Para pemuda dan warga Desa Ranupani bekerja sama mengatasi persoalan sampah yang menumpuk akibat meningkatnya minat masyarakat untuk mendaki Gunung Semeru di Jawa Timur.

Lumajang, JAWA TIMUR. Meningkatnya minat masyarakat untuk mendaki Gunung Semeru di Jawa Timur tidak disertai dengan kesadaran menjaga lingkungan berakibat menumpuknya sampah, terutama Desa Ranupani, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang yang menjadi lokasi akhir pendakian.

Sekitar 600 pendaki memadati Gunung Semeru per hari dan meninggalkan sampah plastik rata-rata dua ton per bulan di desa seluas 500 hektar tersebut.

Hal tersebut membuat para pemuda dan warga desa setempat tergerak untuk melakukan pengelolaan sampah.

Pada tahun 2018, Andi Iskandar Zulkarnain, salah seorang penggiat lingkungan asal Malang, Jawa Timur, menginisiasi kelompok kebersihan lingkungan (KKL) Desa Ranupani, yang beranggotakan tiga kelompok masyarakat, — Taruna Wisata, Kelompok Belajar Lingkungan Rukun Mandiri, dan Ikatan Peduli Lingkungan –, dengan total 20 hingga 30 anggota.

“Embrionya 2 tahun lalu. Ketika masyarakat di sini mulai tergerak, ketika melihat kondisi lingkungan desa mereka tidak ada penanganan sampah dan tidak mempunyai tempat pengelolaan sampah. Karena lahan mereka terbatas, hanya punya 500 hektar dan sekelilingnya kawasan taman nasional yang notabene tidak bisa dikelola secara langsung, “kata Andi. “Pada saat itu ada tiga kelompok masyakat, Taruna Wisata, Kelompok Belajar Lingkungan Rukun Mandiri, dan Ikatan Peduli Lingkungan. Saya sarankan, kalau mau ngomongin sampah, jangan hanya parsial dari kelompok-kelompok kecil tapi tanggung jawabnya adalah desa. Akhirnya kami membentuk KKL ini.”

Menurut peraturan Taman Nasional, pendaki diharuskan membawa turun sampah mereka dari pendakian. Sumber: Titik Kartitiani.

Suriyanto, ketua KKL Desa Ranupani, mengatakan bahwa awalnya mereka hanya memunguti sampah yang berserakan, bahkan di depan rumah warga, dan belum melakukan pengelolaan sampah.

“Pada awalnya kami tidak tahu, sampah yang sudah terkumpul lalu diapakan? Kami mengumpulkan sampah yang dari warga dan juga dari taman nasional, yang pertama itu ditaruh. Yang satu (sebagian) dibakar, satunya dibuat lubang. Dampaknya ternyata, dua minggu setelah kami menaruh sampah, sudah melebar. Lama-lama numpuk juga,” kata Suriyanto.

Bulan Juni lalu, KKL Desa Ranupani berhasil mendapatkan pinjaman lahan dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) seluas 800 meter persegi sebagai Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu.

Mereka pun mulai lebih efektif melakukan pengelolaan sampah, mulai dari pengangkutan hingga pemilahan sampah yang bisa dijual dan dibakar.

“Setelah sampah terkumpul disini, kami dari kelompok, memilah. Itu kami menurunkan salah satu orang untuk memilah sampah yang ada di sini. Itu [sampah] nanti juga dijual buat membayar si pengelola tersebut,” jelas Suriyanto

Ngatin, memilah sampah yang dikumpulkan di lahan yang dipinjamkan oleh Taman Nationaal Bromo Tengger Semeru untuk dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah terpadu. Sumber: Titik Kartitiani. Credit: Titik Kartitiani Credit: Titik Kartitiani

Untuk pemilahan sampah, KKL Desa Ranupani bekerja sama dengan Ngatin, warga Desa Ranupani, sejak bulan Mei silam.

“Saya tak punya lahan. Saya ngoli (buruh tani). Makanya bantu memilah sampah. Kalau tidak ada yang mengerjakan, bagaimana sampah ini akan jadi gunung dan mengotori desa,” kata Ngatin yang berusia 60 tahun.

Pekerjaannya antara lain melepas label pada botol plastik dan memisahkan tutup botol sebelum dijual ke Desa Tumpang, Kabupaten Malang. Selain itu, ia juga memilah kaleng pembungkus makanan untuk dijual sebagai besi tua. Sementara, sisa bungkus plastik dan material lainnya yang tidak bisa dijual akan dibakar.

Dalam sehari, Ngatin dapat memilah 200 hingga 300 botol plastik di lokasi penampungan sampah yang berada di Desa Ranupani, dengan ketinggian 2100 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Ngatin sendiri berprofesi sebagai buruh tani selama tiga puluh tahunan dengan penghasilan Rp60.000 hingga Rp70.000 per hari, lebih banyak ketimbang dibanding ketika memilah sampah.

Ia dibayar Rp50.000 per hari oleh KKL untuk bekerja dari pagi hingga malam, atau sesuai dengan kemampuannya.

“Walaupun saya nggak punya garapan (di ladang), sambil membantu desa (untuk tetap bersih),” kata Ngatin yang mengatakan rela mendapatkan upah sedikit karena melihat semangat pemuda lainnya yang bekerja tanpa dibayar membersihkan Desa Ranupani.

Pujiati, Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, mengatakan bahwa pengelolaan sampah bukan merupakan tugas pokok dan fungsi TNBTS.

“Kami memang ada pengabdian masyarakat, tapi bukan pada pengelolaan sampah,” kata Pujiati ketika dihubungi oleh Ekuatorial via telepon.

Oleh sebab itu, TNBTS tidak bisa menganggarkan untuk program penanganan sampah dan hanya melakukan kerja sama dengan beberapa organisasi atau relawan untuk pemberdayaan masyarakat.

Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Ranupani. Sumber: Titik Kartitiani.

Lahan yang kini digunakan untuk TPST, jelas Pujiati, belum ada penetapannya dan belum ada sarana dan prasarananya, namun bisa digunakan untuk pengelolaan sampah minimal.

“Saya berharap Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lumajang memberi materi dan peningkatan kapasitas pada kelompok masyarakat terkait sampah ini. Karena, memang ini Tupoksi dari Dinas Lingkungan Hidup Pemda,” kata Pujiati menambahkan bahwa pihak TNBTS telah menetapkan zero accident dan zero waste sejak April 2018.

Zero waste, jelasnya, menekankan kepada konsep reduce atau mengurangi sampah.

“Kami menetapkan SOP pendakian Semeru. Setelah mendaftar, harus ada briefing yang diikuti semua pendaki tanpa kecuali. Meskipun kelompok, semua angggota harus ikut. Di pos Ranupani, dilakukan pencatatan barang, barang yang boleh dibawa, dan harus membawa sampah turun kembali. Pelaksanaannya dilakukan oleh relawan yang tergabung dalam SAVER [Sahabat Volunteer Semeru],” kata Pujiati. EKUATORIAL.

About the writer

Titik Kartitiani is a freelance journalist based in East Java who writes about the environment, culture, design, and fashion. She became a journalist in 2003 for the flora and fauna magazine, Flona a publication...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.