalagi hutan bakau ini sudah dikenal sebagai ikon wisata mangrove kota Langsa,” ungkap Desi.

Selain itu, dengan mengandeng seniman harapannya melalui musik dan lagu-lagu Aceh, pesan untuk menyelamatkan dan menjaga hutan dapat tersampaikan kepada masyarakat melalui budaya kearifan lokal yang telah hidup dari masa kerajaan Iskandar Muda. Ivo Lestari

Artikel Terkait :
Sampah Kota Langsa Lebih Banyak Tak Terurus
Warga DAS Langsa Direlokasi
Banjir Landa Aceh Tamiang

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.